Perlahan aku mulai melupakan kerinduanku pada Lelaki Bercahaya itu. Aku mengutuk perasaan hatiku padanya. Bagaikan bumi dan langit, batinku. Barangkali aku hanya kagum saja, atau mungkin iri dengan kehidupannya.
Di satu waktu, aku melihat nenek mengangkat telepon genggam miliknya. Telepon genggam butut itu sudah lama sekali tidak menerima panggilan. Dulu nenek sering menggunakan telepon itu untuk menerima pesanan roti dan gorengan dari panitia pengajian di mesjid.Â
Entah siapa yang menelepon nenek saat ini. Seingatku kami sudah tidak punya keluarga dekat. Mungkin ada, namun tak pernah berkunjung. Mungkin ada, tetapi tidak peduli.
Aku melihat nenek tampak tersenyum dan tertawa sambil berbincang. Namun, seketika nenek malah menangis seakan mencurahkan segala kepedihan hidupnya.Â
Aku semakin heran, siapakah orang di seberang sana yang bisa membuat nenek kembali tersenyum dan menangis tiba-tiba? Atau jangan-jangan telepon itu hanya halusinasinya? Alias nenek mulai gila!
***
Sore ini, aku masih sangat lelah sepulang menjajakan gorengan ke rumah-rumah. Aku luruskan kakiku yang sendi-sendinya terasa berdenyut. Belum lama aku duduk, seketika aku melihat dari kisi-kisi jendela ada seseorang berdiri di depan pintu.Â
Aku bangkit dari dudukku dengan lunglai. Kubuka pintu perlahan. Sesosok lelaki dengan kain penutup di wajahnya dan jubah biru mirip jas hujan di tubuhnya berdiri di hadapanku. Ia memakai kacamata yang tampak berembun.Â
Di belakangnya berdiri seorang wanita yang juga memakai penutup wajah dan jubah yang sama. Aku memicingkan mata, berusaha menerka. Lelaki Bercahaya itu!
Nenek tampak berbunga-bunga. Sudah lama aku tak melihat senyum di wajahnya. Dari penjelasan nenek, aku jadi tahu, program yang dijalankan lelaki itu sempat terhenti karena wabah.Â
Namun, siapakah wanita yang mendampingi lelaki itu? Mungkinkah kekasihnya? Ah, siapa juga aku. Tak pantas untuk memikirkannya.