[caption id="attachment_361648" align="aligncenter" width="576" caption="KRAA--Bonnie Setiawan (kedua dari kanan) menyampaikn makalahnya bertajuk Indonesia dan Asia Afrika Menegaskan Posisinya dalam Globalisasi Abad 21: Tinjauan 60 Tahun KAA 2015, Sabtu (18/4) di Galeri Nasional, Jakarta."][/caption]
Indonesia sebagai pelopor Konferensi Asia Afrika menawarkan pembangunan alternatif yaitu sosialisme Indonesia. Sebagaimana tercermin dalam pikiran Soekarno dalam bentuk Pancasila, Manipol-USDEK, Resopim, Trisakti, dan sebagainya.
Hal di atas disampaikan oleh Direktur Eksekutif Resistance and Alternatives to Globalization (RAG) Bonnie Setiawan, Sabtu (18/4), di Galeri Nasional, Jakarta.
Namun, pada tahun 1965 karena naiknya kekuasaan militer, api semangat KAA 1955 mulai ditiup mati dan perlahan-lahan padam. Kuatnya intervensi Barat dinilai berperan besar menjatuhkan kepemimpinan Soekarno kala itu.
Negara Barat khususnya Amerika merasa kuatir terhadap gagasan Soekarno yang anti kapitalisme. Bersatunya Asia Afrika merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem kapitalisme global yang mulai masuk ke negara Selatan.
"Terutama setelah runtuhnya Tembok Berlin dan ambruknya Uni-Soviet tahun 1989-1990 maka dunia masuk ke dalam unipolar kapitalisme global. Kapitalisme sebagai alternatif satu-satunya (TINA-There is No Alternatives), bernama Neo-Liberalisme," kata Bonnie.
Mekanisme utang, bantuan multilateral dan bilateral, serta pakta perdagangan bebas, menjadi instrumen-instrumen baru penjajahan gaya baru, Neo-Kolonialisme-Imperialisme.
Gejala kapitalisme sudah terlihat di depan mata yaitu perdagangan bebas. "Berbagai perusahaan kini dipaksa untuk saling berkolaborasi dan berdagang satu sama lain. Senasib dengan Indonesia, negara kawasan ASEAN lainnya seperti Thailand, Malaysia, Filipina juga mengalami kegagalan pembangunan yang parah karena ekonominya diserahkan kepada kekuatan pasar dan perdagangan bebas," ujarnya.
Berbeda dengan Tiongkok, meski lahir belakangan dari Indonesia sekarang justru makin bersinar. Sejak kedatangan Perdana Menteri Zhou Enlai ke Bandung tahun 1955, memberikan kepada dunia model pembangunan alternatif yang sama dengan Soekarno, membangun kemandirian dan sebuah negeri yang berdikari.
Sekarang Tiongkok menjadi negara ekonom terbesar di dunia mengalahkan Amerika sejak tahun lalu, pembangunanya berhasil menghapus kemiskinan terbesar di dunia. Sejak tahun 1978 telah mengentaskan sekitar 680 juta orang dari kemiskinan dan kini tinggal 6,3% atau 82 juta orang saja yang masih hidup dibawah US$ 1, dari penduduknya sebesar 1,3 miliar.
Bonnie menambahkan, Tiongkok telah menjadi negara industri dan sekaligus pertanian terkemuka di dunia, karena berhasil swasembada pangan. Bahkan indsutrinya sekarang menjadi pusat industri jaringan produksi global dan rantai pasokan global, di mana hampir semua barang di dunia dibuat oleh Tiongkok.
Sebuah pelajaran berharga dapat dipetik dari Tiongkok. Bahwa model kemandirian dan berdikari adalah benar dan tepat. "Model pembangunan berdasarkan kemampuan produksi sendiri dan rakyatnya sebagai kekuatan produktif nyatanya berhasil baik dan menghasilkan produktivitas yang luar biasa. Dibandingkan Indonesia yang mengandalkan pada utang luar negeri, investasi modal asing dan ekonomi liberal yang serba terbuka dan nyatanya menghancurkan perekonomian dan membuat rakyat tidak produktif," pungkas Bonnie.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H