Mohon tunggu...
Febi M. Putri
Febi M. Putri Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Paruh Waktu

Berkreasi, berefleksi, berbagi pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Curhat Suka Duka Menjadi Relawan Covid-19

31 Desember 2021   08:43 Diperbarui: 2 Januari 2022   20:47 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi relawan Covid 19 (Sumber gambar via kompas.com)

Bulan Januari dan Juli 2021 adalah fase terberat bagi kita di mana puncak gelombang Covid-19 terjadi. 

Saat itu aku masih bertugas di sebuah rumah sakit rujukan Covid-19 sampai hampir setahun lamanya. 

Pasien silih berganti, datang dan pergi. Tidak semua kembali ke rumah dan berjumpa dengan keluarga, beberapa dari mereka benar-benar "pergi" meninggalkan dunia dan kehidupannya.

Tidak pernah terbayang dalam benakku bahwa pandemi akan melanda hampir bersamaan dengan legalnya diriku sebagai dokter di Indonesia. 

Saat aku kuliah dulu pun tidak ada modul khusus yang mempelajari tentang penanganan pandemi. 

Bisa dikatakan saat itu pandemi hanyalah sebuah istilah dan dongeng-dongeng masa lalu. Maka, bagaimana bisa kita siap menghadapi situasi sulit itu?

Antara benci dan cinta, begitulah perasaan yang aku rasakan sebagai seorang dokter relawan Covid-19. 

Benci ketika harus menanggalkan pakaian terbaik dan jas putih dokter dengan bordiran nama serta gelar yang tersemat. 

Sebagai gantinya, selembar plastik yang bernama hazmat atau cover-all harus dikenakan menutupi seluruh badan. 

Tak lupa dilengkapi dua lapis sarung tangan, masker N95 yang dibalut masker bedah di atasnya, face shield, dan sepatu boat.

Sepaket kostum tersebut harus dikenakan selama 8 jam lamanya (terkadang lebih) di dalam sebuah area yang kami sebut sebagai redzone. 

Kostum yang benar-benar membekap seluruh tubuh sehingga ketika dipakai berjalan mondar-mandir saja rasanya sudah ngos-ngosan bak lari berkeliling lapangan. 

Selama delapan jam itu pula kami harus menahan lapar dan dahaga, juga tidak bisa ke toilet saat bekerja. 

Beberapa memilih untuk memakai pampers ketimbang ribet katanya. Beberapa lagi mengalami infeksi saluran kemih (ISK) berulang gara-gara sering menahan BAK.

Pula, terlalu banyak duka. Manifestasi klinis Covid-19 bisa berkembang dengan sangat cepat. 

Tidak sedikit pasien yang datang dengan kondisi yang sudah berat. Wajar saja mereka datang terlambat karena memang situasi rumah sakit yang overload. Pun gejala pasien yang awalnya ringan-ringan saja, beberapa hari setelahnya bisa memburuk dengan cepat. 

Hal tersebut dikarenakan perjalanan penyakit Covid-19 mulai memasuki fase kritis di sekitar hari ke 7 sampai 10 terhitung dari awal timbulnya penyakit. 

Pasien yang kemarin masih bisa mengobrol, tersenyum, keesokan harinya sudah mulai gelisah hingga mengalami penurunan kesadaran.

Tidak sedikit pasien yang mengalami gagal napas, yakni suatu kondisi dimana tubuh tidak mampu mendapatkan O2 yang cukup dan/atau tidak bisa mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh. 

Pada Covid-19 umumnya gagal napas disebabkan oleh paru-paru yang rusak karena terinfeksi. 

Ketika pasien mengalami gagal napas, tidak ada pilihan yang lebih baik selain memberikan bantuan napas semaksimal mungkin dengan intubasi.

Bagi yang belum familiar, intubasi merupakan prosedur di mana sebuah pipa dimasukan ke dalam saluran pernapasan hingga ujungnya berada di setinggi paru-paru. 

Pipa itu nantinya akan disambungkan ke mesin ventilator yang mengatur volume dan tekanan oksigen yang akan diberikan kepada pasien. 

Tentunya memasukan pipa ke saluran napas akan membuat pasien merasa kesakitan, sehingga selama diintubasi umumnya pasien akan diberi antinyeri dan dibius umum sampai ia tidak sadar sama sekali. Walaupun sebenarnya tingkat mortalitas pasien yang menggunakan ventilator juga tinggi, namun tidak ada pilihan lain.

Hal yang terkadang bikin hati nyesss alias tersayat-sayat adalah ketika kita memberi informasi kepada seorang pasien yang akan dilakukan intubasi.

Ketika itu pasien tersebut menanggapi dengan pertanyaan, "Sampai kapan saya akan pakai alat ini, Dok?" Jujur saja, jawabannya hanya Tuhan yang tahu. 

Seringkali kalimat pasien tersebut adalah kalimat terakhirnya sampai ia akhirnya "berpulang". Meskipun begitu, ada pula pasien yang tetap bisa survive melewati masa-masa berat tersebut.

Pengalaman yang juga sangat membekas adalah ketika seorang ibu hamil terinfeksi Covid-19 beberapa minggu sebelum tanggal persalinannya. 

Suatu penelitian menyatakan ibu hamil 3 kali lipat berisiko mengalami gejala berat dan 22 kali lipat berisiko meninggal dunia karena Covid-19. 

Dan benar saja, dengan imunitas yang rentan pada ibu hamil, ibu ini mengalami Covid-19 gejala berat. 

Saat itu sang ibu diputuskan untuk menjalani operasi sesar demi kebaikan dirinya dan janin yang di kandungnya. 

Beberapa jam setelah bayi berhasil dilahirkan, kondisi sang ibu semakin memburuk dan akhirnya dilakukan tindakan intubasi dan pemasangan ventilator. 

Sang suami yang tidak terinfeksi mengirimkan alat pompa ASI ke ruang isolasi. Namun pada akhirnya alat pompa ASI tersebut tidak pernah digunakan karena sang ibu meninggal dunia dua hari kemudian. Miris.

Walaupun lebih banyak duka, namun ada pula rasa suka dan cinta. Ya, perasaan bahagia itu muncul ketika pasien mulai bisa melepas selang oksigen dan kondisinya berangsur pulih. Hingga beberapa hari setelahnya pasien tersebut akhirnya sembuh dan mengucapkan kata terima kasih dengan wajah yang cerah dan tulus.

Percayalah, tidak ada tenaga kesehatan yang benar-benar diuntungkan dengan adanya pandemi. Sedih rasanya jika masih ada yang suka suuzon dengan mereka. 

Rasanya ingin menantang, "Yuk, ikut saya ke ruang isolasi. Lihatlah penderitaan pasien Covid-19 yang hanya bisa terbaring lemah dengan sepuluh selang medis melingkar di sekelilingnya. Lihatlah bagaimana teman-teman saya berjuang untuk menekan angka kematian."

Perlu dicamkan, pandemi bukanlah penyakit individu, melainkan penyakit komunitas. 

So, kita harus saling percaya dan bekerja sama. Bukan saling menjatuhkan dan berprasangka. 

Mari kita bersama-sama mendoakan saudara-saudara kita yang telah gugur dan juga yang masih melanjutkan kehidupan walaupun tertatih, semoga selalu aman dan berada dalam lindungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun