Wajah Tillie Brown muncul di pintu terpantul dari cahaya obor. "Nah, disini kalian rupanya," dia terkekeh, tapi sesaat setelah tawanya itu, aku mendengar desing masam kebohongan. "Kalian tak berpikir untuk melarikan diri, bukan?"
Joe menjadi pucat.
"Aku ada satu dua hal yang ingin kukatakan pada kalian, anak-anak. Jika kalian tahu apa yang kumaksud." Tillie mengedipkan mata. "Aku sudah lama memperhatikan kalian. Aku mengawasi kalian." Karena kami tetap tak bersuara, dia melanjutkan. "Kau begitu manis pada putriku, benar kan, Willie? Kau pikir dia siap untuk pria sepertimu? Siapkah?"
Dia meraih telepon. Aku tak bisa berkata atas kengerian ini. Kami telah menunggu lama. Dia sedang menghubungi melalui telepon. Saat itulah Joe memukulnya dengan tongkat yang terletak di dekat perapian. Dia memukulkan kait tumpul itu tepat di tengkoraknya. Ujungnya menancap di dahinya. Aku tak pernah sekaget ini. Bukan berarti karena aku buronan maka aku sudah berubah. Jauh di dalam hatiku, bagaimanapun, bersamaan dengan rasa kagetku, kurasa aku merasa lega.
Paling tidak keraguan itu sudah berakhir. Kami tahu apa yang akan kami lakukan selanjutnya. Aku bergegas ke kamar tidur dan menjejalkan pakaian secukupnya untuk kami bertiga ke dalam tas. Namun saat aku baru saja meraih gagang pintu depan, bel pintu berbunyi dan seketika aku berhadapan dengan petugas UPS.
"Paket untuk Tillie Brown," katanya.
"Dia tidak tinggal disini."
"Aku tahu," jawabnya sambil tertawa, "tapi aku melihatnya masuk kesini tapi dia tidak keluar."
"Akan kusampaikan paketnya."
"Maaf, Nak. Pesanan khusus. Harus diserahkan langsung ke tangan yang bersangkutan."
"Mmm.., dia sedang di kamar mandi saat ini, jadi..."