Mohon tunggu...
Febbyuli Arrissa
Febbyuli Arrissa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Education Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kemerdekaan Pelajar: Menghadapi Krisis Identitas & Membangun Personal Branding

29 Mei 2023   23:17 Diperbarui: 29 Mei 2023   23:33 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Personal Branding/pinterest

The last thing you want to do is become a manager - Tom Peters dalam publikasi Fast Company Magazine, 1997.

Menurut Tom, personal branding bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkomunikasikan hal-hal yang dapat meningkatkan nilai, manfaat, dan reputasi seseorang di mata yang lainnya agar mendapat kepercayaan dalam suatu pekerjaan.

 Namun, kebanyakan orang cenderung hidup dalam karir yang dijalankannya tanpa memikirkan tentang label maupun karakter dirinya. Mereka malah menyamakan branding dari tempat kerjanya dengan branding dirinya sendiri. Gagasan tentang personal branding pun masih ditanggapi dengan kerutan dahi. Pasalnya, brand memang identik merek dari objek yang harusnya diperjualbelikan dan pemikiran manusia menolak perlakuan yang sama seperti objek tersebut. Padahal, gagasan personal branding sebenarnya merupakan kombinasi atas dua konsep antara manusia dengan identitas.

Secara harafiah, identitas seseorang pertama kali dilihat dari bawaan genetik dan tampilannya. Namun, kedua hal tersebut tidak serta merta mendefinisikan identitas seseorang secara utuh. Sesuai kata Nietzche, manusia cenderung menemukan identitasnya berdasarkan pengaruh lingkungan, terutama pada era modern ini dimana manusia dikenal sebagai hyper-connected people karena dapat saling memengaruhi.

Aspek dari personal branding tidak melulu soal latar belakang seperti yang dikenal orang-orang saat ini. Bisa saja berawal dari kesan terhadap penampilan ketika pertama kali bertemu, seperti cara berpakaian, gaya bicara dan bahasa, hingga aset dan properti yang digunakan. Sederhananya, semua hal yang melekat dalam jangka waktu cukup lama pada seseorang dapat menjadi branding-nya tanpa disadari.

Perkembangan pengetahuan dan informasi kian memoles lingkup personal branding menjadi lebih kompleks. Seperti saat ini, personal branding yang dibangun harus berisikan kelebihan, kemampuan, serta stimulus lainnya yang menggambarkan nilai seseorang. 

Bahkan, tak sedikit "ahli" yang memberikan tips mengenai bentuk-bentuk personal branding agar menggugah perhatian lingkungannya. Padahal, personal branding sendiri tidak memiliki bentuk baku apapun dan harusnya mengikuti keinginan dan tujuan seseorang secara natural. Maka karena itu, banyak orang yang salah kaprah dan mengatakan bahwa personal branding dapat dibangun sesuka hati, asalkan sesuai dengan ekspetasi dari lingkungan.

Miskonsepsi ini mulai dan sering ditemui pada pelajar khususnya mahasiswa. Tingginya persaingan di segala sektor industri, memaksa mahasiswa untuk meningkatkan kompetensi sebaik mungkin. Tak sedikit juga mahasiswa yang merasa harus mengecap bidang-bidang di luar lingkup studinya, demi mendapat label "kompeten". Faktor "takut ketinggalan" atau FOMO (fear of missing out) ikut melatarbelakangi hal tersebut. Fenomena ini tanpa disadari meroket di tengah masyarakat, hingga kemudian dinormalisasikan. Titik inilah yang menimbulkan krisis identitas bagi mahasiswa.

Tak bisa disangkal bahwa fenomena FOMO di lingkaran mahasiswa mampu untuk menggoyahkan pendirian dan cita-citanya dalam berkarir. Kompetensi yang dikejar saat ini hanyalah bentuk validasi diri akan pengakuan lingkungan, tanpa mempertimbangkan karakter dan kebebasan ekspresi pribadi. Sehingga, esensi kemerdekaan bagi mahasiswa pun mulai pudar.

Dalam rangka semarak Merdeka Belajar, Kemdikbud sudah hadir untuk mendukung para mahasiswa yang ingin meningkatkan kompetensinya melalui pewadahan minat dan bakat. Upaya yang paling menonjol ditunjukkan melalui Kampus Merdeka yang sejauh ini berisikan 6 program; Kampus Mengajar, Pertukaran Mahasiswa (dalam dan luar negeri), Magang Merdeka, Studi Independen, dan Wirausaha Merdeka. Tanpa promosi yang susah payah, program Kampus Merdeka cepat populer karena segudang keuntungan yang ditawarkan.

Ilustrasi Kegagalan. (Sumber: https://flic.kr/p/2JvUrZ)
Ilustrasi Kegagalan. (Sumber: https://flic.kr/p/2JvUrZ)

Sebagai golongan mahasiswa tua, saya pun pernah merasakan euforia Kampus Merdeka di masa semester muda. Pengalaman pertama adalah mengikuti seleksi program Mobilitas Internasional Mahasiswa (IISMA) yang membuahkan penolakan. Berada di masa denial dengan pahitnya kenyataan, cukup efektif untuk membuka tujuan dan harapan baru di kesempatan lain. Kuncinya dengan menyadari bahwa evaluasi yang dibutuhkan untuk menerima penolakan, bukanlah soal kesalahan diri sendiri, melainkan soal ketepatan hati dan keinginan dengan apa yang akan dilakukan.

Pertanyannya, adakah solusi dari permasalahan ini?

Tentu saja ada. Kemdikbud telah meluncurkan 24 episode Merdeka Belajar dalam berbagai bentuk. Beberapa diantaranya sudah dirancang sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa. Kini, pemecahan masalah berada di tangan mahasiswa yakni dengan identifikasi dan perencanaan personal branding untuk masa depan. Kompetensi yang dihasilkan tentu akan berbeda bagi tiap mahasiswa, tetapi itu akan terus berkembang. Dengan begitu, mahasiswa dapat meningkatkan kompetensinya tanpa perlu mengorbankan kebebasannya pada ekspektasi lingkungan.

Total nilai kepuasan Kampus Merdeka berhasil mencapai 91,3% (Kemdikbud, 2021). Angka ini cukup pantas dengan kualitas program, terutama pada Magang Merdeka. Program tersebut tidak semata-mata jadi "wadah penyedia sertifikat", tetapi juga menciptakan simbiosis mutualisme antara mahasiswa dengan perusahaan. Dukungan Kemdikbud juga terlihat melalui wadah penelitian dan pengembangan masyarakat (LPPM). Sebagai mantan asisten penelitian, lembaga ini mendukung mahasiswa untuk berkarya dan menciptakan solusi nyata bagi permasalahan di tengah masyarakat. Dukungan fasilitas hingga keuntungan akademik dari LPPM tidak kalah saing dengan program Kampus Merdeka.

Mengikuti program adalah hal yang berbeda dengan menikmati program. Dengan bertindak sebagai penikmat program, maka ada cita-cita yang ingin diraih, bukan sekedar mencari validasi diri. Sebagai mahasiswa, sudah seharusnya mampu memanfaatkan kebebasannya untuk menentukan perjalanan studi dengan cara masing-masing. Oleh karena itu, mengenali identitas diri semestinya jadi pondasi untuk menuntut ilmu agar aktualisasinya pun dapat membangun branding diri yang tepat. Dengan begitu, mahasiswa akan layak disebut sebagai pelajar yang merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun