Pagelaran Kesenian Ludruk di Surabaya dalam Teori Fungsionalisme
Objek kebudayaan lokal adalah suatu hasil kebudayaan yang ada pada masayarakat daerah tertentu dan menjadikan hal tersebut suatu ciri khas suatu daerah. Pasal 5 mengenai objek kebudayaan meliputi, yaitu tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
Surabaya merupakan sebuah kota yang berada di wilayah Provinsi Jawa Timur. Kota Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur yang menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian dari Provinsi Jawa Timur yang sekaligus kota metropolitan terbesar di provinsi tersebut.
Surabaya termasuk kota terbesar kedua setelah Jakarta yang terletak di pantai utara Pulau Jawa bagian timur dan berhadapan dengan Selat Madura serta Laut Jawa.
Kota Surabaya juga sering dikenal dengan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan Arek-arek Suroboyo (Pemuda-pemuda Surabaya). Karena kota Surabaya merupakan kota metropolitan dan kota terbesar kedua setelah Jakarta, maka tidak bisa dipungkiri bahwa kota Surabaya juga kota yang beraneka ragam ras, etnis, dan suku.
Karena hal tersebut, kota Surabaya juga memiliki banyak kebudayaan di setiap daerahnya, mulai dari adat istiadat, kesenian, bahasa, dan lain sebagainya.
Adat istiadat yang ada di kota Surabaya tak beda dengan adat istiadat Jawa Timur-an daerah lainnya. Salah satu yang menjadi ciri khas dari kota Surabaya ialah bahasa jawanya yang berlogat medok. Dalam objek kebudayaan di kota Surabaya terdapat satu ikon seabgai identitas kota Surabaya, yaitu kesenian ludruk.
Di Surabaya sendiri terkenal akan ciri khasnya yaitu kesenian ludruk. Kesenian ludruk merupakan teater dari Jombang yang menggunakan bahasa Jawa dengan dialek Jombang-Surabaya tataran ngoko. Meskipun sejarah awal kesenian ludruk berasal dari Jombang, namun kesenian ludruk berkembang pesat di Surabaya. Keberadaan ludruk di masyarakat sudah ada sejak 1920 oleh Pak Santik tokoh seniman dari Jombang.
Penampilan ludruk berawal dari kesenian ngamen yang berisi syair – syair dan iringan musik.
Namun, setelah melewati beberapa periode di masa penjajahan, ludruk digunakan sebagai hiburan teater yang menyajikan cerita – cerita lokal tradisinonal, kisah – kisah heroik pada masa penjajahan, kehidupan orang – orang kelas bawah, dan cerita – cerita yang berfokus pada hiburan.
Seiring dengan perkembangan dari masa ke masa, maka perkembangan kesenian ludruk dapat dikategorikan dalam beberapa periode, diantaranya:
- Periode Lerok Besud (1920 – 1930)
- Periode Lerok dan Ludruk (1930 – 1945)
- Periode Ludruk Kemerdekaan (1945 – 1965)
- Periode Ludruk Pasca G30S PKI (1965)
Pada tahun 1933, kesenian ludruk berkembang dengan tumbuh subur di Jawa seiring masa kemerdekaan. Di tahun tersebut, didirikannya LO atau Organizati oleh Cak Durasim yang merupakan seniman ludruk kelahiran Jombang dan juga merupakan seniman ludruk sejati di jaman Soerabaja Tempo Doeloe.
Pada tahun 1974-1975, Bupati Kepala Daerah Tingkat II melakukan serah terima bangunan gedung dan perumahan kepada kepala perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur yang sejak saat itu dibangun Teater Terbuka dan Gedung Pertunjukan dan saat ini dikenal dengan Gedung Cak Durasim.
Di masa saat ini, eksistensi kelompok kesenian ludruk bisa dikatakan mati suri. Hal tersebut dikarenakan kurangnya wadah dari pemerintah untuk kelompok kesenian ludruk di Surabaya. Salah satu buktinya yaitu gedung – gedung ludruk yang ada di Surabaya.
Meskipun Surabaya memiliki banyak gedung ludruk, tetapi gedung tersebut tidak diperuntukkan kelompok ludruk untuk melakukan pagelaran, justru kelompok ludruk diharuskan menyewa untuk mendapatkan fasilitas tempat pagelarannya.
Mengingat perkembangan generasi zaman ke zaman dan terjadinya globalisasi, hal tersebut dirasa juga penyebab mati suri nya kelompok kesenian ludruk karena kurangnya minat dari generasi muda saat ini. Karena kurangnya minat generasi muda saat ini terhadap objek kebudayaan, maka kurangnya kesadaran terhadap jati diri bangsa membuat generasi muda saat ini tidak mengenal budayanya atau jati diri bangsanya.
Pada masa saat ini, generasi muda khususnya Surabaya dari kalangan SD, SMP, SMA bahkan remaja tidak mengenal kesenian ludruk. Hal tersebut sangat disayangkan, karena kesenian ludruk merupakan suatu ciri khas kota Surabaya dalam objek kebudayaan.
Peran generasi muda pada saat ini sangat diperlukan guna mewariskan kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya di Surabaya. Akibat dampak dari globalisasi yang membuat generasi muda saat ini lupa akan jati diri bangsa. Globalisasi harus disikapi dengan bijak, globalisasi bukan menjadi alasan hancurnya nilai – nilai luhur budaya bangsa (Ermawan 2017).
Sebab, peran generasi muda saat ini penting bagi kelompok kesenian ludruk sebagai jembatan atau wadah aspirasi mereka. Tidak hanya itu, demi mewariskan kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya Surabaya, kesenian ludruk tidak hanya digunakan sebagai hiburan saja.
Terdapat makna – makna yang dapat diambil dari pagelaran kesenian ludruk yang nantinya jika generasi muda turut serta dalam pemajuan objek kebudayaan kesenian ludruk akan mendapatkan nilai – nilai luhur budaya bangsa guna mengatasi dampak globalisasi pada masa kini.
Pada hakikatnya, teori fungsionalisme menyatakan bahwa seluruk unsur kebudayaan dalam suatu masyarakat itu terikat satu sama lain dan berguna bagi masyarakat tersebut. Pada pagelaran kesenian ludruk sendiri terdapat unsur – unsur kebudayaan yang nantinya terdapat makna – makna bagi kehidupan sosial.
Pagelaran ludruk sendiri biasanya dilakukan di malam hari rentang pukul 9 malam hingga pagi, karena perannya yang cukup berat secara fisik juga, maka ludruk biasanya hanya dipentaskan oleh laki – laki atau waria sebagai pengganti lakon wanita. Dalam pegaleran kesenian ludruk juga memiliki struktur dalam pementasannya, yaitu:
- Pembukaan dengan atraksi tari remo
Arti dari pembukaan yang dibuka dengan atraksi tari remo ialah karena tari remo sendiri memiliki makna bahwa tari remo dilakukan pada saat pembukaan di setiap acara, makna lain ialah sebagai ucapan selamat datang.
- Tarian Bedayan
Tarian Bedayan sendiri merupakan tarian joget ringan oleh beberapa transvestite sambil melantunkan jula – juli. Sejatinya, tarian bedayan ini memiliki makna yang sama denga tari remo yaitu sebagai ucapan selamat datang. Tetapi bedanya, tarian Bedayan sendiri berfungsi sebagai penyambutan dengan makna yang lebih dalam. Makna tersebut biasa dikenal dengan “Keterbukaan diri dan masyarakat serta kesederhanaan”.
- Dagelan
Dagelan atau yang biasa disebut dengan lawakan yang menyajikan satu kidungan lalu disusul oleh beberapa pelawak lain. Yang kemudian mereka berdialog dengan materi humor yang lucu. Di dalam dagelan tersebut pelawak memakai bahasa Jombang-Surabaya sebagai dialog. Hal tersebut guna memperkenalkan bahasa Jawa dalam penampilan kesenian ludruk.
- Penyajian lakon atau cerita
Yang merupakan inti dari pementasan dan biasanya lakon dibagi menjadi beberapa babak, dengan setiap babak dibagi menjadi beberapa adegan.
Tak lain dari makna pagelaran ludruk sendiri pada masa Cak Durasim yaitu sebagai penyampaian ide – ide nasionalisme dan perlawanan pada masa kemerdekaan. Begitupun pada masa kini, dengan penyajian cerita – cerita dalam pagelaran kesenian ludruk memberikan makna sosial bagi penontonnya terhadap sejarah dan sosial budaya.
Karena hal tersebut generasi muda masa kini sangat diperlukan dalam globalisasi yang menghilangkan jati diri bangsa dengan mulai melek dan mengenal budaya serta jati diri bangsa.
Melakukan kontribusi dengan melakukan sosialisasi pembaharuan kelompok kesenian ludruk di masa kini serta ikut dan berproses dengan kelompok kesenian ludruk yang ada di Surabaya, serta mengajukan pemajuan objek kebudayaan agar pemerintah memberi wadah untuk kelompok kesenian ludruk dalam melakukan pagelaran, agar pemerintah Surabaya tidak hanya mengakui bahwa Surabaya memiliki ciri khasnya yang terkenal yaitu kesenian ludruk tetapi juga turut andil dalam mewariskan objek kebudayaan yang ada di Surabaya.
Berikut dokumentasi sebagai bentuk kontribusi generasi muda saat melakukan sosialisasi pembaharuan untuk kelompok kesenian ludruk dengan memanfaatkan media sosial sebagai salah satu jalan pintas mereka dalam melakukan pagelaran kesenian ludruk.
Referensi :
Ermawan, Donny. 2017. “Pengaruh Globalisasi Terhadap Eksistensi Kebudayaan Daerah Di Indonesia.” Pp. 1–54 in Jurnal Kajian Lemhannas RI. Vol. 32, edited by B. I. Aryanto and N. M. V. Saraswati. Jakarta: PT Media CITRA berdikari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H