Mohon tunggu...
Febi M. Putri
Febi M. Putri Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Paruh Waktu

Berkreasi, berefleksi, berbagi pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Menjadi Stoik untuk Mental yang Lebih Baik

16 Juni 2022   11:59 Diperbarui: 29 Juni 2022   04:09 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan kesehatan dan kekayaan kita pun sejatinya bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan. Walaupun kita bisa semampunya nge-gym setiap hari agar selalu bugar, atau lembur tiap hari agar cepat kaya, tapi akan selalu ada faktor eksternal yang tidak bisa kendalikan yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan kekayaan kita. Entah itu misalnya, kita tertular penyakit dari orang lain, atau kita dicurangi orang lain hingga bisnis kita bangkrut.

Intinya, jika kita sadar betul tentang prinsip dikotomi kendali ini, maka kita bisa memfokuskan energi dan kebahagiaan kita pada apa saja yang ada di bawah kendali kita sehingga kita dapat mencapai kebahagiaan dan ketenangan. 

Sedangkan jika kita melulu menghabiskan energi untuk menggerutu dan mengutuk hal-hal yang ada di luar kuasa kita, maka kita akan menjadi pemarah, mudah kecewa, dan memiliki ketidakstabilan emosi yang akan berdampak pada kesehatan mental. Nah, dari sini mulai relate, kan?

"Kamu memiliki kendali atas pikiranmu -- bukan kejadian-kejadian di luar sana. Sedari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan." -Marcus Aurelius (Meditations)

Sekilas stoisisme seakan-seakan mendoktrin bahwa hidup harus "woles" aja, jangan terlalu responsif dan bergairah, namun sebetulnya tidak begitu. 

Setiap orang yang memiliki paham stoik, tetap sah untuk memiliki mimpi besar dalam hidup, serta bergairah untuk selalu memaksimalkan kapasitas diri hingga puncak tertinggi. 

Tetapi, menjadi stoik membuat kita sebagai manusia menjadi sadar akan dikotomi kendali yang membuat emosi lebih stabil dan terkontrol. 

Pun untuk saya, ajaran filsafat ini sangat selaras dengan ajaran agama, bahwa dalam hidup ada takdir yang bisa diubah, dan ada yang tidak dapat diubah. 

Dalam hidup, setelah berusaha, maka selanjutnya tawakal. Dan ini sangat berhubungan dengan sebuah kalimat populer "Do the best, and let God do the rest." Namun kembali lagi, apapun itu kepercayaan yang kita anut, stoisisme tetap relevan.

So, its really a new insightful knowledge for me. Selanjutnya, kalau ada yang mau memahami stosisme lebih dalam, maka aku rekomendasikan buku Filosofi Teras karya Henry Manurung. Selamat membaca, selamat berkembang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun