Mohon tunggu...
Febroni Purba
Febroni Purba Mohon Tunggu... Konsultan - Bergiat di konservasi ayam asli Indonesia

Nama saya, Febroni Purba. Lahir, di Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Menempuh pendidikan SD hingga SMA di Kota Medan. Melanjutkan kuliah ke jurusan ilmu Peternakan Universitas Andalas. Kini sedang menempuh pendidikan jurusan Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Pernah menjadi jurnalis di majalah Poultry Indonesia selama tiga tahun. Majalah yang berdiri sejak tahun 1970 ini fokus pada isu-isu ekonomi, bisnis, dan teknik perunggasan. Di sana ia berkenalan dengan banyak orang, mengakses beragam informasi seputar perunggasan Tanah Air dan internasional. Samapai kini ia masih rajin menulis, wawancara dan memotret serta berinteraksi dengan banyak pihak di bidang peternakan. Saat ini dia bergabung di salah satu pusat konservasi dan pembibitan peternakan terpadu ayam asli Indonesia. Dia begitu jatuh cinta pada plasma nutfah ayam asli Indonesia. Penulis bisa dihubungi via surel febronipoultry@gmail.com. atau FB: Febroni Purba dan Instagram: febronipurba. (*) Share this:

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar dari Tiongkok

20 April 2015   09:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:53 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_361648" align="aligncenter" width="576" caption="KRAA--Bonnie Setiawan (kedua dari kanan) menyampaikn makalahnya bertajuk Indonesia dan Asia Afrika Menegaskan Posisinya dalam Globalisasi Abad 21: Tinjauan 60 Tahun KAA 2015, Sabtu (18/4) di Galeri Nasional, Jakarta."][/caption]

Indonesia sebagai pelopor Konferensi Asia Afrika menawarkan pembangunan alternatif yaitu sosialisme Indonesia. Sebagaimana tercermin dalam pikiran Soekarno dalam bentuk Pancasila, Manipol-USDEK, Resopim, Trisakti, dan sebagainya.

Hal di atas disampaikan oleh Direktur Eksekutif Resistance and Alternatives to Globalization (RAG) Bonnie Setiawan, Sabtu (18/4), di Galeri Nasional, Jakarta.

Namun, pada tahun 1965 karena naiknya kekuasaan militer, api semangat KAA 1955 mulai ditiup mati dan perlahan-lahan padam. Kuatnya intervensi Barat dinilai berperan besar menjatuhkan kepemimpinan Soekarno kala itu.

Negara Barat khususnya Amerika merasa kuatir terhadap gagasan Soekarno yang anti kapitalisme. Bersatunya Asia Afrika merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem kapitalisme global yang mulai masuk ke negara Selatan.

"Terutama setelah runtuhnya Tembok Berlin dan ambruknya Uni-Soviet tahun 1989-1990 maka dunia masuk ke dalam unipolar kapitalisme global. Kapitalisme sebagai alternatif satu-satunya (TINA-There is No Alternatives), bernama Neo-Liberalisme," kata Bonnie.

Mekanisme utang, bantuan multilateral dan bilateral, serta pakta perdagangan bebas, menjadi instrumen-instrumen baru penjajahan gaya baru, Neo-Kolonialisme-Imperialisme.

Gejala kapitalisme sudah terlihat di depan mata yaitu perdagangan bebas. "Berbagai perusahaan kini dipaksa untuk saling berkolaborasi dan berdagang satu sama lain. Senasib dengan Indonesia, negara kawasan ASEAN lainnya seperti Thailand, Malaysia, Filipina juga mengalami kegagalan pembangunan yang parah karena ekonominya diserahkan kepada kekuatan pasar dan perdagangan bebas," ujarnya.

Berbeda dengan Tiongkok, meski lahir belakangan dari Indonesia sekarang justru makin bersinar. Sejak kedatangan Perdana Menteri Zhou Enlai ke Bandung tahun 1955, memberikan kepada dunia model pembangunan alternatif yang sama dengan Soekarno, membangun kemandirian dan sebuah negeri yang berdikari.

Sekarang Tiongkok menjadi negara ekonom terbesar di dunia mengalahkan Amerika sejak tahun lalu, pembangunanya berhasil menghapus kemiskinan terbesar di dunia. Sejak tahun 1978 telah mengentaskan sekitar 680 juta orang dari kemiskinan dan kini tinggal 6,3% atau 82 juta orang saja yang masih hidup dibawah US$ 1, dari penduduknya sebesar 1,3 miliar.

Bonnie menambahkan, Tiongkok telah menjadi negara industri dan sekaligus pertanian terkemuka di dunia, karena berhasil swasembada pangan. Bahkan indsutrinya sekarang menjadi pusat industri jaringan produksi global dan rantai pasokan global, di mana hampir semua barang di dunia dibuat oleh Tiongkok.

Sebuah pelajaran berharga dapat dipetik dari Tiongkok. Bahwa model kemandirian dan berdikari adalah benar dan tepat. "Model pembangunan berdasarkan kemampuan produksi sendiri dan rakyatnya sebagai kekuatan produktif nyatanya berhasil baik dan menghasilkan produktivitas yang luar biasa. Dibandingkan Indonesia yang mengandalkan pada utang luar negeri, investasi modal asing dan ekonomi liberal yang serba terbuka dan nyatanya menghancurkan perekonomian dan membuat rakyat tidak produktif," pungkas Bonnie.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun