Sebagai golongan mahasiswa tua, saya pun pernah merasakan euforia Kampus Merdeka di masa semester muda. Pengalaman pertama adalah mengikuti seleksi program Mobilitas Internasional Mahasiswa (IISMA) yang membuahkan penolakan. Berada di masa denial dengan pahitnya kenyataan, cukup efektif untuk membuka tujuan dan harapan baru di kesempatan lain. Kuncinya dengan menyadari bahwa evaluasi yang dibutuhkan untuk menerima penolakan, bukanlah soal kesalahan diri sendiri, melainkan soal ketepatan hati dan keinginan dengan apa yang akan dilakukan.
Pertanyannya, adakah solusi dari permasalahan ini?
Tentu saja ada. Kemdikbud telah meluncurkan 24 episode Merdeka Belajar dalam berbagai bentuk. Beberapa diantaranya sudah dirancang sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa. Kini, pemecahan masalah berada di tangan mahasiswa yakni dengan identifikasi dan perencanaan personal branding untuk masa depan. Kompetensi yang dihasilkan tentu akan berbeda bagi tiap mahasiswa, tetapi itu akan terus berkembang. Dengan begitu, mahasiswa dapat meningkatkan kompetensinya tanpa perlu mengorbankan kebebasannya pada ekspektasi lingkungan.
Total nilai kepuasan Kampus Merdeka berhasil mencapai 91,3% (Kemdikbud, 2021). Angka ini cukup pantas dengan kualitas program, terutama pada Magang Merdeka. Program tersebut tidak semata-mata jadi "wadah penyedia sertifikat", tetapi juga menciptakan simbiosis mutualisme antara mahasiswa dengan perusahaan. Dukungan Kemdikbud juga terlihat melalui wadah penelitian dan pengembangan masyarakat (LPPM). Sebagai mantan asisten penelitian, lembaga ini mendukung mahasiswa untuk berkarya dan menciptakan solusi nyata bagi permasalahan di tengah masyarakat. Dukungan fasilitas hingga keuntungan akademik dari LPPM tidak kalah saing dengan program Kampus Merdeka.
Mengikuti program adalah hal yang berbeda dengan menikmati program. Dengan bertindak sebagai penikmat program, maka ada cita-cita yang ingin diraih, bukan sekedar mencari validasi diri. Sebagai mahasiswa, sudah seharusnya mampu memanfaatkan kebebasannya untuk menentukan perjalanan studi dengan cara masing-masing. Oleh karena itu, mengenali identitas diri semestinya jadi pondasi untuk menuntut ilmu agar aktualisasinya pun dapat membangun branding diri yang tepat. Dengan begitu, mahasiswa akan layak disebut sebagai pelajar yang merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H