****
Komariah dan Mursyid berpelukan sambil menangis. Ketiga puteri mereka, Salma-Naura-Qanita, memandangi kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca. Mereka tak pernah berpikir bahwa ayah mereka akan berlebaran di penjara.
“Sudahlah Yah, tak perlu kita sesali yang telah terjadi! Makanlah dulu! Ibu bawakan ketupat dan opor ayam kampung kesukaan Ayah.” Komariah menyodorkan piring pada suaminya.
Mursid menerima piring yang disodorkan isterinya. “Anak-anak, ayo makan bersama! Anggap saja ayah sedang masuk pesantren.” Mursid mencoba bercanda.
Ketiga anaknya tersenyum miris. “ Ya, Ayah sedang di pesantren. Di sini, Ayah bisa khatam Quran sebulan sekali sekaligus memperdalam ilmu agama,” imbuh Salma, puteri sulung Mursid.
Mereka makan ketupat-opor dalam diam. Kronologi penangkapan Mursid kembali terbayang. Saat itu, Mursid dan Pak Bupati telah selesai berbuka bersama dengan pihak CV. Setelah menandatangani rekomendasi alih fungsi hutan lindung, mereka menerima kardus bergambar jeruk dari perwakilan CV. Kardus itu berisi uang sebesar 5 (lima) milyar rupiah sesuai kesepakatan. Tiba-tiba saja, beberapa pengunjung restoran menghampiri meja mereka sambil menunjukan tanda pengenal KPK.
“Harap ikut kami, Anda tertangkap tangan melakukan penyalahgunaan wewenang jabatan!” tukas seorang pria berambut cepak.
“Nauran, maafkan Ayah. Seandainya ayah mengikuti saranmu, semua ini tak akan terjadi. Sekarang ayah diberhentikan dari PNS,” kata Mursid, terbata-bata.
Naura menggenggam tangan ayahnya. “Tak ada yang perlu disesali. Kita ambil saja hikmanya, Yah!”
“Bu, ayah nggak dapat pensiun. Bagaimana kelanjutan pendidikan anak-anak kita?” Mursid tak berani menatap wajah isterinya.
Wanita berwajah teduh itu tersenyum. “Ibu yakin, Allah akan memberi rejeki selagi kita berusaha. Ibu akan menyediakan jasa katering bagi karyawan pabrik makanan ringan di dekat rumah kita. Mudah-mudahan barokah.”