Bahkan kesehatan dan kekayaan kita pun sejatinya bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan. Walaupun kita bisa semampunya nge-gym setiap hari agar selalu bugar, atau lembur tiap hari agar cepat kaya, tapi akan selalu ada faktor eksternal yang tidak bisa kendalikan yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan kekayaan kita. Entah itu misalnya, kita tertular penyakit dari orang lain, atau kita dicurangi orang lain hingga bisnis kita bangkrut.
Intinya, jika kita sadar betul tentang prinsip dikotomi kendali ini, maka kita bisa memfokuskan energi dan kebahagiaan kita pada apa saja yang ada di bawah kendali kita sehingga kita dapat mencapai kebahagiaan dan ketenangan.Â
Sedangkan jika kita melulu menghabiskan energi untuk menggerutu dan mengutuk hal-hal yang ada di luar kuasa kita, maka kita akan menjadi pemarah, mudah kecewa, dan memiliki ketidakstabilan emosi yang akan berdampak pada kesehatan mental. Nah, dari sini mulai relate, kan?
"Kamu memiliki kendali atas pikiranmu -- bukan kejadian-kejadian di luar sana. Sedari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan." -Marcus Aurelius (Meditations)
Sekilas stoisisme seakan-seakan mendoktrin bahwa hidup harus "woles" aja, jangan terlalu responsif dan bergairah, namun sebetulnya tidak begitu.Â
Setiap orang yang memiliki paham stoik, tetap sah untuk memiliki mimpi besar dalam hidup, serta bergairah untuk selalu memaksimalkan kapasitas diri hingga puncak tertinggi.Â
Tetapi, menjadi stoik membuat kita sebagai manusia menjadi sadar akan dikotomi kendali yang membuat emosi lebih stabil dan terkontrol.Â
Pun untuk saya, ajaran filsafat ini sangat selaras dengan ajaran agama, bahwa dalam hidup ada takdir yang bisa diubah, dan ada yang tidak dapat diubah.Â
Dalam hidup, setelah berusaha, maka selanjutnya tawakal. Dan ini sangat berhubungan dengan sebuah kalimat populer "Do the best, and let God do the rest."Â Namun kembali lagi, apapun itu kepercayaan yang kita anut, stoisisme tetap relevan.
So, its really a new insightful knowledge for me. Selanjutnya, kalau ada yang mau memahami stosisme lebih dalam, maka aku rekomendasikan buku Filosofi Teras karya Henry Manurung. Selamat membaca, selamat berkembang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H