“Tapi apa kita semua mau satu agama dengan Baby? Itu kan menurunkan derajat kemanusiaan kita.”
“Tubuh kita dan Baby itu sangat mirip. DNA kita hanya berbeda 3 persen dari mereka, jadi sesungguhnya kita lebih dekat dengan mereka daripada yang kita bayangkan.”
“Lantas kemudian dia jadi boleh masuk Islam? Kan kita sudah tahu keanehan-keanehan babi. Tentang tabiat yang kotor dan malas. Juga karakternya yang tak jelas, bisa menyerupai binatang buas karena ia bertaring dan makan daging tapi juga dia mirip binatang jinak karena berceracak dan makan dedaunan....”
“Terdengar semakin mirip dengan kita kan?”
Gema ‘Astaghfirullah’ terdengar dari berbagai penjuru ruangan. Tidak ada yang mendengar satu dengan lainnya dan masing-masing orang hanya sibuk dengan pendapatnya sendiri-sendiri. Pimpinan sidang memerintahkan untuk reses selama 2 jam untuk membahas persoalan ini. Para peserta sidang pun secara alamiah langsung membentuk kelompok yang dirasa cocok dan sepikiran dengan mereka. Setiap anggota majelis saling beradu argumentasi tentang bagaimana harus menyikapi persoalan Baby.
Sidang kembali dimulai dan peserta sidang diminta melakukan voting dalam pengambilan keputusan. Kelompok pertama yang paling besar jumlahnya atau sekitar 40 persen dari majelis adalah mereka yang jelas menolak Baby, tidak ada pertimbangan dan tidak ada kompromi. Sementara sebanyak 35 persen secara prinsip tidak setuju, tapi meyakini mereka perlu memanggil Baby untuk mendengarkan dari sisi Baby. Kelompok ini meyakini bahwa Majelis mesti bersikap tepat secara politis dan bagaimanapun harus mengusung prinsip-prinsip keadilan. Kelompok berikutnya, 23 persen, adalah kelompok yang mendukung Kyai Fikri, kelompok ini kecil tapi memiliki suara yang biasanya didengar oleh mayoritas anggota, karena posisi dan status sosial mereka yang dihormati publik. Di dalam kelompok ini sebetulnya termasuk juga adalah orang-orang yang menyetujui semata karena mengagumi Kyai Fikri dan keunikannya. Sisanya abstain, adalah mereka yang tidak tertarik dengan konflik dalam bentuk apapun juga.
Masing-masing kelompok berdebat satu dengan yang lainnya, dan keputusan belum dapat diambil karena belum ada suara mayoritas. Akhirnya karena hari sudah larut, sidang harus dihentikan terlebih dulu dan dilanjutkan esok hari.
Dalam peta perebutan suara, kelompok 35 persen itu diperebutkan oleh dua kubu lainnya. Kelompok 40 persen tentu saja merasa mereka seharusnya sedikit lagi memenangi keputusan ini, dan semua akan berjalan begitu mudah jika kelompok 35 tidak terlampau etis. Untuk apa sok etis, jika hasil akhir sudah jelas, yaitu tidak setuju. Tapi kelompok 35 terdiri dari mereka yang sangat menyukai proses dan sangat ingin majelis tampak bagus di mata publik.
Sementara itu, secara prinsip, kelompok 23 jelas memiliki sikap yang berbeda. Mereka pun sebal pada orang-orang dari kelompok 35 yang mereka nilai terlalu mementingkan pencitraan, haus pujian, dan tidak konsisten. Namun kelompok 35 memiliki jumlah yang cukup besar, dan ada keinginan untuk melakukan proses yang adil betapapun itu hanyalah kosmetik belaka. Kelompok 23 menimbang, jika setidaknya mereka bisa menghadirkan Baby dalam sidang, itu sudah merupakan suatu langkah besar, plus peluang bahwa keinginannya dapat dikabulkan majelis—seberapapun kecilnya kemungkinan itu.
Debat dan negosiasi yang terjadi begitu alot, bahkan untuk sekadar menghadirkan Baby di sidang majelis. Karena bagi banyak peserta itu akan menjadi kali pertama dalam hidup mereka memiliki interaksi dengan babi. Sidang tertunda selama dua hari tanpa ada solusi.
Setelah proses yang panjang itu, di hari ketiga anggota majelis melakukan voting akhir. Hasilnya, Majelis secara resmi menolak Baby untuk menjadi Islam.