HARI ini saya menerima tiga berita kematian sekaligus. Duka pertama saya terima saat pagi masih cerah menyapa. Ibunda teman saya telah berpulang. Usia dan sakit, itulah alasan yang utamanya selain takdir. Kabar duka kedua hadir tepat tengah hari saat matahari tepat di atas kepala. Datang dari ibunda salah seorang murid. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya karena penyakit yang sudah menggerogotinya bertahun-tahun lamanya. Dan tepat menjelang malam, menyusul kabar dari tiga teman saya sekaligus. Kecelakaan parah mengantarkan mereka mendahului kami, teman-temannya.
SAYANGNYA, duka ini hanya bisa saya ucapkan lirih tanpa bisa menghadiri pemakaman mereka. Kabar ini cukup untuk membuat badan ini merinding. Memberikan pemahaman berharga bahwa ternyata hidup di dunia ini memang untuk sementara. Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk takut menghadapinya. Tapi entah mengapa, badan ini tetap merinding. Mungkin, karena saya belum cukup bekal.
Seorang teman pernah bertanya pada salah seorang murid saya pada sebuah sesi pertemuan. Saat itu murid-murid saya hendak berdoa bersama demi kelulusan pada ujian masuk salah satu perguruan tinggi terkemuka di Yogyakarta. Tentu tujuannya agar kesiapan mental dan jiwa tetap terjaga sehingga tenang saat mengerjakan ujian esok.
Pertanyaan teman saya cukup sederhana, “Nak, tujuan kamu ikut acara ini untuk apa?”
Spontan murid saya menjawab, “Agar bisa lulus ujian”.
“Setelah lulus ujian, apa yang hendak kamu lakukan”
“Mm…belajar agar bisa mendapatkan ilmu”
“Oke. Kalau sampai tahap itu kamu berhasil, lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”
Nah, sampai pertanyaan ini, murid saya mulai terbata-bata menjawabnya. Dan akhirnya dia menemukan kata-kata bagus untuk menjawab pertanyaan itu.
“Mengamalkan ilmu agar bisa bermanfaat kepada buat orang lain”
“Baik. Setelah itu apa selanjutnya?”