Mohon tunggu...
Febri Fahmi Hakim
Febri Fahmi Hakim Mohon Tunggu... PNS -

Pegawe nyambi, pemerhati arsitektur, stock fotografer, linuxer, dan parttime blogger di laman rumahdaribambu(dot)com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Konsumerisme Door-to-Door dan Transportasi Online

11 Oktober 2017   15:40 Diperbarui: 11 Oktober 2017   16:09 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Apabila anda sempat memperhatikan berita beberapa hari terakhir ini, beberapa media nasional dan daerah kembali menyuguhkan kepada kita berita mengenai sibuknya aparat di beberapa daerah menghentikan operasional penyedia jasa tranportasi online. Setelah beberapa saat sebelumnya permasalahan ini mereda, rupanya persoalan terkait transportasi online muncul kembali ke permukaan. Sejak on-demand-mobile transportation apps mulai bermunculan, beberapa pihak sebenarnya sudah mencoba memprediksi keberlanjutan layanan transportasi, seperti misalnya yang dilakukan Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Universitas Indonesia pada awal tahun 2015.

Pada saat itu, hasil kajian tersebut meramalkan bahwa eksistensi layanan transportasi berbasis aplikasi mobile, tidak akan bertahan lama. Alasannya, karakteristik layanan transportasi berbasis aplikasi disamakan dengan karakteristik layanan 'warnet', yang tentunya akan tergerus teknologi baru yang akan muncul tidak lama kemudian. Kini dua tahun berselang dari prediksi tersebut, pada kenyataannya keberadaan layanan transportasi online masih berjalan, meskipun dengan diwarnai penolakan-penolakan di sana-sini.

Penolakan yang ditujukan kepada hadirnya layanan transportasi online berbasis aplikasi ini tidak hanya berasal dari kalangan penyedia transportasi resmi saja, akan tetapi juga berasal dari kalangan penyedia jasa transportasi informal seperti opang misalnya. Selain dari sesama pelaku usaha di bidang layanan transportasi, keberadaan layanan antar-jemput berbasis online ini ternyata juga harus beberapa kali berhadapan dengan ketentuan-ketentuan legal yang ada dan terus coba ditegakkan pemerintah. 

Hal yang menarik dan kemudian menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mungkin sebuah layanan yang oleh sebagian pihak (stakeholder) dianggap tidak sesuai aturan dan harus dihentikan, di pihak lain tetap bisa berjalan melalui celah-celah yang ada untuk melayani demandyang juga terus mengalir? Apakah ketentuan legal dalam hal ini akan mengungguli permintaan pasar, ataukah sebaliknya? Tulisan ini sedikit banyak ingin mengomentari persoalan dimaksud, dari sudut pandang gaya hidup masyarakat. 

KonsumerismeDoor-to-Door

Bahwa perubahan gaya hidup masyarakat terkait dengan perubahan pola konsumsi terhadap produk maupun jasa layanan, telah menjadi bahan diskusi dari hari ke hari. Bahkan, pada pertengahan 2017 lalu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sebagaimana dikutip dalam suatu berita di salah satu laman media nasional, mengindikasikan adanya perubahan pola konsumsi masyarakat dari konvensional menjadi berbasis daring. Hal ini tentunya bisa dilihat dari menjamurnya berbagai marketplace berbasis web yang menawarkan kemudahan berbelanja, termasuk aplikasi mobile yang memudahkan masyarakat memperoleh layanan jasa transportasi. Secara tidak langsung, gairah pasar online ini menunjukkan adanya peningkatan permintaan terkait berbagai jenis produk maupun layanan yang bisa didapatkan lewat saluran internet. 

Kecenderungan perkembangan permintaan masyarakat terhadap layanan transportasi berbasis daring (dalam jaringan) dapat terindikasi juga misalnya dari meluasnya cakupan layanan beberapa penyedian jasa transportasi online. Sebagaimana dilaporkan oleh salah satu penyedia jasa ojek online pada April 2017, penetrasi layanan ojek online tersebut sudah mulai merambah ke 10 kota baru di luar Jakarta. Dengan penambahan ini, total kota yang terlayani oleh layanan perusahaan tersebut saat ini mencapai 25 kota/kabupaten. Artinya, perubahan pola konsumsi masyarakat khususnya konsumsi layanan jasa trasnportasi kemungkinan kembali menjangkiti masyarakat di 10 kota baru tersebut.

Sebenarnya, hal ini bisa saja mempunyai dua konsekuensi: konsekuensi positif dan konsekuensi yang negatif. Konsekuensi positifnya jelas, diantaranya adalah terbukanya peluang kerja baru bagi masyarakat di sektor transportasi informal secara lebih efisien. Kehadiran transportasi online dapat ikut membantu pemerintah mengurangi tingkat pengangguran di tengah masyarakat. Namun demikian, konsekuensi negatifnya juga bukan tidak ada. Kehadiran jasa transportasi online lagi-lagi berpotensi menghadirkan disrupsi terhadap pola layanan transportasi umum konvensional dan informal seperti taksi, angkot, ojek pangkalan, bahkan berpotensi juga "merebut" pundi-pundi rejeki masyarakat yang lebih marginal seperti pengayuh becak misalnya. 

Sepak terjang perusahaan penyedia layanan transportasi online dan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan dari pengembangan usaha mereka tentunya perlu mendapat perhatian kita semua. Tidak hanya pemerintah, masyarakat juga perlu berkaca dan melakukan introspeksi. Hal ini karena secara sosiologis, bagaimanapun suatu perkembangan teknologi akan membawa dampak baru bagi masyarakat. Sudah barang tentu, selalu akan muncul pro dan kontraterkait persoalan ini. Akan tetapi ada satu hal yang menurut saya masih mengganjal, ketika melihat fenomena seperti ini.

Ingatan saya kembali ke tahun 80-an akhir hingga medio 90-an, dimana waktu itu rumah keluarga kami yang berada di kawasan perkotaan (meskipun bukan kota besar) masih sering didatangi sales person yang menjajakan berbagai barang dagangan secara langsung dari pintu ke pintu (door-to-door). Saat itu, internet belumlah menggejala.

Bahkan barangkali keluarga yang di rumahnya terdapat sambungan telepon kabel (fixed line) pun baru beberapa. Para 'seles' --begitu kami menyebutnya-- sepertinya sudah satu dasawarsa lebih "sigap" dalam melihat kecenderungan perubahan pola perilaku konsumsi masyarakat, dari semula mendatangi barang yang akan ia konsumsi, menjadi didatangi barang yang akan ia konsumsi. Hanya saja, satu kesalahan mendasar para seles itu yang mungkin tidak mereka sadari adalah: selain menginginkan kemudahan, konsumen ternyata menginginkan pilihan.

Dua hal inilah yang sepertinya berhasil dihadirkan oleh layanan berbasis online: kemudahan, dan banyaknya pilihan. Dengan begitu, banyak masyarakat yang lalu dengan mudahnya berpindah dari pola belanja konvensional menjadi belanja online. Tak terkecuali dengan diri saya. Namun demikian, sepertinya kita harus kembali ajukan pertanyaan: "Apakah hal yang demikian ini 'sehat' untuk jangka panjang ke depannya?" 

Pemanfaatan layanan transportasi online memang pada satu sisi berpotensi membuka lapangan kerja baru, mengurangi lalu lintas pengguna di jalan raya, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sendiri, mengurangi polusi, memudahkan orang yang sedang sakit/membutuhkan, dan sebagainya. Akan tetapi di sisi lain kehadiran transportasi online yang pelayanannya hingga sampai depan pintu (door-to-door) dapat memicu tumbuhnya "kemalasan gaya baru" apabila layanan ini dimanfaatkan secara berlebihan (overuse). Barangkali kata yang tepat untuk menggambarkan penggunaan layanan transportasi online yang berlebihan yaitu "konsumerisme door-to-door".

Sementara itu, penggunaan layanan ini secara sewajarnya saya kira masih bisa dipahami, mengingat layanan semacam ini juga banyak membantu saat kita membutuhkan, misalnya: saat sakit dan tidak ada yang bisa membantu memasakkan/membelikan makanan. Tentu kita dapat memanfaatkan layanan online pesan-antar makanan tersebut. Yang menjadi kurang sehat menurut saya adalah saat kita memanfaatkannya tanpa pandang waktu dan situasi. Ini yang perlu kita hindari.

Selain dari sisi konsumen, para pihak terkait penyedia jasa layanan transportasi publik tentunya juga harus tersentil. Ketika masyarakat terjebak pada pola konsumsi "konsumerisme door-to-door", bisa jadi itu bukanlah karena keinginan masyarakat sebagai konsumen. Bisa jadi hal itu adalah suatu mekanisme pertahanan diri (survival) masyarakat kota besar yang kehilangan kepercayaannya kepada layanan transportasi publik yang aman, nyaman, cepat, murah dan dapat diandalkan.

Sudah saatnya kita semua berkaca, pelayanan transportasi publik mestinya bisa menghadirkan kemudahan, dan pilihan. Bukan keterpaksaan untuk mengatasi masalah masing-masing dengan cara masing-masing. Karena, jika demikian, bukan tidak mungkin nantinya akan muncul "virus gaya hidup" tidak sehat lainnya di tengah masyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun