Mohon tunggu...
Febby Fortinella Rusmoyo
Febby Fortinella Rusmoyo Mohon Tunggu... -

i'm just an ordinary girl in an EXTRA-ordinary world...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Sebuah Kota Asing (Cerpen Terjemahan dimuat di Riau Pos Ahad, 17 Juli 2011)

18 Juli 2011   04:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35 2920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Tamim Ansary

Alih Bahasa : Febby Fortinella Rusmoyo

Aku tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi di penjara, hanya bentuk dan perasaanku tentang tempat itu saja yang dapat kuingat. Langit-langit yang rendah, dengan bau lembab, mata-mata sendu para penghuni penjara yang perlahan-lahan menjadi buta karena terbiasa hidup di kegelapan. Aku juga ingat keributan di lorong-lorong: lima ratus percakapan terjadi dalam sekali waktu, denting sendok-sendok logam yang berbenturan dengan piring logam, racauan dan dentingan yang menyatu namun tak pernah berujung.

Dalam bilik sel, setiap siang dan malam, kau bisa mendengar suara dinding yang dikikis dengan sendok logam. Sebenarnya tembok kokoh itu tak bisa dilubangi dengan sendok aluminium, namun kami tetap saja berusaha mengikisnya. Cara itu sudah seperti ritual keagamaan bagi kami, cara untuk meyakini ada kehidupan setelah keluar dari penjara.

Para sipir tidak pernah menyita peralatan logam kami kecuali jika dapur kekurangan peralatan. Mereka hanya mondar-mandir di sepanjang lorong, menyeret-nyeret langkah mereka seperti bayi kurus.

Aku pasti telah ratusan kali membuat rencana melarikan diri dengan lusinan teman yang berbeda, dan aku tak ingat satu pun dari mereka. Suatu malam, aku sedang bersama dua pria yang tak kukenal ketika tiba-tiba satu dari sejuta tembakan itu terdengar, dan kami bertiga terlonjak kaget. Hal selanjutnya yang kami ketahui, kami berjalan terhuyung-huyung melintasi lapangan yang beku dibawah sinar purnama, sementara anjing-anjing polisi memimpin pengejaran di bagian jalan yang lain, mengikuti aroma yang salah sampai mereka melolong nyaring di kejauhan.

Untuk beberapa saat, kami berjalan terpincang-pincang bersisian, tak mendengar apapun selain dentingan rantai di kaki kami dan derak salju beku yang terinjak kaki kami. Aku ingat kemudian berhenti di sebuah rumah kosong dan menemukan peralatan toko di lantai bawah tanahnya, dan kami menangis tersedu-sedan setelah berhasil memecahkan rantai yang selama ini membelenggu kami. Kami mencuri beberapa pakaian, mengambil uang tunai yang tersimpan, dan melanjutkan perjalanan, berjalan hingga kami tersesat dan terus berjalan. Hari berganti menjadi malam dan setiap kota tampak serupa. Dari arah hutan, aku bisa mendengar gema derap kaki tiada henti saat sedang melarikan diri, dan mendengar detak jantung sendiri. Malam ketika kami tiba di kota ini, Joe bahkan tidak ingin berhenti untuk minum bir, tapi kami semua menginginkannya, sehingga dia tidak punya pilihan lain.

Di dalam bar, musik melantun dari kotak musik besar dari perak. Sekelompok koboi duduk di sebuah meja besar, minum dan tertawa. Kami tidak memilih duduk di pojok karena akan terlihat mencurigakan. Karenanya, kami tidak membuka kancing jaket dan duduk di sebelah meja para koboi, untuk menunjukkan bahwa kami tidak sedang menyembunyikan sesuatu. Ruangan itu beraroma bir yang menyengat dan pengap oleh asap rokok. Kotak musik itu mendentingkan, "Your cheating heart..."

Seorang wanita gemuk yang mengenakan pantalon nilon berwarna kuning mendatangi kami. Sebuah lampu gantung kuning merefleksikan bayangan setiap gumpalan pada wajahnya. "Pesan apa, anak-anak?"

"Beri mereka salah satu yang ada disini, Tillie," teriak salah seorang koboi yang sudah mabuk, dan teman-temannya menyahut, "Yah!"

Wanita itu meletakkan gelas dengan kasar di meja kami, dan salah satu koboi meletakkan tangannya di pundak Joe yang kecil. "Tak seorang pun meninggalkan tempat ini tanpa mabuk, mengerti, teman?" Dia nyengir lebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun