“Pemuda apa yang aku tuliskan di langit itu dapat dapat mensejahterakan alam Indonesia dan dapat memuliakan manusia tanpa membeda-bedakan agama, ras, maupun golongan, kalimat itu yang menjadikan bangsa Indonesia di cintai seluruh mahluk, karena kalimat itulah yang menjadikannya welas asih, yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit jiwa dan raga.
Pemuda ingat, kita ini bangsa besar, bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis dan tidak akan minta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan singkong tetapi merdeka, daripada makan bistik tetapi budak. Wahai Pemuda suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tetapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa zaman sudah berganti. Pada saat itu geger di seluruh negara. Indonesia dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah **).
Tetapi ingat wahai pemuda teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi. Tanamkanlah jiwa para leluhur di dalam sanubari hatimu. Mengabdilah pada tanah air Indonesia dengan jiwa dan raga, sampai titik darah penghabisan, Terpecah belah tapi satu jualah, tiada kerancuan dalam kebenaran wahai pemuda!"
Meledak-ledak rasanya. Aku tak sanggup bicara. Aku coba meresapi makna yang ada dalam curahan hati mereka. Menghayati setiap kalimat yang bergoyang-goyang di masuk ke dalam kepalaku. Tersentak-sentak. Entah kenapa aku merasa sangat menyesal. Menyesal! Mengapa ada kehidupan fana? Mengapa Indonesia tidak ada di alam gaib saja? Tiba-tiba mereka kembali mengeluarkan kata-kata.
oh Pemuda…
sungguh berjuta benar
perjuanganku hanya sebatas ekstase fana
yang merasa sesal tak berguna
aku terkurung di dunia sandiwara
awalnya suci ternoda karsa
merebut kemerdekaan dalam senandung pengorbanan
Pemuda sayang, dengarkanlah kata-kata ini…
Mengabdi tuluslah pada negerimu…
sebelum…
sumpah kobarkan khianat dan doa padamkan kejujuran….
kini sudah saatnya kami menghilang…
mengasingkan diri….
Tuk menemani tangisan para leluhur…
Brawijaya dan Siliwangi menghilang sekejap. Tulisan yang mereka buat dilangit juga menghilang. Belum sempat mulutku berbicara, suara berat Nusantara menggema, “Jadilah seperti sebuah kitab yang memberi petunjuk kepada bangsa dan negerimu. Aku tunggu janjimu Pemuda!”
Wushhh…. angin menerpa tubuhku. Rasa sejuk menusuk ke bagian tulang-tulangku. Terang sekali. Nyatanya cahaya matahari menerpa tubuhku. Hangat rasanya. Setengah sadar aku bangkit. Dan kepalaku menyentuh bunga edelweis. Samar-samar aku memandangi semua yang ada di sekelilingku. Huhhh deru nafas aku lepaskan karena hawa dingin ini. Ternyata aku telah tertidur pulas. Tertidur di puncak Hargo Dalem**) satu jam yang lalu. Aku tertunduk dan mengingat kembali. “Oh pemuda-pemuda tunggulah petunjuk ini. Akan kusampaikan ke seluruh negeri ini. Sekarang aku akan menjadi sebuah kitab.”
*) Serat Kalatidha karya Ronggowarsito yang tertuang dalam Serat Centhini jilid IV (karya Susuhunan Pakubuwono V) pada Pupuh 257 tembang 28 & 36.