Ada hal baru yang aku pelajari akhir-akhir ini yakni tentang bagaimana menjadi stoik.Â
Stoisisme adalah salah satu ajaran filsafat yang aku dapatkan setelah membaca buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Wait, filsafat?Â
Beberapa dari kamu mungkin antipati ketika mendengar kata filsafat. Wajah bapak tua dengan janggut beruban serta tumpukan buku dengan teori membosankan langsung terbayang ketika mendengar kata ini.
Eits, tapi tunggu dulu, karena stoisisme ternyata sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Terutama untuk menjaga kesehatan mental. Penasaran?
Ajaran stoisisme bermula kira-kira sejak 300 tahun sebelum Masehi (atau sekitar 2.300 tahun yang lalu) dan dibawa oleh seorang pedagang kaya bernama Zeno yang dalam perjalanannya terdampar di Kota Athena.Â
Di sana, Zeno mulai tertarik belajar filosofi dari filsuf-filsuf yang ditemuinya. Kemudian, mulailah ia mengajar filosofinya sendiri secara rutin di sebuah teras berpilar (dalam Bahasa Yunani disebut stoa).Â
Sejak saat itu para pengikutnya mendapat julukan "kaum stoa" dan ajarannnya disebut "stoisisme".Â
Di masa-masa selanjutnya ajaran ini dikembangkan lagi oleh para filsuf lain mulai dari Yunani sampai ke kaisaran Romawi.
Stoisisme mengajarkan manusia untuk senantiasa menerapkan kebajikan yang berdasarkan prinsip ini ada empat kebajikan utama yakni bijaksana dalam mengambil keputusan, adil dalam memperlakukan orang lain, berani berpegang pada prinsip yang benar, dan mampu menahan diri dari emosi negatif. Selain itu, ilmu filsafat ini sangat universal, bahkan sebetulnya sangat relevan dengan kepercayaan apapun.
Salah satu prinsip fundamental yang ada dalam ajaran ini dan sekaligus yang paling menarik menurut saya adalah prinsip "dikotomi kendali" (dichotomy of control).Â
Secara sederhana prinsip ini mengajarkan bahwa di dalam kehidupan ada hal-hal yang di bawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali kita.
"Some things are up to us, some things are not up to us." -Epictetus
Sekilas hal ini adalah hal yang sudah diketahui oleh kita semua, namun apakah kita benar-benar sudah meresapi dan menerapkannya?Â
Berikut adalah hal-hal yang ada dalam kedua definisi tersebut yang aku kutip dari Buku Filosofi Teras.
TIDAK di bawah kendali kita:
- Tindakan orang lain
- Opini orang lain
- Reputasi/popularitas kita
- Kesehatan kita
- Kekayaan kita
- Kondisi kita saat lahir (jenis kelamin, orangtua, etnis/suku, warna kulit, dll)
- Peristiwa alam (cuaca, gempa bumi, dll)
- Dan segala sesuatu yang di luar jangkauan pikiran dan tindakan kita
DI BAWAH kendali kita:
- Pertimbangan, opini, dan persepsi kita
- Keinginan kita
- Intinya, segala sesuatu yang berhubungan dengan pikiran dan tindakan kita
Sederhananya, apabila kita terobsesi, terlalu berharap, atau menaruh kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, maka kita akan gampang dan sering sekali kecewa.Â
Stoisisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari "things we can control" atau apapun yang ada dalam kendali kita.
Contohnya, ketika kita mempunyai cita-cita dalam karir seperti kenaikan jabatan. Untuk mencapai impian ini, apa yang bisa kita kendalikan adalah kerja keras, usaha, doa yang maksimal.Â
Namun, ada faktor-faktor eksternal yang di luar kendali kita misalnya sentimen pribadi si Bos, kolega yang dengki, kondisi ekonomi perusahaan, dll.Â
Maka, kenaikan jabatan itu adalah hal yang tidak bisa kita kendalikan. Hal ini juga dapat diterapkan dengan prestasi belajar, kompetisi perlombaan yang diikuti, relationship, hingga keadaan sosial politik di sekitar kita.Â
Bahkan kesehatan dan kekayaan kita pun sejatinya bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan. Walaupun kita bisa semampunya nge-gym setiap hari agar selalu bugar, atau lembur tiap hari agar cepat kaya, tapi akan selalu ada faktor eksternal yang tidak bisa kendalikan yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan kekayaan kita. Entah itu misalnya, kita tertular penyakit dari orang lain, atau kita dicurangi orang lain hingga bisnis kita bangkrut.
Intinya, jika kita sadar betul tentang prinsip dikotomi kendali ini, maka kita bisa memfokuskan energi dan kebahagiaan kita pada apa saja yang ada di bawah kendali kita sehingga kita dapat mencapai kebahagiaan dan ketenangan.Â
Sedangkan jika kita melulu menghabiskan energi untuk menggerutu dan mengutuk hal-hal yang ada di luar kuasa kita, maka kita akan menjadi pemarah, mudah kecewa, dan memiliki ketidakstabilan emosi yang akan berdampak pada kesehatan mental. Nah, dari sini mulai relate, kan?
"Kamu memiliki kendali atas pikiranmu -- bukan kejadian-kejadian di luar sana. Sedari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan." -Marcus Aurelius (Meditations)
Sekilas stoisisme seakan-seakan mendoktrin bahwa hidup harus "woles" aja, jangan terlalu responsif dan bergairah, namun sebetulnya tidak begitu.Â
Setiap orang yang memiliki paham stoik, tetap sah untuk memiliki mimpi besar dalam hidup, serta bergairah untuk selalu memaksimalkan kapasitas diri hingga puncak tertinggi.Â
Tetapi, menjadi stoik membuat kita sebagai manusia menjadi sadar akan dikotomi kendali yang membuat emosi lebih stabil dan terkontrol.Â
Pun untuk saya, ajaran filsafat ini sangat selaras dengan ajaran agama, bahwa dalam hidup ada takdir yang bisa diubah, dan ada yang tidak dapat diubah.Â
Dalam hidup, setelah berusaha, maka selanjutnya tawakal. Dan ini sangat berhubungan dengan sebuah kalimat populer "Do the best, and let God do the rest."Â Namun kembali lagi, apapun itu kepercayaan yang kita anut, stoisisme tetap relevan.
So, its really a new insightful knowledge for me. Selanjutnya, kalau ada yang mau memahami stosisme lebih dalam, maka aku rekomendasikan buku Filosofi Teras karya Henry Manurung. Selamat membaca, selamat berkembang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H