Mohon tunggu...
Febroni Purba
Febroni Purba Mohon Tunggu... Konsultan - Bergiat di konservasi ayam asli Indonesia

Nama saya, Febroni Purba. Lahir, di Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Menempuh pendidikan SD hingga SMA di Kota Medan. Melanjutkan kuliah ke jurusan ilmu Peternakan Universitas Andalas. Kini sedang menempuh pendidikan jurusan Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Pernah menjadi jurnalis di majalah Poultry Indonesia selama tiga tahun. Majalah yang berdiri sejak tahun 1970 ini fokus pada isu-isu ekonomi, bisnis, dan teknik perunggasan. Di sana ia berkenalan dengan banyak orang, mengakses beragam informasi seputar perunggasan Tanah Air dan internasional. Samapai kini ia masih rajin menulis, wawancara dan memotret serta berinteraksi dengan banyak pihak di bidang peternakan. Saat ini dia bergabung di salah satu pusat konservasi dan pembibitan peternakan terpadu ayam asli Indonesia. Dia begitu jatuh cinta pada plasma nutfah ayam asli Indonesia. Penulis bisa dihubungi via surel febronipoultry@gmail.com. atau FB: Febroni Purba dan Instagram: febronipurba. (*) Share this:

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dua Mahasiswi Unand Presentasikan Rendang Itik Pitalah di Belanda

23 November 2015   15:13 Diperbarui: 24 November 2015   00:15 1634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua mahasiswi Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Juliansyah Anita Yunus dan Rebeka Patrcia Sianturi mengikuti International Student Scientific Conference (ISSC) 2015 di Universitas Wageningen, Belanda, yang akan digelar 28 November 2015. ISSC merupakan program tahunan Persatuan Pelajar Indonesia-Wageningan yang bertujuan menjalin interaksi dan diskusi dalam lingkup disiplin ilmu untuk masa depan yang lebih baik.  

Keterangan gambar: Juliansyah Anita Yunus (Kiri) dan Rebeka Patricia Sianturi (Kanan).

Konferensi tersebut mengangkat tema “Improving Food and Agriculture Products to Accelerate Sustainable Future”. Kedua mahasiswi tersebut akan mempresentasikan paper mengenai “Rendang Itik Suir As Product Innovation of Unproductive Pitalah Ducks” dihadapan mahasiswa, peneliti, pengajar, dan profesional dari berbagai negara.   

Itik Pitalah merupakan salah satu keanekaragaman hayati Indonesia yang langka. Nama Itik Pitalah diambil dari nama nagari Pitalah, Tanah Datar, Sumatera Barat. Disanalah mula-mula berkembangnya plasma nutfah (sumberdaya genetik) bernama Itik Pitalah.

Itik Pitalah Betina (Sumber: Ditjennak).

Anita berharap papernya terpilih sebagai paper terbaik dan rendang itik pitalah semakin dikenal dunia. “Harapannya paper kami menjadi yang terbaik dan mengangkat plasma nutfah Sumatera Barat yang selama ini terabaikan. Kami juga ingin meningkatkan pendapatan penduduk nagari Pitalah melalui rendang itik pitalah,” ujar Anita melalui pesan WhatsApp, Minggu (22/11).

Riset mengenai rendang itik pitalah ini dinyatakan lulus oleh panitia tanggal 26 September 2015. Jumlah paper yang lulus ke meja panitia sebanyak 20 dari 160 paper.

Setelah presentasi di Belanda, Anita dan Rebeka berencana mengembangkan bisnis rendang itik pitalah. Dalam waktu dekat keduanya akan memberi penyuluhan untuk gerakan beternak itik pitalah di Tanah Datar sekaligus mengenalkan rendang itik pitalah melalui media sosial.

Minim dukungan

Ketika di Jakarta (4/11), Anita sempat mengatakan minimnya dukungan moril dan materil dari berbagai pihak yang ditemuinya. Bahkan ada beberapa oknum yang memberi kesan negatif kepada mereka lantaran membawa proposal. “Proposal sudah disebarkan ke instansi pemerintah daerah, perusahaan swasta, BUMN, LSM, yayasan tetapi belum ditanggapi,” ucapnya.

Anita dan Rebeca sempat bercerita ketika mendatangi beberapa instansi pemerintah daerah di Sumbar. “Kami merasa diabaikan oleh beberapa oknum pegawai negeri padahal kegiatan yang kami lakukan sangat bermanfaat. Kami tidak hanya butuh uang tetapi setidaknya kami mendapat dukungan moril,” kata Anita.

Adapun biaya yang dibutuhkan Anita dan Rebeka sebesar Rp 47 juta. Biaya tersebut digunakan untuk bahan penelitian, tiket pesawat, transportasi lokal, visa, konsumsi, dan asuransi perjalanan. “Anggaran dana yang kami butuhkan sebesar Rp 47 juta. Hingga saat ini biaya yang sudah terkumpul baru Rp 25 juta,” kata Rebeca. Biaya tersebut berasal dari pihak Universitas Andalas (Rp 20 juta) dan peternak itik dari Karawang Jawa Barat Muhammad Fahmi Wiwot (Rp 5 juta). 

Rendang Suir Itik Pitalah (Dok. Rebeka).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun