Mohon tunggu...
Febrio Sapta Widyatmaka
Febrio Sapta Widyatmaka Mohon Tunggu... Lainnya - Warga Negara Biasa

Seorang ayah sekaligus seorang anak, seorang suami, seorang pemimpin meskipun dalam lingkup kecil sekaligus seorang hamba Allah. Tulisan ini hanya sebuah nasehat untuk diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Reformasi Birokrasi di Era Aplikasi

27 Juli 2022   19:25 Diperbarui: 28 Juli 2022   06:58 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto pribadi sebagai ilustrasi

Diseminasi informasi yang sepertinya tidak imbang. Informasi atau kampanye keberadaan suatu aplikasi mungkin hanya berhenti di loket-loket pelayanan atau circle-circle yang dekat dengan kegiatan loket. 

Meningkatkan public awareness tidak hanya sekedar memberitahu tentang keberadaan suatu aplikasi. Hal yang juga sangat penting adalah menyampaikan disclaimer atas aplikasi tersebut. 

Terkait aplikasi Sentuh Tanahku besutan Kementerian ATR/BPN misalnya, sepertinya tidak pernah ada penyampaian "batasan-batasan" kepada masyarakat. Akhirnya bermunculan oknum melaporkan seseorang atas dugaan penyerobotan tanah. Padahal si oknum tidak pernah hadir selama ini di tanah yang ditinggali seseorang tersebut. 

Kenapa bisa? Karena apa yang tampil di aplikasi Sentuh Tanahku dijadikan legitimasi untuk mengklaim bahwa lokasi tanah memang di situ. Padahal kalau dipikir nalar, banyak loh bidang tanah di aplikasi tersebut yang menimpa jalan raya. 

Apakah kemudian berarti jalan raya tersebut milik seseorang? Edukasi terkait "daleman" suatu aplikasi sangat penting disampaikan. Bila pun dirasa disclaimer tersebut terlalu banyak dan justru akan menurunkan citra lembaga, sepertinya akan lebih arif kalau pembuatan aplikasi ditunda dahulu.

Eksistensi aplikasi di dunia pemerintah sebetulnya mempengaruhi indikator perwujudan reformasi birokrasi. Aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusia seharusnya "tersenggol" oleh aplikasi yang dibuat. Komunikasi dengan masyarakat seharusnya relatif lebih efisien. 

Business process semestinya lebih singkat. Dan sumberdaya manusia sepatutnya sudah terorganisir rapi baik pembagian tugasnya maupun penguasaan substansi pekerjaannya. Pertanyaan iseng muncul yakni apakah ke-ideal-an tersebut telah terwujud? 

Kalau belum, apakah tidak memunculkan peluang opini bahwa keberadaan aplikasi hanya menambah "gemuk" organisasi. Dan tentu hal tersebut kontra produktif dengan semangat reformasi birokrasi. 

Wacana pembangunan Super App seyogyanya tidak sekedar menjadi ajang untuk mewadahi puluhan ribu aplikasi yang sudah ada. Pertimbangan reliability dan sustainability perlu dikedepankan. Setidaknya, filtering tersebut akan dapat menjadikan Super App sebagai aplikasi yang multiguna. 

Sayang apabila Super App tersebut berisi banyak “deadlink”. Tentu, kampanye gencar-gencaran perlu segera digalakkan. Dan yang lebih penting lagi, wacana ini semestinya menjadi gerbang untuk strengthening the reforming institution.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun