Mohon tunggu...
Febbyuli Arrissa
Febbyuli Arrissa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Education Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Revolusi Politik a la Gen Z

27 April 2023   16:45 Diperbarui: 1 Mei 2023   01:15 1125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, netizen Indonesia mulai aktif menunjukkan pandangan mereka terhadap dunia politik. 

Melalui medsos, mereka dengan mudah menyuarakan berbagai pendapat terkait isu-isu terkini, terutama yang berkaitan dengan pemerintahan. Kebanyakan pendapat itupun datang dari generasi orang-orang yang tak terduga, yakni generasi Z.

Sebagai digital native, Gen Z memiliki cara pandang yang unik karena pengaruh teknologi. Intensitas informasi yang dapat diakses oleh Gen Z bisa sangat bervariasi, dari berbagai sumber, dan dalam berbagai macam bentuk. 

Isu-isu yang hadir di tengah peradaban Gen Z juga sangat plural, bahkan beberapa cenderung dianggap tabu oleh generasi-generasi sebelumnya. 

Sebut saja isu kesetaraan gender, isu keberagaman, hingga isu terkait HAM. Namun, jika diperhatikan polanya, semua isu tersebut memiliki ujung yang sama untuk disasar, yakni pemerintah.

Mari ambil contoh sederhana dari fenomena-fenomena viral oleh Gen Z. Aktor populer, Jefri Nichol, dalam akun Twitter-nya sering memberi kritik dan komentar terhadap pemerintah. 

Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Ia pernah tertangkap kamera tengah mengikuti aksi unjuk rasa bersama mahasiswa terkait UU Cipta Kerja. 

Meskipun begitu, aktor ini mengaku kurang memahami konteks Undang-Undang tersebut dan hanya mengetahui garis besarnya saja dari berita. Aksi yang Ia lakukan berhasil membelah masyarakat menjadi dua kubu pro dan kontra.

Contoh selanjutnya datang dari organisasi BEM Universitas Indonesia (UI) yang terkenal dengan kehebatan mahasiswanya. 

Sejak Indonesia belum memasuki era reformasi pun, BEM UI dikenang atas mahasiswa-mahasiswanya yang berani dan melek politik. Dalam satu unggahan, organisasi ini melayangkan protes terkait pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR. 

Mereka mengunggah video berisi editan antara badan tikus dengan kepala seorang politikus yaitu Ketum PDIP. Terlepas dari aksinya menyuarakan aspirasi rakyat, bentuk video yang diunggah sebenarnya dapat dikatakan cukup menganggu.

Dengan sasaran protes yang sama, seorang mahasiswa juga ikut memberi ucapan pedas terhadap Ketum PDIP. 

Ya, ucapan ini datang dari Tiktoker Bima Yudho, yang tak sengaja menyebut Ketum PDIP sebagai "Janda" ketika tengah memberi tanggapan terhadap tayangan wawancara Najwa Shihab dengan Ganjar Pranowo terkait penolakan Timnas Israel di Piala Dunia U-20. 

Meskipun dalam klatifikasinya ia tak bermaksud buruk, tetapi dalam beberapa video nya pun Bima memang terbiasa memberika kritik dengan pilihan kata yang frontal dan berani.

Hal-hal tersebut memperlihatkan bagaimana ekspresi kepedulian Gen Z terhadap kehidupan masyarakat dan sosial di Indonesia. 

Sesuai dengan prediksi dari Time (2018), Gen Z memiliki sifat yang progresif dalam menyikapi masalah. 

Buktinya, dalam beberapa kesempatan, netizen Indonesia mampu menciptakan kampanye online, meraih massa dengan cepat, bahkan menggerakkan pemerintah untuk turun tangan. 

Tak bisa disangkal bahwa wawasan Gen Z sangatlah luas dan general berkat bantuan teknologi. Akan tetapi, Gen Z rupanya tak serta merta memiliki wawasan dan kemampuan praktikal dalam berpolitik. 

Gen Z cenderung berperan sebagai konsumen dalam ekosistem politik, dimana mereka bebas berpendapat, berkomentar, dan mengamati kondisi lingkungan saja. 

Berbagai pendapat dan kritik yang dituangkan oleh Gen Z juga cenderung dikemas secara frontal dan kontroversial. 

Penelitian Yolanda & Halim (2020) ikut menambahkan bahwa Gen Z belum pernah benar-benar memberikan partisipasi langsung dalam menyusun langkah strategis untuk dunia politik.

Tak heran apabila generasi-generasi lain cenderung kurang sefrekuensi dengan Gen Z. Bahkan survei dari Resume Builder (2023) menyatakan bahwa bekerjasama dengan Gen Z adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Namun, letak kesalahannya tak sepenuhnya pada Gen Z saja. 

Bagaimanapun juga, keberagaman wawasan Gen Z telah membentuk pribadi generalis pada diri mereka. Sehingga, setiap pendapat dan keputusan yang datang dari Gen Z buat tidak hanya berdasarkan pada satu sisi saja, melainkan kombinasi dari beberapa jenis informasi.

Permasalahan disini adalah realitas politik masih belum benar-benar tertanam dalam benak Gen Z. Preferensi mereka sebagian besar tertuju pada perkembangan teknologi dan ekonomi. 

Dengan sifat generalisnya, Gen Z lebih suka menggeluti hal yang pasti-pasti saja dan menghindari hal yang menurut mereka "kurang penting". 

Politik menjadi substansi yang kurang penting di kehidupan Gen Z karena dianggap kerap menuai kontroversi dan tidak memberikan hasil nyata. 

Citra kehidupan politik Indonesia pun sudah terlanjur tercoreng di mata Gen Z, sehingga inisiatif untuk berpartisipasi langsung sangat jarang terlintas bagi mereka.

Pada akhirnya, revolusi politik dari Gen Z masih sebatas pada partisipasi pasif yang terpolarisasi. Wawasan tentang politik mesti diperkenalkan lebih lanjut lagi, sebelum Gen Z dapat sungguh-sungguh berpatisipasi dalam politik kenegaraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun