"Ayo gunakan aplikasi blablabla!"Â
"Sekarang urusan blabliblumu ada di genggamanmu!"
Â
Kurang lebih seperti itulah jargon yang dikampanyekan para penyedia layanan digital. Eits, tapi kali ini yang dibahas bukan aplikasi besutan perusahaan startup ya.Â
Pembahasan kali ini khusus menyoroti begitu banyaknya aplikasi yang diluncurkan oleh pemerintah Indonesia. Hampir tiap kementerian atau lembaga memiliki aplikasi. Bahkan, tiap unit eselon satu ada kemungkinan menelurkan aplikasi mandiri sesuai bidang tugasnya. Jumlah aplikasi yang terdata oleh Kemenkominfo terbilang fantastis yakni 24.000 aplikasi.Â
Sedikit banyak, penulis pun mengarsitekturi beberapa aplikasi khususnya untuk layanan lokal di wilayah Lampung. Hampir di setiap satker yang penulis singgahi, ada aplikasi yang dilahirkan. Tulisan kali ini menitikberatkan pada tinjauan reliability, sustainability, dan public awareness.Â
Tentu, garis besar orientasinya untuk mengulas reformasi birokrasi di tiap kementerian atau lembaga tersebut.
Apabila kita flashback ke stigma lampau, tentu kehadiran aplikasi di dunia pemerintahan membawa kesan canggih dan evolusioner. Betapa tidak, pandangan yang telah lama terbentuk tidak jauh dari penilaian bahwa pemerintah kaku, tidak melek teknologi, "tidak ramah", dan mungkin juga membosankan. Kehadiran aplikasi tentu meruntuhkan penilaian tersebut, atau setidaknya sebagian dari pendapat tersebut.Â
Anggapan bahwa tidak melek teknologi jelas tertepis otomatis. Judgement bahwa pemerintah tidak ramah juga seharusnya terbantahkan. Bukankah sekarang tiap jari kita sudah terhubung dengan pemerintah, kan?Â
Namun, apakah benar bahwa aplikasi-aplikasi tersebut hadir sesuai dengan jargon yang digaungkan? Ini yang sebetulnya perlu dicermati meskipun jawabannya sulit didapatkan.