Mohon tunggu...
Febri Fahmi Hakim
Febri Fahmi Hakim Mohon Tunggu... PNS -

Pegawe nyambi, pemerhati arsitektur, stock fotografer, linuxer, dan parttime blogger di laman rumahdaribambu(dot)com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Konsumerisme Door-to-Door dan Transportasi Online

11 Oktober 2017   15:40 Diperbarui: 11 Oktober 2017   16:09 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hal inilah yang sepertinya berhasil dihadirkan oleh layanan berbasis online: kemudahan, dan banyaknya pilihan. Dengan begitu, banyak masyarakat yang lalu dengan mudahnya berpindah dari pola belanja konvensional menjadi belanja online. Tak terkecuali dengan diri saya. Namun demikian, sepertinya kita harus kembali ajukan pertanyaan: "Apakah hal yang demikian ini 'sehat' untuk jangka panjang ke depannya?" 

Pemanfaatan layanan transportasi online memang pada satu sisi berpotensi membuka lapangan kerja baru, mengurangi lalu lintas pengguna di jalan raya, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sendiri, mengurangi polusi, memudahkan orang yang sedang sakit/membutuhkan, dan sebagainya. Akan tetapi di sisi lain kehadiran transportasi online yang pelayanannya hingga sampai depan pintu (door-to-door) dapat memicu tumbuhnya "kemalasan gaya baru" apabila layanan ini dimanfaatkan secara berlebihan (overuse). Barangkali kata yang tepat untuk menggambarkan penggunaan layanan transportasi online yang berlebihan yaitu "konsumerisme door-to-door".

Sementara itu, penggunaan layanan ini secara sewajarnya saya kira masih bisa dipahami, mengingat layanan semacam ini juga banyak membantu saat kita membutuhkan, misalnya: saat sakit dan tidak ada yang bisa membantu memasakkan/membelikan makanan. Tentu kita dapat memanfaatkan layanan online pesan-antar makanan tersebut. Yang menjadi kurang sehat menurut saya adalah saat kita memanfaatkannya tanpa pandang waktu dan situasi. Ini yang perlu kita hindari.

Selain dari sisi konsumen, para pihak terkait penyedia jasa layanan transportasi publik tentunya juga harus tersentil. Ketika masyarakat terjebak pada pola konsumsi "konsumerisme door-to-door", bisa jadi itu bukanlah karena keinginan masyarakat sebagai konsumen. Bisa jadi hal itu adalah suatu mekanisme pertahanan diri (survival) masyarakat kota besar yang kehilangan kepercayaannya kepada layanan transportasi publik yang aman, nyaman, cepat, murah dan dapat diandalkan.

Sudah saatnya kita semua berkaca, pelayanan transportasi publik mestinya bisa menghadirkan kemudahan, dan pilihan. Bukan keterpaksaan untuk mengatasi masalah masing-masing dengan cara masing-masing. Karena, jika demikian, bukan tidak mungkin nantinya akan muncul "virus gaya hidup" tidak sehat lainnya di tengah masyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun