Dunia menyajikan banyak pilihan. Bahkan untuk hidup dan menjalaninya. Dan pilihan-pilihan itu lahir dari keinginan seseorang. Fear of Missing Out atau yang lebih dikenal dengan istilah FOMO. Kalau kata orang-orang pada umumnya, takut ketinggalan. Buku karya Patrick J. McGinnis ini mengangkat tentang fenomena FOMO. Dari nulai arti istilah, akar masalah, dampak, dan cara mengatasinya. Siapapun yang belum membaca buku ini, pasti belum mengetahui bahwa penulis pun mendeklarasikan dirinya sebagai FOMO pertama yang diciptakan dan telah mengalami hal tersebut selama bertahun-tahun. Saat ini pun, kawanan FOMO telah bertambah. Lantas, apakah salah apabila kita mengalami FOMO?
FOMO tidak terbatas pada hal-hal yang kita lihat di media sosial Yang mengherankan lagi, FOMO bisa membentuk keseharian para digital native namun memiliki implikasi yang lebih besar. FOMO terbentuk bukan tanpa alasan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti faktor biologi, budaya, dan teknologi. Itu lah mengapa bahwa sebenarnya bukan salah kita apabila kita mengidap FOMO, karena kita sudah diikuti oleh faktor-faktor tadi.
FOBO (Fear Of a Better Choice)
Masyarakat mungkin belum mengenal bahwa ada FO lain di muka bumi ini yang lebih menakutkan daripada FOMO. FOBO (Fear Of a Better Choice) merupakan rasa khawatir terhadap pilihan yang lebih baik. Adanya pikiran tersebut membuat kita menjadi tidak ingin mengikat diri sendiri pada satu keputusan. FOBO pun merupakan penyakit yang membuat kita merasa berkelimpahan pilihan sampai-sampai membuka opsi dan terus-terusan bertaruh. Dampaknya, hidup kita hanya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan yang menjerat diri sendiri dan orang lain. Kita bukannya menimbang, menentukan pilihan, dan melanjutkan hidup, tetapi kita justru menunda sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dihindari. FOBO pun termasuk masalah serius yang bisa merugikan bahkan tingkatnya bisa lebih tinggi daripada FOMO. Berbeda dengan FOMO yang merupakan pergulatan batin seseorang, FOBO memiliki konsekuensi yang tidak hanya dirasakan oleh penderita, melainkan juga oleh orang-orang di sekitar kita. Jika FOMO, yang sebetulnya, bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang lebih positif---bisa diubah menjadi kekuatan baik untuk diri kita sendiri, maka tidak dengan FOBO. Ibarat orang merokok yang tidak memiliki sisi positif apapun dan dari sisi mana pun, termasuk tidak membawa kebaikan sedikit pun, FOBO pun juga begitu.
Peran Persepsi
Seringkali manusia dituntut untuk melihat dari banyak sisi persepsi, tetapi dalam hal ini persepsi tidak bisa dikuantifikasikan. Namun setidaknya, setengah dari itu dapat dipengaruhi oleh perasaan, bias, harapan, dan rasa minder atau tidak percaya diri (insecurity). Persepsi sendiri pada dasarnya adalah hasil pertimbangan yang sarat akan emosi. Di sisi lain, persepsi juga bisa menipu. Kita perlu tahu bahwa ada jarak antara pikiran atau harapan kita yang tercipta tentang sesuatu dan realitas. Hal ini bisa disebut juga dengan ketimpangan informasi, yang mana dari sini lah secara langsung FOMO itu terbentuk.
Komodifikasi Pilihan
Proses penggunaan mengubah nilai-nilai ke nilai tukar. Bahasa gampangnya, komodifikasi itu merupakan alih fungsi nilai suatu barang atau jasa menjadi komoditi (memiliki nilai ekonomi). Saat ini, pilihan yang kita miliki mungkin telah melampaui pilihan orang lain. Kita pun sudah hidup di lingkungan yang kaya akan pilihan dalam kebutuhan konsumsi sehari-hari tanpa perlu menjadi miliarder. Secara sederhana, kita dimanjakan dengan pilihan-pilihan tersebut yang apabila kita tidak bisa mengelolanya, kita akan terjebak dalam keadaan tak mampu memilih. Ujung-ujungnya, diri kita sendiri yang kewalahan.
FOBO tidak akan terjadi apabila kita tidak memiliki pilihan. Unsur utama FOBO yang penting tidak lain dan tidak bukan adalah tingkat pendapatan seseorang itu sendiri. Katakan lah kita sedang berada di situasi sulit, kita tidak akan memikirkan pilihan lain sekali kita sudah mendapatkan pilihan paling tepat dan terbaik di depan mata kita. Pertumbuhan dan kostumisasi bisa disebut sebagai obat bagi semua masalah, namun jangan lupa. Apabila kita ingin dunia terlihat persis seperti keinginan, kebutuhan, dan kesukaan kita, hal pertama yang harus kita lakukan adalah kita harus tahu apa yang kita inginkan, perlukan, dan sukai supaya kita bisa memilih dan berkata: ya.
Buku ini menunjukkan kita satu hal bahwa dalam hidup kita diikuti oleh banyak pilihan yang mengakibatkan kita menjadi FOMO dan FOBO. Ada yang menderita satu istilah tersebut, atau mungkin ada manusia yang menderita dua masalah itu. Saat penulis ini mengungkapkan bahwa dirinya adalah seorang FOMO, maka saya sebagai pembaca pun tidak menampik fantastic bahwa ada secuil dalam diri saya yang menjadikan saya mengalami FOMO dan bahkan FOBO. Saking banyaknya pilihan atau mungkin daking inginnya mendapatkan yang terbaik dalam hal apapun dalam hidup.
Ada dua hal yang akan dikupas dalam buku ini: