PengantarÂ
Indonesia memang sulit untuk melepaskan diri dari suatu persoalan yang mengatasnamakan tujuan demi mewujudkan pemerintahan yang baik.
Banyak birokrat yang berlomba-lomba merebut sebuah tujuan itu yang hanya bisa menuturkannya tanpa memberikan pelayanan secara maksimal seperti mereka memaksimalkan untuk mendapatkan suatu legitimasi bagi dirinya.Â
Suatu upaya untuk mencapai titik puncak, mereka memang berpikir merumuskan bagaimana sebuah negara bisa mencapai pemerintahan yang baik.
Hanya saja mereka kurang memperhatikan persoalan apakah mereka bisa meratakan rakyat untuk bisa merasakannya. Banyak hal dari pelayanan dan kebijakan publik yang diberikan, akan tetapi faktanya nihil, apapun kebijakan dan pelayanan publik yang mereka ambil pasti dari sebagian besar masyarakat masih saja tidak terealisasikan dengan baik.
Pembuat kebijakan dapat belajar dari kejadian tahun lalu ketika penerimaan subsidi BBM yang tercatat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (MTDP) 2009-2014 untuk 2013 hanya sebesar Rp.51,1 triliun (Rivani, 2014).Â
Andai saja pemerintah bisa memperhatikan bahwa kejadian tahun lalu bisa saja menjadi dasar apa yang bisa terjadi atas keputusan kenaikan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) tahun ini. Lalu ketika melihat kondisi sekarang para pembuat kebijakan harus memperhatikan masyarakat sebagai inti dari dampak yang akan terjadi.Â
Tentu para birokrat sedikit pun tidak berpikir banyak, bahwa faktanya masyarakat Indonesia ada yang kurang melek terhadap perkembangan saat ini, meskipun pemerintah berusaha mengatasinya dengan memberikan berbagai pelayanan dan kebijakan publik, Indonesia masih saja belum bisa terlepas dari jeritan masyarakat terlebih masyarakat kecil.
Upaya mengkaitkan good governance dengan pelayanan publik mungkin bukan sesuatu yang baru namun kaitan antara konsep good governance dengan konsep pelayanan publik tentu cukup jelas (Kumorotomo, 2007). Apabila para pemerintah menginginkan adanya pemerintah yang sehat, permasalahan ini harus jelas mau dibawa kemana.Â
Persoalan ini akan menjadi persoalan yang terus menerus menjadi problematika di Indonesia. Jika memang bisa diatasi, para masyarakat sekarang ini tentu sangat menginginkan kontribusi mereka. Terlebih kejadian tahun lalu yang hingga saat ini terulang kembali.Â
Perlu ditegaskan bahwa para masyarakat belum bisa merasakan manfaat dari kebijakan yang mereka keluarkan. Tentu persoalan ini yang menjadi beban pokok pemerintah Indonesia sehingga belum bisa mencapai titik pemerintahan yang baik.
Bahan Bakar Minyak Melejit, Masyarakat MelaratÂ
Indonesia tampaknya tidak terlepas dari dampak sosio-finansial dari ledakan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) 17 tahun yang lalu, tepatnya Maret 2005 (Afrida, 2015). Tidak hanya itu, kenaikannya tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komponen lumrah, karena kenaikan biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) perlu diimbangi dengan besaran angka minyak di dunia.Â
Kalau dipikir-pikir, masyarakat Indonesia belum terbiasa karena melihat kemerdekaan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) telah disponsori dengan bantuan pemerintah dan nilainya luar biasa hingga triliunan rupiah. Menilik lagi, kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) ini menimpa seluruh jajaran pemerintah Indonesia sejalan dengan pergerakan tarif energi global.
Tabel 1. Kenaikan harga BBM menurut pergantian era presiden pada tahun 1980 hingga 2003.
Bisa dilihat pemerintah selalu mengeluarkan kebijakan yang tidak populis dan melenceng dengan aksi kuasa mereka dengan menciptakan kebijakan yang sangat dahsyat. Banyaknya masyarakat multikultural di Indonesia mengisi pro kontra kebijakan yang diambil. Banyak masyarakat yang mampu tapi juga tidak ingin dirugikan, padahal ada juga masyarakat yang kurang mampu yang seharusnya menjadi prioritas dalam kebijakan yang dibuat.Â
Pemerintah berusaha memperbaiki sistem keuangan negara, baginya tentu dengan cara menerapkan kebijakaan ini dapat meminimalisir beratnya subsidi di akhir tahun. Akan tetapi tidak ragu, kenaikan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan perolehan rata-rata 125%, sementara itu otoritas sebelumnya telah berjanji untuk menaikkan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) maksimal 50% (Saleh, 2005).Â
Faktanya masyarakat merasa hanya diberi omong kosong, janji manis yang mereka ucap tidak terealisasikan dengan keadaan yang sekarang.
Berbeda pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dulu setiap kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari usulan pemerintah, selalu ditolak oleh para kalangan DPR. Penolakan yang terjadi dikarenakan banyak kelompok anggota DPR memang sejak awal tidak pernah setuju kalau waktu pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Â
Mereka menolak usulan pemerintah dengan memberi alasan jika Bahan Bakar Minyak (BBM) dinaikkan dapat menaikkan inflasi dan kemiskinan di Indonesia membengkak. Kenyataannya hal ini menjadi sebuah omong kosong belaka, ternyata dijadikan sebuah tradisi bagi para pembuat kebijakan, mau menolak pun kenyataannya hal ini benar adanya.
Kita bisa kembali bahwasanya pada waktu 1 Oktober 2005, yang mana sementara pemerintah terus menggenjot tarif  Bahan Bakar Minyak (BBM).Â
Harga bensin yang berlebihan muncul kembali di naungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakilnya Jusuf  Kalla. Biaya tarif tertinggi diperpanjang menjadi Rp.4.500 dari awalnya seharga Rp.2.400 per liter, kemudian jenis solar menyentuh harga Rp.4.300 yang semula hanya Rp.2.300 per liter, dan minyak tanah dengan biaya Rp.2.000 dari Rp.700 (Saleh, 2005).Â
Peningkatan pada beberapa tahap pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak seimbang dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Otomatis ketika masyarakat yang dasarnya dari golongan bawah, akibat dari kebijakan ini mereka akan semakin mengalami kemiskinan karena tidak mampu mengimbangi harga yang dipasarkan oleh pemerintah.Â
Padahal dari persoalan kemiskinan masyarakat ini lagi dan lagi akan menambah pekerjaan baru bagi pemerintah, dan persoalan kemiskinan yang ada di Indonesia pun tidak bisa dibendung, karena kemiskinan di Indonesia adalah penyakit yang sampai sekarang belum bisa disembuhkan.
Pelayanan publik merupakan semua kerangka kegiatan yang dilakukan para pemangku pemerintah dan ditujukan untuk mewujudkan impian masyarakat dalam peningkatannya terhadap kualitas dan kepuasan yang diberikan kepada masyarakat. Bisa dibilang pelayanan publik ini dihadirkan sebagai upaya tanggung jawab pemerintah kepada pemain di negara Indonesia ini (Stakeholder). Artinya seharusnya pelayanan publik ini dilaksanakan dengan tujuan utamanya para masyarakat, agar bisa merasakan kepuasan dari semua layanan yang diberikannya. Akan tetapi, faktanya hal ini belum mampu sesuai dengan harapan semuanya.
Memang permasalahan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) ini membuat delima bagi pemerintahan, ketika mengambil keputusan untuk menaikkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), masyarakat pula yang akan terkena imbasnya hingga muncul konflik-konflik sosial. Di satu sisi juga apabila tidak memaksakan Indonesia juga yang akan selalu tertinggal dari negara lain.
Yang jelas para pembuat kebijakan harus bisa menerapkan suatu pengorbanannya untuk mengedepankan kepentingan publik di atas segala-galanya tanpa berpaling dan berfokus untuk tujuan pemerintahan yang baik.
Ledakan biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) tersebut tertuang dalam berbagai Kebijakan Presiden Nomor 22 Tahun 2005 mengingat alokasi subsidi bensin dalam kisaran biaya negara tahun 2005 hanya Rp.19 triliun dan kuota pada Bulan Januari dan Februari berakhir hingga Rp.13 triliun, sekitar 68% dari subsidi untuk total setahun penuh (Rakhmawati, 2015).Â
Ternyata disini pemerintah mengambil keputusan ini karena biaya minyak yang ditunjang di Indonesia lebih kecil daripada biaya minyak dalam internasional, dan tanpa terkecuali kenaikan harga minyak di dunia ini tidak diiringi oleh Indonesia dalam memproduksi minyak, sehingga Indonesia terus mengalami kemerosotan.Â
Mau tidak mau, pemerintah pada kuasa Susilo Bambang Yudhoyono ini mengambil kebijakan yang dahsyat untuk mengurangi subsidi dengan taktik mengembangkan bayaran Bahan Bakar Minyak (BBM). Kian hari kian meningkat, pemerintah selalu mengejar kestabilan harga minyak dengan terus menerus dengan usaha meninggikan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM).
Tingginya biaya bahan bakar itu luar biasa karena preferensi Susilo Bambang Yudhoyono adalah menaikkan harga bahan bakar langsung di puncak 100%. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melansir bahwa eskalasi biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui rata-rata kepesatan sebesar 126% (Rakhmawati, 2015).Â
Apabila dihitung rakyat Indonesia merasakan kebijakan ini sebanyak tiga kali pada ranah kuasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak periode pemerintahannya selama lima tahun beliau menjabat.Â
Pada tamatnya naungan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, terdapat kenaikan lain atas biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui Undang-Undang Menteri Tenaga dan Sumber Daya Mineral (Ketenagalistrikan dan Sumber Daya Mineral) Nomor 16 Tahun 2008 dan dilegalkan tepat tanggal 23 Mei 2008 serta akan bisa berjalan pada 24 Mei 2008.Â
Tarif bensin hanya menutup hitungan bulan saja. Selepas separuh tahun pemerintah meminimalkan tarif bensin dan pada 29 Januari 2009 solar menjadi seharga Rp.4.500 per liter (Rakhmawati, 2015).
Tidak gagal hanya sampai di situ, masalah ini kembali berkembang hingga masa transisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Presiden Jokowi Widodo. Setelah kebijakan kenaikan BBM tiga kali di bawah kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kini di pemerintahan Presiden Jokowi Widodo juga telah terulang tiga kali dengan periode yang unik.
Tepat pada 17 November 2014, Presiden Joko Widodo memperkenalkan melambungnya biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga hal ini dapat diterapkan tepat pada 18 November 2014, yang mana premium melonjak naik sebesar Rp.2.000 dari Rp.6.500 menjadi Rp 8.500 per liter, sementara itu jenis solar naik Rp.2.000 dari Rp.5.500 hingga Rp7.500 per liter (Febriyanti, Rahyuda, 2016).Â
Kebijakan ini dianggap menjadi keputusan pemerintah untuk mempengaruhi kondisi investasi yang ada di Indonesia. Pemerintah melakukan hal ini ditujukan untuk dimanfaatkan secara lebih produktif, seperti halnya kesehatan, pendidikan, hingga peningkatan pembangunan infrastruktur sehingga dapat merepduksi pekerjaan baru untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Oleh karena itu, bagi pihak berwenang modifikasi biaya minyak ini terlalu esensial.
Presiden Joko Widodo menambahkan pengurangan biaya Bahan Bakar Minyak pada tanggal 16 Januari 2015 sehingga mulai berlaku pada tanggal 19 Januari 2015, dimana biaya premium diubah menjadi berkurang Rp.1.000 dari Rp.7.600 menjadi Rp.6.600 per liter, serta turun Rp.850 untuk jenis solar mulai dari Rp.7.250 menjadi Rp.6.400 per liter (Febriyanti, Rahyuda, 2016).Â
Kebijakan ini terus berlanjut hingga Presiden Jokowi Widodo menetapkan pertalite berupa BBM jenis nonsubsidi menjadi BBM bersubsidi. Namun tiga tahun kemudian besaran harga jenis pertalite pada Bahan Bakar Minyak (BBM) naik sebanyak dua kali dalam tiga tahun terakhir.
Pada saat itu harga pertalite memang sempat turun, akan tetapi turunnya harga ini tidak bertahan sangat lama. Dengan jarak dekat ternyata pemerintah tidak menurunkan harga melainkan menambah menaikkan harga dengan jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berbeda-beda.
Tabel 2. Naik Turun Harga BBM Subsidi Era Jokowi Widodo
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan suatu komoditi harta karunnya Indonesia yang mana hal ini memang menentukan berjalannya perekonomian di Indonesia. Bahan Bakar Minyak (BBM) ini mempunyai peran sungguh hakiki karena seluruh tindakan yang ditunaikan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia ini bersangkut paut dengan adanya Bahan Bakar Minyak (BBM), mulai dari ibu rumah tangga hingga suatu perusahaan di bidang jasa dan barang.
Presiden Jokowi Widodo menaikkan tarif subsidi bahan bakar minyak (BBM) ini karena banyak faktor pendukung, mulai dari kenaikan harga minyak internasional, yang mana biaya minyak global telah meraih angka di atas US$100 per liter, serta kenaikan tarif minyak mentah Indonesia yang sekarang juga meningkat, berkembang, dan tercatat sebesar US$114,55 sesuai dengan barel per 24 Maret 2022 (Hrp, Aslami, 2022).Â
Kemudian terjadi peperangan antara Rusia dan Ukraina yang mengakibatkan terganggunya bahan baku dari Rusia dan Kazakhstan berupa minyak mentah sehingga berakibat rusaknya pipa Caspian Pipeline Consortium yang menyebabkan penurunan pengiriman minyak langsung dari Uni Eropa (Hrp, Aslami, 2022). Kemudian permintaan dengan penawaran yang tidak seimbang juga mengakibatkan banyaknya kendaraan kehabisan BBM.
KesimpulanÂ
Naiknya biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) ini benar adanya, dan tentu naiknya BBM tidak bisa ditinggalkan dalam ranah birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Meskipun berbagai upaya yang diberikan pemerintah, masih banyak konflik sosial yang tetap terjadi hingga terus menerus membawa peran pemerintah untuk segera mengatasinya. Berbagai upaya yang tidak berhasil dari para birokrasi, seperti halnya ketidakpastian pelayanan, dan pengabaian hak dan martabat masyarakat masih saja dialami hingga masa sekarang.Â
Hal ini karena sistem pelayanan yang dilakukan mereka belum transparan dan tidak menjamin sebuah keadilan yang jelas. Sehingga hal ini menuntut para asumsi masyarakat untuk melakukan aksi untuk penuntutan keadilan ini.Â
Tentunya hal ini juga membawa bagi sebagian besar masyarakat terlebih para mahasiswa yang menyuarakan aspirasinya kepada pemerintah melalui demo, karena mahasiswa tidak mempunyai wewenang yang kuat selain melakukan aksi. Hanya saja jika dipikirkan kembali, hal ini tidak memiliki hasil yang konkret. Aksi ini tetap saja tidak memberikan efek apapun kepada para pemerintah.
Memang di era sekarang kendaraan menjadi suatu kebutuhan primer karena menyokong untuk menjalani semua kehidupan.Â
Apabila banyak masyarakat, dan mahasiswa demo karena hasil kebijakan ini yang dianggap tidak sesuai dan menyengsarakan masyarakat dengan dimotori adanya kondisi keuangan di Indonesia, karena Upah Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di setiap daerah saja hanya bisa terbilang cukup untuk makan dan kebutuhan pokok lainnya.Â
Padahal demo itu bisa saja ditujukan untuk penyesuaian upah saja. Andai saja subsidi di Indonesia terus menerus naik, tetapi pemasukan bagi Indonesia tidak ada, ujung-ujungnya Indonesia tentu akan melakukan utang lagi.Â
Jika melakukan utang lagi, tentunya utang negara Indonesia akan bertambah dan tidak pernah selesai dan para pembuat kebijakan akan lebih bekerja keras memikul suatu keadilan atas kehidupan masyarakat dalam ranah kebijakannya demi tercapainya good governance.Â
SaranÂ
Dari banyaknya faktor kenaikan BBM ini tentunya masyarakat mengalami efek buruknya, dari harga barang dan jasa ikut naik, naiknya tarif ongkos, meningkatnya harga bahan pokok, menghambat laju pertumbuhan ekonomi, dan ternyata hal ini juga dapat meningkatkan jumlah pengangguran.
Banyaknya dampak yang diakibatkan atas kebijakan ini tentunya pemerintah bisa mengupayakan dari adanya dampak ini bagi masyarakat. Pemerintah seharusnya bisa menetapkan dan menjaga harga barang pokok atau harga barang lain agar tidak ikut naik.Â
Apabila selalu naik dan bahkan kian naik otomatis perekonomian Indonesia akan menjadi korban. Jika memang kebijakan ini menjadi hal wajib, minimal pemerintah dapat menaikkan secara perlahan, dan memberikan bantuan kepada masyarakat golongan bawah karena hal ini tentu membantu mereka dalam menjalani roda hidupnya.
Pemerintah sesungguhnya malah mengubah haluan integritas dengan mengambil jalan lain yang lebih singkat, padahal mereka disini sebagai aktor utama yang memberikan remot kontrol untuk pengembangan kualitas pelayanan publik.
Oleh karena itu tentunya berbagai upaya strategi untuk meningkatkan sebuah kualitas pelayanan publik hingga pada akhirnya tujuan dari harapan bangsa Indonesia dapat direalisasikan dengan memberikan tingkat kualitas kepuasaan yang tinggi bagi para masyarakat yang berhak menerimanya.Â
Pemerintah bisa mengubah fokus pada permasalahan ini dengan menggunakan salah satu upaya yaitu dengan adanya perlindungan sosial, yang mana hal ini menjadi fokus utama pemerintah mengenai masalah kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) jelas adanya dapat memicu kemiskinan di Indonesia.
Harga asli jauh di atas rata-rata, harga minyak di dunia naik melesat dan Indonesia mengonsumsi minyak kita lebih besar dari produksinya. Jika dibilang pemerintah kurang kreatif memang di ucapkan mudah, akan tetapi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang disubsidi uangnya berasal dari pajak.Â
Jika pemerintah tidak menambah utang pasti dialihkan dengan menaikkan pajak. Hanya saja masyarakat khawatir, mereka sudah bersusah payah tetapi masih banyak korupsi di Indonesia dan APBN serta APBD juga dihamburkan untuk hal yang kurang penting. Hal ini juga bisa membawa ke sisi berapa banyak kendaraan terlebih motor di Indonesia yang tidak menutup kemungkinan tidak membayar pajak.Â
Pemerintah memang bisa saja mensosialisasikan bagi masyarakat yang belum membayar pajak, karena masyarakat juga harus berkomitmen dan paham akan risikonya sendiri.
Keamanan sosial sebagai sikap yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan yang lebih dekat dengan pemerintahan yang baik dengan menggunakan mewujudkan cita-cita negara Indonesia.
Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI) 1945 serta menekankan pada konteks Pasal 34 UUD 1945 dan juga mengamanatkan bahwa anak-anak terlantar dan fakir miskin harus dipelihara oleh negara dan bangsa yang berkewajiban untuk memperluas perangkat keselamatan dan keamanan sosial nasional (Nasional, 2014).
Maka dari itu sejatinya program ini ditujukan untuk mendukung mewujudkan pembangunan yang adil dan merata.Â
Akan tetapi perlindungan sosial ini kurang disamakan dengan rancangan pemerintah, padahal hal ini menjadi pondasi pelaksanakan kegiatan ini selama tujuan pembangunan di Indonesia berjalan.
Melihat upaya pemerintah kali ini mengenai kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) 2022 Â yang berupa bantuan Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM dimana yang dialokasikan untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang sudah mendaftarkan diri pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Kesehatan.Â
Keluarga mereka berhak atas Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM 2022. Pelayanan publik disini yang dilakukan dengan para Keluarga Penerima Manfaat (KPM) mendaftarkan melalui aplikasi Kementerian Sosial, hal ini jelas mempermudah. Hanya saja, hal ini juga bisa merugikan para masyarakat karena masuk DTKS saja tidaklah mudah.
Tidak menutup kemungkinan Bantuan Langsung Tunai (BLT) ini tidak dapat terealisasikan dengan baik dan adil bagi keluarga yang memang benar-benar layak menerima, karena banyak keluarga di golongan rendah yang tidak pintar mengoperasikan akan layanan yang diberikan ini sehingga dimanfaatkan bagi masyarakat yang mampu.Â
Jika ingin membantu para masyarakat dan tepat sasaran bisa terjun langsung ke lapangan, dengan dibantu para aparatur desa, bisa saja dengan menstandarkan semua harga pangan dan Bahan Bakar Minyak (BBM) karena jika distandarkan semuanya otomatis masyarakat pun bisa merasakan akan keadilan yang diberikan pemerintah dan meminimalisir kecemburuan sosial.
Intinya para pembuat kebijakan bisa lebih serius lagi dalam membuat semua kebijakan, tidak setengah-setengah, sehingga dapat terwujudnya secara nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H