Secara umum, orang Jerman terkenal dengan kebiasaan mereka memiliki perencanaan jangka panjang. Karenanya sejak jauh-jauh hari PR agency kami di Jerman sudah mendistribusikan mini biografi sebagian besar narasumber yang akan mereka temui di Indonesia. Namun tak terhindarkan, daftar narasumber kerap berubah karena kesibukan dan jadwal masing-masing. Helvy Tiana Rosa, pengarang karya-karya Islami misalnya terpaksa membatalkan kehadirannya karena sedang sibuk menggalang dana untuk sebuah produksi film. A.S. Laksana pengarang peraih penghargaan, sedang sibuk menyelenggarakan festival sastra di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Banyak lagi perubahan yang terjadi di saat-saat akhir dengan narasumber lainnya.
Beberapa wartawan sudah mendaftar jauh-jauh hari untuk mewawancara narasumber tertentu, tapi banyak juga yang baru memutuskan last minute berdasarkan pengamatannya di lapangan. Ternyata ada kesamaan dengan karakter wartawan Indonesia, atau beberapa negara lain yang pernah saya kenal, yaitu senang berimprovisasi. Ada sih yang mewajibkan diri membaca tuntas karya si penulis sebelum wawancara. Tapi ada juga yang lebih cuek, langsung go show dan mengajukan pertanyaan. Ada yang penuh sekali daftar narasumber yang ingin diwawancarai, tapi ada juga yang bersikap lebih berjarak, mengamati situasi dan berupaya mengambil narasumber atau angle berita yang berbeda dari rekan-rekan wartawan.
Antusias Mewawancara
Terlepas dari karakter masing-masing wartawan, saya melihat satu hal yang membuat hati bungah. Mereka sangat bersemangat mewawancarai para pengarang Indonesia. Kami selalu harus membuat antrean untuk mengatur proses wawancara. “Kalau tidak diatur urutannya, mereka bisa bertengkar,“ ujar Kirsten Lehnert, staf PR Agency yang mendampingi perjalanan pers ini.
Bisa dibayangkan, jika seorang narasumber diwawancarai 5 media berbeda, masing-masing meminta waktu 20-30 menit, itu sudah membutuhkan 2 jam. Padahal dalam proses wawancara, seringkali pertanyaan berkembang sehingga waktu bisa molor. Dan yang namanya wartawan, biasanya enggan mewawancarai narasumber bersama dengan media lain. Saya hapal itu, karena dulu saya biasanya pun tidak mau melakukan group interview, kecuali terpaksa. Wawancara yang mendalam dan ekslusif nyaris selalu jadi tujuan semua wartawan.
Kirsten seorang PR berpengalaman. Dugaannya benar, sudah diatur pun hasilnya tidak selalu sesuai rencana. Hal ini sudah terjadi sejak di agenda wawancara pertama, yaitu di Dewan Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Lebih dari 10 orang wartawan ingin mewawancara Linda Christanty, sastrawan, jurnalis dan anggota Komite Sastra DKJ. Agar lebih efisien, kami mencoba mengaturnya dengan meminta mereka melakukan wawancara bersama selama 10 menit, agar pertanyaan yang basic tak perlu berulang, dan setelah itu baru mulai melakukan wawancara untuk masing-masing media.
Meski demikian, tetap saja jadwal mulai molor. Dua wartawan di urutan paling buntut pun mulai cemberut. Sementara wartawan TV yang sedang melakukan wawancara tetap saja fokus mendengarkan penjelasan Linda, tak peduli panitia berusaha memberikan kode dengan sopan bahwa giliran mereka sudah habis. Wartawan yang paling akhir menampakkan muka kecewa. Ketika akhirnya berhasil berbicara dengan Linda, ia tak tega mewawancarai terlalu lama karena waktu makan siang nyaris lewat. “Linda sudah terlalu lelah,” ujarnya.
Tak hanya Linda yang diwawancarai di agenda pertama itu. Ada pula komikus Beng Rahadian, dan penyair Zen Hae. Para petinggi DKJ, Irawan Karseno, Alex Sihar, Aksan Sjuman, juga berbagi wawasan dengan para wartawan ini. Memang, antrean wawancara kepada Linda paling panjang, karena selain buku esainya Jangan Tulis Kami Teroris akan diterbitkan ke dalam bahasa Jerman, banyak pula yang tertarik dengan latar belakang jurnalistik Linda yang lama meliput di Timor Timur dan Aceh. Selain itu, para wartawan tertarik bertanya lebih jauh ketika Linda memberikan pendapatnya bahwa tidak ada penulis komunis di Indonesia.
Antusiasme terus terlihat di sepanjang agenda wawancara di hari-hari berikutnya. Protes pun keluhan karena merasa kurang waktu wawancara tetap terdengar, tapi akhirnya banyak juga yang paham situasi serba terbatas ini dan mau berkompromi dengan sesekali bersedia melakukan wawancara berdua, atau bertiga dengan rekan media lain.
Agenda perjalanan pers berlangsung di Jakarta, kemudian Makassar. Komite Media memang sengaja mencocokkan jadwal kunjungan pers ini dengan Makassar International Writers Festival yang berlangsung 4-7 Juni. Makassar adalah salah satu pusat terpenting perkembangan sastra di Indonesia Timur.
Dari Makassar, mereka kembali lagi ke Jakarta. Hingga hari terakhir sebelum pesawat pulang ke Jerman, masih berlangsung wawancara dengan sejumlah narasumber : sastrawan, arsitek, musisi, hingga wartawan Jerman yang tinggal di Jogja dan menulis buku tentang Indonesia. Sebagaimana sudah diprediksi, sejumlah pertanyaan di luar literasi–kritis maupun awam-- muncul dalam wawancara maupun dalam percakapan sehari-hari.