Bahan Bakar Minyak Melejit, Masyarakat MelaratÂ
Indonesia tampaknya tidak terlepas dari dampak sosio-finansial dari ledakan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) 17 tahun yang lalu, tepatnya Maret 2005 (Afrida, 2015). Tidak hanya itu, kenaikannya tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komponen lumrah, karena kenaikan biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) perlu diimbangi dengan besaran angka minyak di dunia.Â
Kalau dipikir-pikir, masyarakat Indonesia belum terbiasa karena melihat kemerdekaan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) telah disponsori dengan bantuan pemerintah dan nilainya luar biasa hingga triliunan rupiah. Menilik lagi, kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) ini menimpa seluruh jajaran pemerintah Indonesia sejalan dengan pergerakan tarif energi global.
Tabel 1. Kenaikan harga BBM menurut pergantian era presiden pada tahun 1980 hingga 2003.
Bisa dilihat pemerintah selalu mengeluarkan kebijakan yang tidak populis dan melenceng dengan aksi kuasa mereka dengan menciptakan kebijakan yang sangat dahsyat. Banyaknya masyarakat multikultural di Indonesia mengisi pro kontra kebijakan yang diambil. Banyak masyarakat yang mampu tapi juga tidak ingin dirugikan, padahal ada juga masyarakat yang kurang mampu yang seharusnya menjadi prioritas dalam kebijakan yang dibuat.Â
Pemerintah berusaha memperbaiki sistem keuangan negara, baginya tentu dengan cara menerapkan kebijakaan ini dapat meminimalisir beratnya subsidi di akhir tahun. Akan tetapi tidak ragu, kenaikan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan perolehan rata-rata 125%, sementara itu otoritas sebelumnya telah berjanji untuk menaikkan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) maksimal 50% (Saleh, 2005).Â
Faktanya masyarakat merasa hanya diberi omong kosong, janji manis yang mereka ucap tidak terealisasikan dengan keadaan yang sekarang.
Berbeda pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dulu setiap kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari usulan pemerintah, selalu ditolak oleh para kalangan DPR. Penolakan yang terjadi dikarenakan banyak kelompok anggota DPR memang sejak awal tidak pernah setuju kalau waktu pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Â
Mereka menolak usulan pemerintah dengan memberi alasan jika Bahan Bakar Minyak (BBM) dinaikkan dapat menaikkan inflasi dan kemiskinan di Indonesia membengkak. Kenyataannya hal ini menjadi sebuah omong kosong belaka, ternyata dijadikan sebuah tradisi bagi para pembuat kebijakan, mau menolak pun kenyataannya hal ini benar adanya.
Kita bisa kembali bahwasanya pada waktu 1 Oktober 2005, yang mana sementara pemerintah terus menggenjot tarif  Bahan Bakar Minyak (BBM).Â