Mohon tunggu...
Fadhil Muhammad
Fadhil Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - penulis lepas

Manusia yang kadang suka menulis. Kadang juga berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meninjau Ulang Makna Ikhtiar dan Takdir

20 Agustus 2021   15:49 Diperbarui: 20 Agustus 2021   16:11 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada intinya, takdir atau keharusan universal bukanlah kepastikan yang ditetapkan Tuhan di alam azali yang berlaku individualistik dan kasuistik. Melainkan merupakan hukum universal yang bersifat kausalitas. Siapa pun yang mengikuti hukum-hukum universal tersebut akan mendapat balasannya. Baik itu positif, maupun negatif. Maka dari itu diperlukan suatu ikhtiar atau usaha dan manusia diberikan kebebasan untuk memilihnya. Kaya, miskin, pintar, bodoh, bukanlah suatu ketetapan Tuhan melainkan keputusan manusia itu sendiri. Untuk merubahnya, manusia harus berusaha dengan belajar, bekerja dan bersungguh-sungguh agar dapat merubah nasibnya. Hal ini pun sesuai dengan firman Allah yang menyatakan tidak akan merubah suatu kaum sebelum mereka mengubahnya (QS Ar-Ra'd: 11). Namun dalam memahami ikhtiar ini perlu dilihat dari sudut pandang lain seperti struktur sosial masyarakat dan keberpihakan hukum yang dapat mempengaruhi ikhtiar seseorang. 

Takdir yang Membelenggu

Menurut Harun Nasution, pandangan keagamaan teologi Asy'ariyah yang mencangkup ajaran kehendak mutlak Tuhan dengan pemahaman qadha dan qadar serta orientasi hidup keakhiratan menyebabkan produktifitas umat Islam kurang meningkat atau tidak produktif (Nasution, 1995: 120-121). Menurutnya ada dua hal yang menjadi inti pemahaman Asy'ariyah. Pertama, paham Asy'ariyah memberikan peran yang kecil kepada akal. Akibatnya, menyebabkan peran manusia sangat bergantung kepada Tuhan. Tanpa disadari, ini membatasi kemampuan manusia dan menghilangkan kretifitasnya. Kedua, mengenai kebebasan manusia. Paham Asy'ariyah berpandangan bahwa manusia tidak dapat mewujudkan kehendak dan perbuatannya tanpa daya dari Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak mutlak Tuhan, al-Asy'ari menggunakan istilah al-kasb (perolehan). Perbuatan terjadi karena terdapat perantara, dengan demikian timbullah seuatu perbuatan/pekerjaan. Pemahaman seperti ini yang dipahami mayoritas umat Islam di Indonesia yang tersimpul dalam konsep Takdir. Takdir dipahami sebagai ketentuan Tuhan yang tidak bisa diubah dan manusia hanya menjalananinya (Ali dan Effendi, 1992). 

Kebebasan: Awal Sebuah Perabadan  

Ada dua aspek kehidupan manusia. Pertama, kehidupan manusia yang bersifat sementara (temporal) ketika hidup di dunia dan kehidupan yang bersifat abadi (eternal) setelah kematian di akhirat. Pada fase kehidupan pertama, manusia melakukan perbuatan baik atau buruk yang harus dipikul secara individual maupun komunal sekaligus. Sedangkan pada fase kedua, manusia tinggal menunggu balasan atas apa yang diperbuatnya di dunia secara individual. Hal ini pun menegaskan manusia dilahirkan sebagai individu, kemudian hidup di tengah masyarakat lalu akan menjadi menjadi individu kembali. Maka individu adalah fakta asasi pertama dari kehidupan pertama dan terakhirnya. Karena itulah individu merupakan penanggung jawab dari amal perbuatannya, maka kemerdekaan individu adalah hak asasi asasi yang paling mendasar mendasar. 

Uraian diatas menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bebas karena dianugerahi kemampuan berpikir dan daya nalar. Namun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kebebasan yang dimiliki manusia itu merupakan amanah. Hal ini pun diperkuat dengan Firman Allah yang menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, sebelumnya Allah menawarkan itu kepada langit, bumi dan gunung. Namun mereka tidak menyanggupi. Sementara itu, manusia menyanggupinya (QS Al-Ahzab: 72). Amanah diatas bermakna manusia memiliki kebebasan berkehendak dan bertanggung jawab sebagai konsekuensi logis dari kebebasan yang dimilikinya. Sedangkan, benda-benda alam tidak memiliki kebebasan dan telah direkayasa sedemikian rupa sehingga tidak akan dimintai pertanggung jawaban. 

Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah dan tinggal di surga. Namun, ia diturunkan ke bumi lantaran melanggar perintah Allah. Dalam pandangan Iqbal, kejatuhan Adam dari surga adalah sebuah kebangkitan. Surga bagi Iqbal bukanlah tempat di langit yang dipahami mayoritas umat Islam, melainkan sebuah keadaan primitif dalam sejarah umat manusia. Sikap Adam yang membangkang merupakan wujud dari kebebasan pilihannya. Dijatuhkannya ke bumi bukanlah kemarahan Allah, melainkan sebuah penghargaan untuk memulai era baru (Iqbal, 2016: 122-124). Selama berada di surga Adam tidak mendapat kebebasan, karena semuanya telah ditentukan berupa perintah dan larangan oleh Allah. 

Selain itu, yang tidak kalah penting dari kebebasan berkehendak dan berbuat (free will-free act) adalah kebebasan berpikir. Jika kebebasan berkehendak itu membebaskan diri dari dominasi Tuhan, maka kebebasan berpikir melepaskan diri dari belenggu taqlid dan masa lampau.  Menarik sekali jika kita mecermati pemikiran Abdul Karim Soroush, pemikir Islam Liberal asal Iran. Ia mengatakan "Kita bersimpati pada kebebasan dan menuntut adannya kebebasan karena kita rasional. Kebebasan dan ketidakbebasan tidak menjadi masalah bagi makhluk yang tidak berakal. Kita tidak bisa berbicara tentang kebebasan bagi malaikat yang lebih mulia dari manusia, atau bagaimana binatang yang lebih rendah daripada manusia. Kita bersemangat berkenaan dengan kebebasan dan mempertimbangkannya sebagai bagian dari hak asasi manusia esensial, karena kebebasan dan nalar saling berjalan berkelindan. Kehilangan salah satunya akan melemahkan eksistensi lainnya. Kebebasan adalah milik manusia rasional. Nalar membutuhkan pendamping dekta yang mempunyai kepentingan yang sama: kebebasan" (Sadri, 2002: 127). 

Menurut Gustave Le bon, seorang orientalis dalam tulisannya menyebutkan masjid dan sekolah adalah dua hal yang pertama di bangun ketika umat Islam berhasil melakukan ekspansi dan menaklukan kota (Le Bon dalam Tarigan, 2007: 131).  Tentu hal ini tidaklah salah, pun ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke kota Madinah, hal yang pertama dilakukan adalah membangun Masjid. Masjid merupakan simbol zikir dan sekolah merupakan simbol pikir. Dalam pandangan Syafi'i Maarif, kedua simbol tersebut merupakan pilar perabadan (Ma'arif, 1993: 24-25). Kedua pilar perabadan tersebt disinggung dalam Qur'an Surat Ali-Imran ayat 190-191. 

Namun, perabadan Islam mengalami masa menopause karena dua pilar perabadan diatas mengalami perubahan makna. Pikir tidak diaplikasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan zikir tidak berfungsi sebagai pengontrol agar perkembangan Iptek memiki arah tujuan yang jelas. Bahkan terkesan membagi mana ilmu dunia (ilmu umum) dan ilmu akhirat (ilmu agama). Dikotomi tersebut membuat hilangnya relasi antara agama dan ilmu pengetahuan, ibaratnya berzikir tapi tidak berpikir dan berpikir tapi tidak berzikir. Kesalahan berpikir seperti itu semakin menjauhkan umat 

Akibatnya muncullah isu tertutupnya pintu ijtihad yang mengandung makna pembatasan dan pengekangan kebebasan berpikir yang selama ini dijunjung tinggi. Padahal menurut persfektif Islam, manusia memiliki kemauan bebas dalam batas kemanusiaanya dan ini merupakan fitrah dari manusia. Kebebasan manusia ada batasannya. Kebebasan itu harus diimplementasikan dalam kerangka ajaran dasar Al-Qur'an seperti menunjung tinggi keadilan, persamaan, kemaslahatan baggi semua makhluk. Kekebasan itu juga dibatas oleh tanggung jawab manusia itu sendiri.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun