“Wa’alaikumussalam.”
Mursid tercenung. Pikirannya kalut. Bila menuruti keinginan Penguasa Kabupaten, masa depannya akan cemerlang. Tapi, beranikah ia melanggar Undang-undang demi kelangsungan karirnya?
“Duar. Hayo yang lagi bengong! Udah laper ya?” Naura, puteri kedua pasangan Mursid-Komariah, memeluk ayahnya dari belakang.
Mursid meremas tangan anaknya sambil tersenyum. Sepasang bola mata Naura berbinar ceria. Saat melihat kejora di mata gadisnya, separuh beban pikiran Mursid hilang.
“Bukannya kamu yang nggak puasa? Datang bulannya lama amat sih?” goda Mursid.
“Ih Ayah, baru juga empat hari.” Naura mencubit lengan ayahnya.
Mursid meringis sambil memegangi bekas cubitan Naura. “Awas, jangan kelamaan nggak puasa! Nanti hutang puasanya banyak. Susah lho bayar hutang puasa di luar Bulan Ramadhan.”
“Tenang Yah, insya Allah dibayar hutang puasanya.” Naura mengerling jenaka.
“Ayah lagi mikir apa sih? Kok mukanya mengerut? Awas, nanti cepat tua!”
“Kepo deh kamu.” Mursid mengedipkan sebelah matanya.
“Yey, kalau antara anak dan orang tua nggak ada istilah kepo. Oke, ceritakan saja masalah Ayah! Bisa jadi anakmu ini punya solusinya.” Naura memasang tampang serius.