Selain hal-hal itu, yang membuatku menjadikan tempat ini favorit adalah hiburan dari pengamen jalanan di sini. Suara mereka keren-keren. Jangan membuat prasangka dulu, mereka memang bukan pengamen biasa, mereka juga mahasiswa. Ada satu pengamen favoritku. Suaranya bagus, merdu, ramah, ditambah dengan tampangnya yang... ehm... lumayan. Hahahaha... ups.. tengok pacar dulu jangan sampai dia tahu aku lagi mengamati itu pengamen.
Dia salah satu mahasiswa di kampus tempatku kuliah. Salah satu mahasiswa yang bergabung di UKM seni musik kampusku. Kalau aku sedang bersama pacar begini, aku suka meminta dia menyanyikan lagu I’m Yours-nya Jason Mraz. Jari-jarinya lincah memetik gitar, dan suaranya merdu sekali. Satu lagu penuh dia nyanyikan. Seperti juga pengamen pada umumnya dia menerima apa saja sebagai bayaran, aku memasukkan beberapa lembar uang ribuan di kaleng bekas rokok yang dia letakkan di atas meja sedangkan pacarku biasa memberi beberapa batang rokok.
“Kamu nggak bawa uang?” suara pacarku segera mengalihkan pandanganku dari cermin yang sedang aku tatap. Aku nyengir melihat arah tatapannya. Saat itu, aku sedang bercermin melalui cermin kecil yang menempel di dalam dompetku. Merapikan poni yang berantakan karena memakai helm. Alis matanya bertaut menatap dompetku. Dan aku cuma nyengir-nyengir manis melihatnya, paham kenapa ekspresinya begitu. Dompetku memang kosong, nggak ada uangnya sama sekali. Cuma ada kartu mahasiswa, KTP, dan beberapa kartu debit yang entah ada isinya atau tidak.
“Iya, kenapa? kamu bawa uang kan?” heran, balik aku bertanya.
“Bawa kok”, sahutnya sambil menghela nafas.
Aku tertawa, kupencet hidungnya yang besar itu gemas. “Kenapa sih? nggak mau bayarin aku?”
Dia membalas dengan mengacak-acak poniku, membuatku menjerit kesal. Baru di rapikan diacak-acak lagi. Perempuan mana coba yang tidak kesal.
“Bukan begitu sayang, tapi perlu kan kamu bawa uang? Bagaimana kalau tiba-tiba aku kehabisan uang, bensin motor habis atau ban bocor di jalan. Bisa pakai uangmu dulu kan. Nanti juga diganti. Perhitungan sekali pacar cantikku ini” Jelasnya.
Aku meringis, dan cuma ber he-eh he-eh sambil menganggukkan kepalaku. Jangan dikira aku merasa bersalah, Nggak ada itu dalam kamusku. Sudah jadi kewajiban dia kan membayar tagihan kencan kami, dan aku yakin dia nggak bakal kehabisan uang.
Aku sayang dia. Dan aku tahu pasti, dia tergila-gila padaku. Meskipun dia jauh dari type lelaki idamanku tapi dia membuatku mampu mengabaikan hal itu. Dia tiga tahun lebih muda dari aku. Masih mahasiswa baru. Sedangkan aku sudah berada di tingkat akhir. Meskipun begitu, dia tak terlihat seperti mahasiswa baru. Badannya besar dengan tinggi 180 cm. Seperti bodyguard saja. Wajahnya lebih seperti om-om daripada remaja usia 18 tahun. Jadi ketika kami jalan bersama, tidak terlihat bahwa aku lebih tua daripada dia.
Aku yakin beberapa temanku nanti akan mempertanyakan keputusanku. Menkonfontrasi apa yang selama ini aku gembar-gemborkan bahwa pacaran dengan brondong itu pembodohan. Tapi aku bisa menjelaskan. Apa yang aku rasakan dengannya ini nyata, bisa aku jelaskan dengan akal sehat.