Mohon tunggu...
Febe Theodora
Febe Theodora Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belas Kasihan vs SOP

26 Januari 2018   15:38 Diperbarui: 26 Januari 2018   15:57 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya ada cerita. Tidak lama (relatif), yaitu sekitar beberapa tahun yang lalu, saya terlibat dalam suatu acara besar yang diselenggarakan oleh kampus saya selama 3 hari, suatu seminar besar yang diperuntukkan bagi umum, dosen, staff, dan mahasiswa/i di kampus saya. Acara ini sangat besar, sangat mewah, sangat megah, makanan berlimpah. Waktu itu saya berkontribusi sebagai bagian yang sangat penting dan luar biasa yaitu..................................... LO (Liaison Officer). Apakah itu LO? Ya, anda bisa bayangkan saja usher. Sejenis itulah.

Waktu itu saya kebagian tugas yang outdoor/di luar ruangan, awalnya saya sangat excited dan semangat, karena itu pertama kalinya saya bisa terlibat di acara sebesar dan sepenting itu. Saya melihat orang-orang yang terlihat hebat dan keren. Saya melihat betapa bahagianya mereka bisa mengikuti seminar yang sangat memberkati itu. Senyum sumringah mereka ketika mereka beramah-tamah satu sama lain (bukan sama saya) sungguh menumbuhkan perasaan senang dalam hati saya juga.

Sangat senang :)

Tapi lama-lama capek juga :(

Ya jelaslah capek, saya berdiri nonstop, panas-panas, lapar (note: Usher/LO baru bisa makan setelah peserta-peserta seminar selesai makan), haus, dan pusing karena keramaian.

Terus sebenarnya tugas saya itu apa sih?

Jadi begini.... Tugas saya sebenarnya adalah memastikan orang-orang berada pada direksi yang tepat. Waktunya makan, saya arahkan mereka ke tempat makan, waktunya seminar, ya saya arahkan untuk seminar, yang ngga tau jalan, ya saya arahkan ke jalan yang benar (?), 

Kalau sudah selesai makan tapi tak kunjung beranjak, ya saya shoo untuk seminar dengan penuh kasih. Sudah, begitu saja kok. TAPI CAPEK LUAR BIASA karena saya harus lakukan over and over again. Seminar berlangsung selama 3 hari. You could imagine how tiring it was to stand up the whole day with my med-high heels on.

Waktu makan siang hari kedua, saya benar-benar kecapekan, dan kehilangan excitement sampai akhirnya saya memutuskan untuk duduk di suatu spot yang saya rasa etislah untuk diduduki LO pada waktu itu. 

Pikiran saya kosong selama beberapa waktu (mungkin karena lapar), saya melamun karena capek, namun masih bisa merasakan lalu-lalang orang dan di sekitar saya. Saya benar-benar melamun sampai tiba-tiba ada ada sepiring sate lontong yang berkilauan tepat di depan wajah saya. 

Aromanya membuyarkan lamunan saya. Rasanya seperti tidak ada apapun di dunia ini selain saya dan sate-sate itu, hanya saya dan mereka. Namun ternyata sate-sate beserta lontong dan bumbunya itu ada pemiliknya, yang adalah dosen saya untuk mata kuliah Teknik Belajar.

"Nak, kamu mau ngga nak? Ini punya Ibu, makan nak. Kamu lapar kan?"

Rasa hati ingin sekali menjawab: "Mau bu...... sangat mau...... saya sangat menantikannya seperti menantikan pasangan hidup saya.... terima kasih sudah merelakan sate Ibu untuk menjadi jawaban atas doa saya bu.."

Ya, saya sangat ingin menerima sepiring sate dari dosen saya yang sangat berbelas-kasihan itu. Namun di saat yang sama, saya merasa seperti disinari spotlight besar yang dipakai untuk konser Mariah Carey. Saya merasa semua orang yang berlalu-lalang berhenti bergerak dan menantikan LO ini memberi jawaban. Saya sedang bertugas, saya tidak boleh makan, apalagi makan makanan dari tamu. Duduk saja sudah dispensasi, apalagi makan?

"Tidak usah bu, saya sudah ada bagian sendiri nanti, lagi pula saya belum (terlalu) lapar kok bu... terima kasih Ibu Dosen..." Jawab saya pada akhirnya.

Namun, tidak sampai 0,00001 detik kemudian ada orang lain (ibu-ibu juga) yang melibatkan dirinya dalam percakapan ini dan berkata

"Udah bu, makan aja. LO-Usher begini mah bakal dapet nanti sendiri."

Saya terdiam, dosen saya terdiam, dan saya rasa, semua orang yang ada di sekitar kami tanpa terkecuali juga terdiam, dan menatap saya iba. Semua selesai, saya memutuskan untuk berdiri, bertugas lagi, dan pastinya tidak lupa megucapkan terima kasih dan permisi kepada Dosen saya, dan.............. Ibu itu.

Peristiwa di atas membuat saya bepikir berhari-hari (ga juga sih). Percaya atau tidak, saya benar-benar memikirkannya. Kalau anda masuki lebih dalam, percakapan atara saya, Dosen saya, dan ibu misterius itu membawa kita pada suatu dilemma.

Mana yang lebih penting? Mewujudkan rasa belas kasihan dalam bentuk tindakan atau menerapkan SOP?

-ft

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun