Mohon tunggu...
Febrio Sapta Widyatmaka
Febrio Sapta Widyatmaka Mohon Tunggu... Lainnya - Warga Negara Biasa

Seorang ayah sekaligus seorang anak, seorang suami, seorang pemimpin meskipun dalam lingkup kecil sekaligus seorang hamba Allah. Tulisan ini hanya sebuah nasehat untuk diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mafia Tanah, Begitukah?

27 Juli 2022   11:49 Diperbarui: 27 Juli 2022   11:55 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di masa-masa awal pertanahan, pita ukur dan theodolith merupakan alat utama dalam survei pengukuran. Penggunaan theodolith memang masih yang terakurat kala itu. Namun, penggambaran (pemetaan) masih analog. Kalau boleh diilustrasikan, media gambar hasil pengukuran menggunakan pita ukur ataupun theodolith sama, yaitu dengan kertas. 

Mari bayangkan bagaimana mengarsipkan gambar setiap bidang tanah tersebut dalam media kertas. Kan ada skala! Yap Betul! Artinya memang memungkinkan memindahkan informasi dimensi bidang tanah dari realita ke atas kertas. Namun, proses tersebut menjadi semakin tidak sederhana kalau bidang tanah yang dipetakan jumlahnya banyak, jumlah petugas yang mengukur dan memetakan juga banyak (meski tak sebanding dengan jumlah obyek yang diukur), dan belum lagi pergeseran-pergeseran batas bidang tanah yang tidak terdokumentasikan atau terlaporkan. 

Untuk poin ketiga tersebut, sebetulnya menjadi wajar apabila ada publikasi yang memberitakan luas peta pertanahan lebih luas dari luas daratan pada kenyataannya. Tetapi kali ini kita abaikan isu tersebut terlebih dahulu. Kita balik fokus ke masalah tumpang tindih bidang tanah dan mafia tanah.

Sekitar tahun 2009, lembaga pertanahan "ngebut" pindahan ke sistem baru. Penggunaan citra satelit atau geodatabase sebagai basis pemetaan atau basis penggambaran hasil pengukuran mulai dilakukan. Tidak tanggung-tanggung, alih teknologi tersebut langsung dikomandoi oleh Otoritas Pusat. Jadi bukan kemudian masing-masing kantor di daerah berinovasi mewujudkan digital geodatabase. Tetapi, Pusat yang menyediakan platform-nya tersebut. Sebetulnya masa itu menjadi awal munculnya harapan terwujudnya satu data, khususnya peta pertanahan. Namun, proses yang berlangsung lebih cenderung diarahkan untuk merubah data analog menjadi digital. Gambar yang ada pada jutaan gulungan atau tumpukan kertas secepat-cepatnya dapat dikonversi menjadi data digital. Konversi tersebut salah satunya dengan cara disiam lalu didigitisasi. 

Di momen ini muncul tantangan utama sebetulnya, tetapi terlihat tidak dianggap primer karena arus kebijakan kali itu masih seputar konversi/digitalizing. Tantangannya apa? Jutaan bidang tanah yang telah terpetakan itu tidak seluruhnya berada di lokasi yang mudah diidentifikasi. Lokasi yang mudah diidentifikasi misal lapangan kantor bupati, sekolah, jalan-jalan di perkotaan. 

Jalan arteri pun sebetulnya relatif bukan merupakan tempat yang mudah untuk pointing suatu bidang tanah meski mengidentifikasi jalan itu sendiri relatif mudah di atas citra satelit. Lantas, bagaimana mendudukkan jutaan bidang tanah tersebut? Sementara petugas ukurnya sudah banyak yang pensiun atau kalau seandainya masih hidup, tugasnya sudah tidak lagi di situ dan tidak jarang sudah lupa dengan lokasi. Lebih parah lagi, sering terjadi anak dan istri mencari tanah suami/orangtua dengan berbekal sertipikat! Padahal seharusnya pihak pemilik tanah adalah "kunci" dalam mendudukkan peta bidang tanah ke database digital.

Mungkin pembaca yang paham jaring kontrol akan lari pada pemahaman bahwa ada tugu-tugu geodesi yang dapat dijadikan titik ikat. Betul, itu adalah salah satu cara untuk mendudukkan gambar bidang tanah tanpa harus "tanya" ke pemilik tanahnya. Namun, tidak semua gambar bidang tanah dilengkapi dengan referensi tugu-tugu tersebut. 

Faktornya banyak, mulai dari jarangnya jaring-jaring ikat tersebut atau tidak ditemukannya tugu referensi yang seharusnya ada fisiknya. Pengalaman penulis, tak jarang tugu semacam itu berpindah tempat atau hilang. Tugu yang berada di sekitar jalan misalnya, bisa digeser karena adanya pelebaran jalan. Pergeseran tanpa laporan ini pun sudah menjadi bibit baru kesalahan pemetaan selanjutnya. Belum lagi tugu yang hilang yang tentu tidak menyajikan data apa pun sebagai ikatan pengukuran. 

Dari ilustrasi ini menjadi semakin jelas betapa upaya untuk mendudukkan bidang tanah pada geodatabase menjadi sesuatu yang rumit. Ini belum membahas rasio jumlah bidang tanah terpetakan analog dengan jumlah pegawai yang ditugaskan melakukan digitalisasi ya. Oia, ini juga belum membahas tentang perubahan arahan datum geodesi nasional, tingkat koreksi citra, dan selip pemahaman RMSE (Root Mean Square Error) ya.

Agrarian Institution wrestles with digitalizing and plotting! Mungkin begitu suasana kala itu. Di satu sisi kebijakan sedang fokus untuk mengubah peta-peta manual ke versi digital. Di sisi lain, imbasnya tentu kegiatan konversi tersebut harus dibarengi dengan kontrol kualitas saat meletakkan tiap poligon bidang tanah ke posisi yang seharusnya di atas citra satelit. Sayangnya, memaksimalkan dua pekerjaan sekaligus bukan hal yang mudah. Poin kedua kurang maksimal. Dan kebijakan kala itu masih mentolerir apabila ada permohonan sertipikat baru yang petanya menimpa dengan poligon hasil digitalisasi peta analog tersebut. 

Mungkin karena para pembuat kebijakan masih di posnya semula sehingga paham tentang kisah sulitnya konversi yang dihadapi selama ini. Namun, itu tak berlangsung lama. Beberapa tahun berikutnya, aksi freeze bidang tanah dimulai. Tidak boleh lagi menggambarkan bidang tanah baru di atas bidang tanah hasil digitalisasi. Maknanya? Bidang tanah yang sudah ter-upload sampai saat itu seolah-olah dianggap benar sampai adanya pembenahan di blok tersebut. Hasilnya? Tentu ini jadi beban baru ketika muncul permohonan pensertipikatan bidang tanah yang benar-benar baru alias belum terdaftar. Pada konteks ini, jangan pernah berpikir bahwa peta bidang tanah yang lama pasti lebih benar daripada bidang tanah yang baru ya. Kenapa? Tulisan kali ini sepertinya representatif untuk menggambarkan apa yang terjadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun