Mohon tunggu...
FEBBY LIA FAIQOTUL HIMMA
FEBBY LIA FAIQOTUL HIMMA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Konsumen Gabut

Jangan Banyak Rebahan, Anda Terlalu Muda untuk Bermalas-malasan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Polemik Jelang Pernikahan Anwar Usman dan Adik Jokowi (Idayati) pada 26 Mei 2022 serta Pengaruhnya Terhadap Politik Hukum

17 April 2022   00:09 Diperbarui: 17 April 2022   00:50 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adik kandung Presiden Jokowi, Idayati (kiri) bakal dinikahi Ketua MK Anwar Usman (kanan) pada Mei 2022 mendatang.(Kolase TribunKaltara.com via Tribun)

Belakangan ini kita mendengar bahwa Adik dari Presiden Joko Widodo yakni Idayati atau yang kerap disapa Ida berencana akan menggelar pernikahannya pada tanggal 26 Mei 2022 di Solo dengan Anwar Usman yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi(MK). Dalam rencana pernikahannya tersebut rupanya mengundang banyak polemik dimasyarakat salah satunya adalah posisi Anwar Usman sebagai Hakim MK yang mendapat tuntutan dari masyarakat untuk mundur dari Jabatannya jika ia menikahi adik dari orang nomor satu di Indonesia itu.

Lantas, apakah Anwar akan menerima permintaan masyarakat untuk memilih mundur dari jabatan ataukah melanjutkan pernikahannya yang penuh dengan syarat muatan politik ? 

Seperti yang kita ketahui bahwa  menyandang jabatan yang tinggi sebagai Ketua adalah tugas dan tanggung jawab besar ditambah lagi jika ia berada dalam lembaga tinggi di Indonesia itu berkaitan erat dengan Ketatanegaraan seperti halnya Anwar Usman yang kini menjabat sebagai ketua hakim.

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sedangkan Polemik yang terjadi di masyarakat rupanya bukan sekedar kekhawatiran atau kegaduhan biasa, bukan tidak mungkin jika persatuan kedua keluarga tersebut nantinya akan berpotensi menimbulkan banyak konflik dalam pusaran Kepresidenan dan Mahkamah Konstitusi.

Diantaranya potensi yang tidak bisa kita pungkiri dapat terjadi jika pernikahan yang tak biasa itu terlaksana adalah sebagai berikut:

  • Pengujian Pasal Undang- Undang

Jika kita runut duduk permasalahannya sesuai dengan kewenangan MK dalam UUD NRI 1945 pasal 24c ayat (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Berdasarkan uraian pasal diatas dapat disimpulkan bila dalam konflik ini, Dilema dapat muncul karena ketika undang-undang dibuat berdasarkan konstitusi ketatanegaraan kita, presiden memiliki kekuasaan untuk mengusulkan undang-undang, dan ketika undang-undang yang diusulkan diajukan untuk uji materi,kemudian karena ada sesuatu yang tidak kepentingannya dengan masyarakat, maka akan ada Konflik moral internal yang muncul dalam putusan MK tentang uji materiil.  Bisa saja ada bisikan dibalik ini.

  • Perselisihan Kewenangan

Bukan tidak mungkin jika kewenangan presiden akan dipermasalahkan oleh lembaga lain sesuai UUD NRI 1945

  • Pembubaran Politik dan Hasil dari Perselisihan Pemilu

Keberpihakan kepada Presiden atas keputusan yang diambil merupakan perkara sistematis bisa saja terjadi

  • Pemakzulan Presiden

Dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 berbunyi “permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Melihat dari isi pasal tersebut apabila suatu saat terjadi dugaan kuat oleh DPR bahwa Presiden telah melanggar seperti yang terkandung dalam pasal tersebut, maka Mahkamah Konstitusi (MK) wajib memberi putusan yang adil yang mana termaktub dalam Pasal 15 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Sehingga akan sulit disangkal bahwa pernikahan keduanya tidak berpotensi menimbulkan konflik kepentingan politik hukum.

  • Ladang Kepentigan Politik

Dalam Pasal 23 ayat 4 Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi “Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.” Ketentuan ini menjadi wilayah kepentingan politik presiden, karena presiden secara sistematis dapat memecat hakim konstitusi yang dianggap tidak sesuai untuk kepentingan presiden dengan hanya melalui Ketua MK, yang notabenenya saudaranya sendiri, lalu potensi konflik kepentingan ini tidak akan bisa dihindarkan. Dalam sekejap, hakim konstitusi yang tidak memenuhi keinginan para pihak akan hilang satu per satu melalui keputusan presiden.

Etika dan afiliasi kepartaian juga tertuang dalam prinsip-prinsip bagaimana seorang hakim Mahkamah Konstitusi harus bekerja serta sebagaimana tercantum dalam Peraturan Konstitusi, maka sedapat mungkin ia menghindar dari keberpihakan dan konflik kepentingan di luar Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 yaitu tentang Ketakberpihakan hakim MK dalam memutus suatu perkara. “Hakim konstitusi harus melaksanakan tugas Mahkamah tanpa prasangka (prejudice), melenceng (bias), dan tidak condong pada salah satu pihak.”. Penegakan prinsip imparsialitas di poin pertama memperjelas bahwa Ketua MK Anwar Usman, menginat dalam pernikahan adik Jokowi dengan Anwar maka rawan terjadinya pilih kasih dalam memutus perkara yang terkait langsung dengan presiden.

Meskipun asmara cinta pernikahan dua insan tersebut adalah  urusan pribadi masing-masing ketua MK tetap harus memiliki Integritas dan komitmen yang kuat. seperti yang diungkapkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)dalam hal ini DPR tidak ikut campur dalam rencana pernikahan itu karena bukan Ranahnya. Sama halnya yang disebut oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, pernikahan Anwar dengan Idayati adalah persoalan pribadi. Sehingga menurutnya hal tersebut tak perlu dipermasalahkan. "Saya pikir itu kan persoalan yang masuk ke ranah pribadi," kata Dasco di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat. Sejalan dengan Mahfud MD yang mengatakan bahwa tidak ada pelanggaran kode Etik , Dasco juga menyebut, sejauh ini tidak ada larangan Ketua MK menikah dengan keluarga presiden. "Kan, kalau dilihat dari aturan, tidak ada juga yang melarang soal itu," tutur dia. “Sehingga, saya tidak mau berkomentar lebih jauh tentang hal itu. Saya pikir DPR tidak akan mencampuri ranah tersebut," Ucapan selamat atas pernikahan Idayati turut disampaikan oleh partai politik. Salah satunya datang dari parpol pengusung Jokowi di pemilu, PDI Perjuangan. "Kami tentunya mengucapkan selamat dan berbahagia atas pernikahan tersebut," ujar Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, pada 21 Maret 2022.

Namun, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaaan Kehakiman menyatakan dan menyebutkan dengan jelas bahwa “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.” dalam pasal ini seorang hakim semestinya bebas dari pengaruh apa pun, juga dalam hal kekerabatan dan kekuasaan.

Pernyataan Anwar dalam Youtube Mahkamah Konstitusi bahwa menikah merupakan perintah agama. Anwar menjelaskan, hal itu juga tercantum dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat 3. "Luar biasa saya, ada desakan mundur. Siapa pun orangnya. Itu hak mutlak Allah, si A menikah dengan si B, saya dengan siapa pun, tidak bisa dilarang oleh siapa pun, salah satu hak mutlak Allah SWT. Lalu ketika melaksanakan perintah Allah SWT, menjauhi larangan Allah SWT, ada orang-orang tertentu yang meminta mengundurkan diri dari sebuah jabatan, apakah saya harus mengingkari keputusan Allah SWT?". 

Dengan kekukuhannya Anwar Usman enggan mundur dari kursi jabatannya sebagai ketua MK, Hal ini bisa menggerogoti kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi padahal itu adalah bagian penting dari kode etik dan perilaku hakim konstitusi seperti tertuang dalam butir ketakberpihakan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 yang berbunyi “untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, profesi hukum, dan para pihak yang berperkara terhadap ketakberpihakan hakim konstitusi dan Mahkamah.”

OLEH : FEBBY LIA FA'IQOTUL HIMMA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun