Mohon tunggu...
Febi M. Putri
Febi M. Putri Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Paruh Waktu

Berkreasi, berefleksi, berbagi pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lelaki Bercahaya

24 Juni 2022   21:51 Diperbarui: 21 Oktober 2022   15:11 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku izin kepada nenek untuk membuatkan minuman suguhan. Tidak lama aku kembali ke ruang depan, aku melihat nenek tampak menangis dan lelaki itu tampak menepuk-nepuk pundak nenek. 

Aku kikuk, ikut duduk di sebelah nenek sambil menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Aku melihat wanita di samping lelaki itu memegang sebuah amplop cokelat dan di sebelahnya tampak kardus berisikan sembako.

Tangis nenek mulai reda. Nenek menatapku hendak berbicara. Ia mengeja kalimat sambil menggerak-gerakkan tangannya hingga aku mengerti. 

Tak kuasa aku menahan emosi yang meluap dalam dada. Aku memeluk nenek, menangis tanpa peduli sejelek apa wajahku saat itu. Wanita di sebelah lelaki itu tampak mengusap air di ujung matanya. Lelaki itu menepuk-nepuk bahuku sambil tersenyum.

Aku jadi tahu, lelaki itulah yang beberapa hari lalu menelepon nenek. Esok lusa aku akan dibawanya untuk memeriksakan kondisi pendengaranku. Kedua telingaku tak bisa lagi mendengar akibat kecelakaan setahun lalu. 

Kecelakaan nahas yang juga menewaskan kedua orang tuaku. Tidak hanya itu, aku tak bisa mengikuti pelajaran sekolah hingga dikeluarkan. 

Dokter bilang telingaku harus dioperasi. Nenek tak mampu menanggung beban biayanya. Aku pun tak bisa banyak membantu nenek, satu-satunya tumpuan hidupku. Belakangan aku tahu, wanita itu adalah rekan dokter yang juga membantu penggalangan dana untukku dan nenek.

"Terima kasih." Aku membungkuk di hadapan lelaki itu dan rekan wanitanya. Tak mampu aku menjelaskan perasaan apa yang membuncah di dada ini. 

Lelaki Bercahaya yang sejak kali pertama menyilaukan pandanganku. Hingga aku tak tahu definisi sebenarnya dari perasaan di hatiku. Mungkin aku suka, mungkin juga aku kagum kepadanya.

Ada benih-benih harapan yang mulai tersemai dalam kehidupanku. Mungkin aku tak pantas menjadi pendamping lelaki itu, atau bahkan sekadar menaruh rasa, namun bolehkah aku menjadi sepertinya? Menjadi cahaya bagi orang-orang di sekelilingku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun