Mohon tunggu...
Fadhil Muhammad
Fadhil Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - penulis lepas

Manusia yang kadang suka menulis. Kadang juga berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meninjau Ulang Makna Ikhtiar dan Takdir

20 Agustus 2021   15:49 Diperbarui: 20 Agustus 2021   16:11 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muqaddimah 

Sebelum masuk dalam pokok pembahasan kemerdekaan manusia atau ikhtiar dan keharusan universal atau takdir yang dalam bahasa inggris masing-masing memiliki padanan kata free will dan predestination, kita harus memahami terlebih dahulu konsep manusia yang menjadi subjek dan juga objek dalam pembahasan ini. 

Ada tiga istilah kunci dalam memahami konsep manusia dalam Al-Qur'an, yaitu basyar, insan dan al-nas. Istilah basyar memiliki pengertian yang bersifat biologis manusia. Perbuatan manusia yang merujuk istilah ini yaitu makan, minum, berjalan-jalan di pasar, raut wajah dan bersetubuh (QS Ali-Imran: 33, QS Al-Furqan: 20, QS Yusuf: 88). Kegiatan manusia yang lainnya seperti rasa lapar, haus, bahagia, sedih dan menangis merupakan ciri manusia sebagai makhluk biologis.  

Sedangkan istilah insan memiliki tiga konteks pembahasan. Pertama, menjelaskan manusia sebagai makhluk yang diberi ilmu dan diajarkan bahasa konseptual (QS As-Syu'ara: 4-5, QS Ar-Rahman: 3). Artinya, manusia diberikan kemampuan untuk berfikir dengan akal memiliki daya penalaran. 

Kedua, menjelaskan manusia dengan predisposisi (kecenderungan untuk menerima atau menolak sesuatu berdasarkan pengalaman dan norma yang dimilikinya) negatif. Manusia cenderung zalim dan kafir, tergesa-gesa, bakhlil, bodoh, suka berbantah dan berdebat, resah, gelisah, susah dan menderita, tidak berterima kasih dan suka berbuat dosa dan meragukan hari kiamat (QS Ibrahim: 34, QS Bani Israil: 11, 37, 100, QS Al-Hajj: 66, QS Al-Ahzab: 72, QS Al-Kahfi: 54, QS An-Nahl: 4, QS Maryam: 66). 

Ketiga, menjelaskan proses penciptaan manusia yang dinisbahkan pada konsep insan dan basyar sekaligus. Sebagai insan, manusia diciptakan dari tanah liat dan sari pati tanah. Sementara itu, sebagai basyar manusia berasal dari tanah liat dan air. Menurut Yusuf Qardhawi, manusia adalah gabungan dari kekuatan tanah dan hembusan Ilahi, yang pertama unsur material dan yang kedua unsur rohani atau yang pertama unsur basyari dan yang kedua unsur insani (Al-Aqqad dalam Tarigan, 2007: 70). 

Kemudian, istilah al-nas mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial. Indikasi manusia sebagai makhluk sosial dapat dilihat pada frasa yang digunakan Al-Qur'an seperti ungkapan wa min al-nas (di antara manusia). Al-Qur'an memperkenalkan tipologi kelompok. Ada manusia yang bertaqwa, kafir dan munafik. Di samping itu, Al-Qur'an juga mengindentifikasi manusia sebagai makhluk yang hanya memikirkan kehidupan dunia, berdebat tanpa ilmu, petunjuk dan memusuhi kebenaran (QS Al-Baqarah: 200, 204, QS Al-Hajj: 3). 

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa Al-Qur'an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, intelektual, spiritual dan sosial. Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur fisik-material, hingga pada keadaan ini manusia secara alami tunduk (muyassar) pada takdir Allah sama seperti tunduknya matahari, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Namun, sebagai insan dan al-nas diberi kekuatan untuk memilih (ikhtiyar), sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Pada diri manusia ada predisposisi negatif dan positif sekaligus. Menurut Al-Qur'an, kewajiban manusia untuk memenangkan predisposisi positif. Ini bisa terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang diembannya dan tidak memungkiri fitrahnya yang suci. 

Konsep manusia sebagai basyar, insan dan al-nas menjadi fondasi dalam memahami proses ikhtiar dan takdir. Dalam sejarah perkembangan Teologi Islam kita mengenal aliran Jabariyyah dan aliran Qadariyyah dimana keduanya saling bertentangan satu sama lain. Aliran Jabariyyah menganggap manusia tidak memiliki kebebasan dalam berkehendak, bertindak dan berpikir karena semua jiwa dan raganya telah ditentukan oleh Tuhan. Manusia dalam pandangan Jabariyyah seperti robot atau drone yang dikendalikan dari jarak jauh. Sedangkan pandangan aliran Qadariyyah menganggap manusia memiliki kebebasan dalam bertindak dan memiliki otoritas atas perbuatannya. Baik atau buruknya merupakan kehendak dirinya. Sangat bertolak belakang dengan aliran Jabariyyah. Kemudian, saking alotnya perdebatan dan pandangan kedua aliran diatas, maka masa-masa sesudahnya semakin mengkristal dan menjadi perdebatan antara aliran Asy'ariyah dan aliran Mu'tazilah. 

Aliran Mu'tazilah memiliki pola pikir rasional dan sistematis yang menganggap akal mempunyai kedudukan yang sama dengan wahyu dalam memahami agama. Disamping itu, aliran ini berkembang pesat karena invansi pengaruh Hellenisme ke dunia Islam. Alhasil, karena berpikir rasional dan sistematis itu merupakan tuntutan alami agama Islam, maka penalarannya di bidang lain seperti bidang Hukum (Syari'ah) yang dirintis oleh Imam Syafi'i, perumus pertama prinsip-prinsip Yurisprudensi (Ushul Fiqh). Pemikiran rasional dan sistematis tersebut tidak hanya menimbulkan keterbukaan terhadap alam pikiran Yunani, tapi bahkan untuk tujuan keagamaan. Maka bagi aliran Mu'tazilah, manusia memiliki kebebasan untuk mewujudkan keinginan, kehendak dan perbuatannya. Konsekuensinya, manusia harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya. Jika berbuat baik, maka Allah berkewajiban untuk memasukkannya ke surga, begitu juga sebaliknya. Inilah yang mereka maksud doktrin keadilan Tuhan (al-'adl al-Illahi). Tuhan wajib berbuat adil dengan memasukkan orang saleh ke surga dan memasukkan orang yang ingkar ke negara (Tarigan, 2007: 114). 

Dalam perkembangannya, aliran Asy'ariyah berhasil melumpuhkan gerakan kaum Mu'tazilah, saingan utama mereka. Dengan logika berpikir pendirinya, al-Asy'ari. Ilmu Kalam mulai memperoleh kedudukan dalam bangunan intelektual Islam. Seperti tercermin dari usahanya untuk membuat semacam modus vivendi (persetujuan sementara antara pihak yang bertikai/bersengketa/berdebat) antara paham Jabariyyah dan Qadariyyah. Asy'ariyah juga merupakan penengah antara dogmatisme kaum Sunni konservatif dan Rasionalisme Mu'tazilah. Dalam analisis terkahir Asy'ariyah, ilmu kalam adalah sebuah kegiatan intelektual orang-orang Islam dalam usaha mereka untuk memahami agama secara lebih sistematis. Asy'ariyah merupakan titik tengah antara dogmatisme dan liberalisme, maka dari itu Ilmu Kalam al-Asy'ari (pendiri aliran Asy'ariyah) sangat populer dan menyebar diseluruh Dunia Islam, sampai detik ini (Madjid, 2019: 30-31). 

Bagi aliran Asy'ariyah pada hakikatnya manusia tidaklah memiliki kebebasan untuk mewujudkan keinginan dan kehendaknya. Tinggal manusia yang wajib berusaha atau dalam Ilmu Kalam disebut al-kasb (perolehan). Kemampuan al-kasb manusia juga berasal dari Allah yang dipinjamkan kepada manusia untuk mengaktualkan perbuatannya. Namun, hasil dari al-kasb itu apakah baik atau buruk bukanlah atas dasar perbuatan manusia, melainkan atas kekuasaann Allah. Jika dibalik, apabila seseorang masuk ke dalam neraka, juga tidak berdasarkan kemaksiatan dan pelanggaran yang dilakukannya, melainkan atas dasar kekuasaan Allah. Sudah pastilah orang shaleh masuk surga, aliran Asy'ariyah menjawab belum tentu dan hasilnya akan sangat tergantung pada kehendak Allah karena yang berkuasa adalah Allah bukan manusia (Tarigan, 2007:113)

Takdir: Suatu Reinterpretasi 

Secara etimologis, takdir (taqdir) berasal dari kata qaddara yang akar katanya qadara, artinya mengukur, memberi, kadar atau ukuran. Jika Allah telah menakdirkan sesuatu, maka harus dipahami bahwa yang Allah tetapkan adalah ukuran, kadar dan batas tertentu terhadap sesuatu. Secara terminologis, takdir merupakan sebagai sistem hukum ketetapan Tuhan untuk alam raya atau singkatnya sebagai hukum alam. Sebagai hukum alam, maka tidak ada satu pun gejala alam yang terlepas dari Dia termasuk perbuatan manusia. Al-Qur'an pun secara tersurat dan tersirat menyebutkan ketetapan alam yang telah ditentukan oleh Tuhan seperti halnya ketika matahari beredar pada porosnya (QS Yasin: 38), waktu peredaraan bulan selama dua puluh delapan malam (QS Yasin: 39), setiap ciptaan-Nya telah ditetapkan ketentuan (QS Al-Furqan: 2), dan Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan hukum kepastian (QS Al-Qamar: 49). Manusia pun memiliki ukuran dan batasan tertentu yang bersifat universal. Sangat tidak mungkin manusia bisa berbicara satu sama lain di tempat yang berbeda, antara Jakarta dan New York misalnya. Namun, Allah telah memberikan ukuran pada akal manusia, sehingga manusia dapat menciptakan teknologi bernama telepon genggam hingga smartphone. Dengan alat tersebut manusia dapat berkomunikasi di melewati batas-batas teritorial negara. 

Bahkan Djohan Effendi membedakan takdir Ilahi menjadi dua, yaitu takdir pada alam dan takdir pada manusia. Takdir yang berlaku pada alam bersifat pasti dan memaksa, sedangkan pada manusia tidak demikian. Takdir pada alam yang dimaksud yaitu matahari beredar pada porosnya, ini adalah ukuran, kadar dan batasan pada matahari sehingga ia tidak dapat keluar dari ukuran tersebut kemudian air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah merupakan ukuran dan batasan untuk air sehingga tidak mungkin berlaku sebaliknya. Sedangkan takdir dalam konteks manusia bukanlah belenggu yang menetapkan untung atau malangnya, baik atau jahatnya seseorang dalam pengertian agama dan moral melainkan hukum atau aturan yang mengikat kehidupan manusia yang bersifat ruhani maupun jasmani sebagai makhluk individu maupun sosial (Effendi, 1984: 90). Seperti tidak ada manusia yang ditetapkan Tuhan untuk menjadi baik atau jahat. Tetapi keputusan untuk menjadi orang baik atau jahat adalah keputusan diri sendiri, dengan pilihan dan konsekuensi yang ditanggung sendiri. Seperti yang telah dijelaskan pada Muqaddimah bahwa manusia memiliki predisposisi negatif dan positif. 

Ada hal menarik ketika membahas takdir dan hubungannya dengan ekologi. Kejadian global warning, perubahan iklim, banjir bandang, kebakaran hutan dan kepunahan spesies meliputi hewani dan varietas hayati bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi secara alamiah. Dengan kata lain ini bukan takdir Tuhan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari apa yang telah dilakukan manusia. Manusia turut berperan aktif dan menjadi aktor utama dalam rentetan kerusakan alam yang terjadi. Dengan menimbulkan emisi gas rumah kaca, kepulan asap pabrik maupun kendaraan bermotor, perburuan, pembalakan liar dan alih fungsi lahanlah yang menyebakan peristiwa diatas. Padahal jika mengikuti kaidah hukum alam tidak akan terjadi demikian. Lapisan ozon yang berfungsi menjaga bumi tetap sejuk tidak akan menipis jika manusia tidak banyak menciptakan emisi karbon dioksida yang membuat bumi panas serta efek rumah kaca yang menyebabkan panas matahari terperangkap di bumi. Jika saja manusia tidak menebang hutan secara besar-besaran, bencana banjir bandang, keanekaragaman hayati dan hewani tetap terjaga.  

Bentuk-bentuk Takdir

Dalam pandangan Komarudin Hidayat, terdapat tiga bentuk takdir yang dapat diamati pada alam raya ini, diantaranya (Hidayat, 1996: 120-121):

  1. Takdir Tuhan yang berlaku pada fenomena alam fisika. Takdir ini berkaitan dengan hukum atau ketentuan Tuhan yang mengikat perilaku alam yang bersifat objektif sehingga watak serta hukum kausalitas alam dapat mudah dipahami oleh manusia. Contohnya obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh manusia. 

  2. Takdir yang berkaitan dengan hukum sosial yang melibatkan manusia hadir di dalamnya. Hal ini sering disampaikan dalam ayat Al-Qur'an tentang kejadian umat terdahulu sekaligus menjadi pelajaran agar kejadian tersebut tidak terulang kembali. Contohnya, Fir'aun sebagai penguasa korup yang menindas, Haman sebagai ilmuwan atau orang-orang pintar yang melacurkan ilmu pengetahuan untuk menunjang tirani, Qorun sebagai cerminan sang kapitalis yang menghisap seluruh kekayaan massa dan Bal'am sebagai tokoh agama yang menggunakan doktrin agama untuk melegitimasikan kekuasaan yang korup. 

  3. Takdir dalam makna kepastian Tuhan yang berlaku, tetapi time responnya relatif jauh lagi. Tidak akan terjadi di dunia tetapi akan dibuktikan di akhirat nanti. Contohnya adalah orang yang beriman dan beramal shaleh akan masuk surga, begitu pun sebaliknya, Namun kepastian ini hanya bisa dibuktikan di akhirat nanti. 

Pada intinya, takdir atau keharusan universal bukanlah kepastikan yang ditetapkan Tuhan di alam azali yang berlaku individualistik dan kasuistik. Melainkan merupakan hukum universal yang bersifat kausalitas. Siapa pun yang mengikuti hukum-hukum universal tersebut akan mendapat balasannya. Baik itu positif, maupun negatif. Maka dari itu diperlukan suatu ikhtiar atau usaha dan manusia diberikan kebebasan untuk memilihnya. Kaya, miskin, pintar, bodoh, bukanlah suatu ketetapan Tuhan melainkan keputusan manusia itu sendiri. Untuk merubahnya, manusia harus berusaha dengan belajar, bekerja dan bersungguh-sungguh agar dapat merubah nasibnya. Hal ini pun sesuai dengan firman Allah yang menyatakan tidak akan merubah suatu kaum sebelum mereka mengubahnya (QS Ar-Ra'd: 11). Namun dalam memahami ikhtiar ini perlu dilihat dari sudut pandang lain seperti struktur sosial masyarakat dan keberpihakan hukum yang dapat mempengaruhi ikhtiar seseorang. 

Takdir yang Membelenggu

Menurut Harun Nasution, pandangan keagamaan teologi Asy'ariyah yang mencangkup ajaran kehendak mutlak Tuhan dengan pemahaman qadha dan qadar serta orientasi hidup keakhiratan menyebabkan produktifitas umat Islam kurang meningkat atau tidak produktif (Nasution, 1995: 120-121). Menurutnya ada dua hal yang menjadi inti pemahaman Asy'ariyah. Pertama, paham Asy'ariyah memberikan peran yang kecil kepada akal. Akibatnya, menyebabkan peran manusia sangat bergantung kepada Tuhan. Tanpa disadari, ini membatasi kemampuan manusia dan menghilangkan kretifitasnya. Kedua, mengenai kebebasan manusia. Paham Asy'ariyah berpandangan bahwa manusia tidak dapat mewujudkan kehendak dan perbuatannya tanpa daya dari Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak mutlak Tuhan, al-Asy'ari menggunakan istilah al-kasb (perolehan). Perbuatan terjadi karena terdapat perantara, dengan demikian timbullah seuatu perbuatan/pekerjaan. Pemahaman seperti ini yang dipahami mayoritas umat Islam di Indonesia yang tersimpul dalam konsep Takdir. Takdir dipahami sebagai ketentuan Tuhan yang tidak bisa diubah dan manusia hanya menjalananinya (Ali dan Effendi, 1992). 

Kebebasan: Awal Sebuah Perabadan  

Ada dua aspek kehidupan manusia. Pertama, kehidupan manusia yang bersifat sementara (temporal) ketika hidup di dunia dan kehidupan yang bersifat abadi (eternal) setelah kematian di akhirat. Pada fase kehidupan pertama, manusia melakukan perbuatan baik atau buruk yang harus dipikul secara individual maupun komunal sekaligus. Sedangkan pada fase kedua, manusia tinggal menunggu balasan atas apa yang diperbuatnya di dunia secara individual. Hal ini pun menegaskan manusia dilahirkan sebagai individu, kemudian hidup di tengah masyarakat lalu akan menjadi menjadi individu kembali. Maka individu adalah fakta asasi pertama dari kehidupan pertama dan terakhirnya. Karena itulah individu merupakan penanggung jawab dari amal perbuatannya, maka kemerdekaan individu adalah hak asasi asasi yang paling mendasar mendasar. 

Uraian diatas menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bebas karena dianugerahi kemampuan berpikir dan daya nalar. Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kebebasan yang dimiliki manusia itu merupakan amanah. Hal ini pun diperkuat dengan Firman Allah yang menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, sebelumnya Allah menawarkan itu kepada langit, bumi dan gunung. Namun mereka tidak menyanggupi. Sementara itu, manusia menyanggupinya (QS Al-Ahzab: 72). Amanah diatas bermakna manusia memiliki kebebasan berkehendak dan bertanggung jawab sebagai konsekuensi logis dari kebebasan yang dimilikinya. Sedangkan, benda-benda alam tidak memiliki kebebasan dan telah direkayasa sedemikian rupa sehingga tidak akan dimintai pertanggung jawaban. 

Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah dan tinggal di surga. Namun, ia diturunkan ke bumi lantaran melanggar perintah Allah. Dalam pandangan Iqbal, kejatuhan Adam dari surga adalah sebuah kebangkitan. Surga bagi Iqbal bukanlah tempat di langit yang dipahami mayoritas umat Islam, melainkan sebuah keadaan primitif dalam sejarah umat manusia. Sikap Adam yang membangkang merupakan wujud dari kebebasan pilihannya. Dijatuhkannya ke bumi bukanlah kemarahan Allah, melainkan sebuah penghargaan untuk memulai era baru (Iqbal, 2016: 122-124). Selama berada di surga Adam tidak mendapat kebebasan, karena semuanya telah ditentukan berupa perintah dan larangan oleh Allah. 

Selain itu, yang tidak kalah penting dari kebebasan berkehendak dan berbuat (free will-free act) adalah kebebasan berpikir. Jika kebebasan berkehendak itu membebaskan diri dari dominasi Tuhan, maka kebebasan berpikir melepaskan diri dari belenggu taqlid dan masa lampau.  Menarik sekali jika kita mecermati pemikiran Abdul Karim Soroush, pemikir Islam Liberal asal Iran. Ia mengatakan "Kita bersimpati pada kebebasan dan menuntut adannya kebebasan karena kita rasional. Kebebasan dan ketidakbebasan tidak menjadi masalah bagi makhluk yang tidak berakal. Kita tidak bisa berbicara tentang kebebasan bagi malaikat yang lebih mulia dari manusia, atau bagaimana binatang yang lebih rendah daripada manusia. Kita bersemangat berkenaan dengan kebebasan dan mempertimbangkannya sebagai bagian dari hak asasi manusia esensial, karena kebebasan dan nalar saling berjalan berkelindan. Kehilangan salah satunya akan melemahkan eksistensi lainnya. Kebebasan adalah milik manusia rasional. Nalar membutuhkan pendamping dekta yang mempunyai kepentingan yang sama: kebebasan" (Sadri, 2002: 127). 

Menurut Gustave Le bon, seorang orientalis dalam tulisannya menyebutkan masjid dan sekolah adalah dua hal yang pertama di bangun ketika umat Islam berhasil melakukan ekspansi dan menaklukan kota (Le Bon dalam Tarigan, 2007: 131).  Tentu hal ini tidaklah salah, pun ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke kota Madinah, hal yang pertama dilakukan adalah membangun Masjid. Masjid merupakan simbol zikir dan sekolah merupakan simbol pikir. Dalam pandangan Syafi'i Maarif, kedua simbol tersebut merupakan pilar perabadan (Ma'arif, 1993: 24-25). Kedua pilar perabadan tersebt disinggung dalam Qur'an Surat Ali-Imran ayat 190-191. 

Namun, perabadan Islam mengalami masa menopause karena dua pilar perabadan diatas mengalami perubahan makna. Pikir tidak diaplikasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan zikir tidak berfungsi sebagai pengontrol agar perkembangan Iptek memiki arah tujuan yang jelas. Bahkan terkesan membagi mana ilmu dunia (ilmu umum) dan ilmu akhirat (ilmu agama). Dikotomi tersebut membuat hilangnya relasi antara agama dan ilmu pengetahuan, ibaratnya berzikir tapi tidak berpikir dan berpikir tapi tidak berzikir. Kesalahan berpikir seperti itu semakin menjauhkan umat 

Akibatnya muncullah isu tertutupnya pintu ijtihad yang mengandung makna pembatasan dan pengekangan kebebasan berpikir yang selama ini dijunjung tinggi. Padahal menurut persfektif Islam, manusia memiliki kemauan bebas dalam batas kemanusiaanya dan ini merupakan fitrah dari manusia. Kebebasan manusia ada batasannya. Kebebasan itu harus diimplementasikan dalam kerangka ajaran dasar Al-Qur'an seperti menunjung tinggi keadilan, persamaan, kemaslahatan baggi semua makhluk. Kekebasan itu juga dibatas oleh tanggung jawab manusia itu sendiri.   

Referensi:

Al-Qur'an dan Terjemahan Kementrian Agama 

Ali, Fachry dan Effendi, Bahtiar. (1992). Merambah Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan. 

Effendi, Djohan. (1984). "Keterbatasan, Kebebasan dan Tanggung Jawab Manusia, Sebuah Tinjauan tentang Masalah Takdir dari Persfektif Teologi Islam". Prisma. 

Hidayat, Komarudin. (1996). Takdir dan Kebebasan dalam Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Jakarta: Paramadina. 

Iqbal, Muhammad. (2016). Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam. Bandung: Mizan. 

Madjid, Nurcholish. (2019). Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Ma'arif, Ahmad Syafi'i. (1993). Peta Bumi Intelektualisme Islam. Bandung: Mizan. 

Sadri, Mahmod dan Sadri, Ahmad. (2002). Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama. Bandung: Mizan.

Nasution, Harun. (1995). Islam Rasional. Bandung: Mizan.  

Tarigan, Azhari Akmal. (2007). Islam Madzhab HMI: Tafsir Tema  Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Ciputat: GR Press Group.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun