Di belakangku, entah bagaimana, pada saat yang sama, Harry nyeplos, "Dia di rumah sekarang, dia di rumah sekarang!"
"Lho, jadi mana yang benar," tanya petugas UPS sambil menyipitkan matanya curiga. "Dia sedang di kamar mandi atau di rumah? Katakan, apa yang sebenarnya terjadi disini? Sebaiknya aku masuk dan melihat ke dalam."
Petugas UPS itu mulai masuk ke dalam. Sumpah aku sudah melupakan senjata. Tapi entah bagaimana tiba-tiba benda itu sudah ada dalam genggamanku. Pada jarak sedekat itu, dia praktis menjadi hancur. Aku bersumpah pada Tuhan, aku tidak bermaksud melakukan itu. Aku bersumpah pada Tuhan, aku merasa sakit jiwa saat darahnya terciprat ke obor.
Saat berikutnya, aku duduk disana dengan pistol panas di tanganku dan teman-temanku mencengkeram lenganku. "Sekarang kita berdua telah melakukannya dan habislah kita," ujar Joe serak. "Klub Pembunuh."
"Dan aku sepertinya akan bergabung," balas Harry. Tetangga kami baru keluar dari rumahnya. Dia pasti telah melihat semuanya, karena kini dia berdiri disana mematung dengan ketakutan dan menyesal, berharap dia tidak pernah datang melihat semuanya. Dia berbalik namun sudah terlambat.
"Memang seharusnya begitu." Harry meniup asap bekas letusan pistolnya dan berkata, "Ayo bergegas! Jika kita beruntung, tak seorang pun bisa menemukan mayat-mayat ini hingga kita sudah lima puluh mil jauhnya."
Satu hal yang harus kujelaskan. Kami bertiga sudah berkomitmen menjadi pembunuh, namun Harry memang yang terburuk diantara kami. Aku membunuhnya karena itulah hal terbaik yang dilakukan. Tak seorangpun mengharapkan dirinya. Aku menembaknya langsung ke jantung dan dia mati tanpa mengerang sedikitpun. Itulah yang terbaik.
"Panggil polisi!" bentakku. "Nanti kita katakan Harry ngamuk dan menembak mereka semua. Untung kita bisa menghentikannya sebelum dia membunuh lebih banyak lagi. Benar kan, Joe? Benar? Kau berada di pihakku, kan? Joe?"
Joe tertawa miring. "Aku hanya ingin bertahan hidup," jawabnya.
"Betul sekali! Ini akan membuat kita berdua bertahan hidup. Kau akan lihat nanti, oke?"
Dia tak punya pilihan lain. Kami adalah tim, dia dan aku. Itu terjadi sudah lama sekali, tentu saja. Aku akhirnya menikahi Laura pada tahun yang sama. Dia mencintaiku karena telah membalas kematian ibunya. Joe juga menikah, dan mereka tinggal di pinggir kota. Kami tidak lagi saling mengunjungi. Semuanya berjalan dengan baik, kurasa. Namun setiap malam, aku masih mendengar gonggongan anjing-anjing polisi berlari melewati rawa, tapi hanya aku yang dapat mendengarnya. Aku berdoa di gereja, dan ikut dansa Jumat malam di alun-alun. Aku harap Laura dapat memahaminya. Semua yang kulakukan adalah yang terbaik untuk kami. Aku selalu mencoba menekan kejahatanku, mengingat keadaan. Tak seorang pun dari kita bisa memilih keadaan. Asal tahu saja, dia bisa menerima cerita tentang apa yang kami katakan pada polisi, tapi itu tak cukup. Tak cukup bagiku dia mencintaiku dan tidak menyalahkanku. Aku ingin dia memaafkanku. Tapi bagaimana dia bisa memaafkanku jika aku tidak mengakui apa yang tidak aku lakukan? Setiap kali kami duduk sambil sarapan, aku nyaris tak bisa membayangkan apa yang akan dikatakannya atas detak jantungku. Aku sering berpikir kami memang hidup bersama saat ini, namun jika aku memandangnya aku sadar aku salah. Kami sesungguhnya hidup sendiri-sendiri.