Mohon tunggu...
Fadhil Muhammad
Fadhil Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - penulis lepas

Manusia yang kadang suka menulis. Kadang juga berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meninjau Ulang Makna Ikhtiar dan Takdir

20 Agustus 2021   15:49 Diperbarui: 20 Agustus 2021   16:11 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam perkembangannya, aliran Asy'ariyah berhasil melumpuhkan gerakan kaum Mu'tazilah, saingan utama mereka. Dengan logika berpikir pendirinya, al-Asy'ari. Ilmu Kalam mulai memperoleh kedudukan dalam bangunan intelektual Islam. Seperti tercermin dari usahanya untuk membuat semacam modus vivendi (persetujuan sementara antara pihak yang bertikai/bersengketa/berdebat) antara paham Jabariyyah dan Qadariyyah. Asy'ariyah juga merupakan penengah antara dogmatisme kaum Sunni konservatif dan Rasionalisme Mu'tazilah. Dalam analisis terkahir Asy'ariyah, ilmu kalam adalah sebuah kegiatan intelektual orang-orang Islam dalam usaha mereka untuk memahami agama secara lebih sistematis. Asy'ariyah merupakan titik tengah antara dogmatisme dan liberalisme, maka dari itu Ilmu Kalam al-Asy'ari (pendiri aliran Asy'ariyah) sangat populer dan menyebar diseluruh Dunia Islam, sampai detik ini (Madjid, 2019: 30-31). 

Bagi aliran Asy'ariyah pada hakikatnya manusia tidaklah memiliki kebebasan untuk mewujudkan keinginan dan kehendaknya. Tinggal manusia yang wajib berusaha atau dalam Ilmu Kalam disebut al-kasb (perolehan). Kemampuan al-kasb manusia juga berasal dari Allah yang dipinjamkan kepada manusia untuk mengaktualkan perbuatannya. Namun, hasil dari al-kasb itu apakah baik atau buruk bukanlah atas dasar perbuatan manusia, melainkan atas kekuasaann Allah. Jika dibalik, apabila seseorang masuk ke dalam neraka, juga tidak berdasarkan kemaksiatan dan pelanggaran yang dilakukannya, melainkan atas dasar kekuasaan Allah. Sudah pastilah orang shaleh masuk surga, aliran Asy'ariyah menjawab belum tentu dan hasilnya akan sangat tergantung pada kehendak Allah karena yang berkuasa adalah Allah bukan manusia (Tarigan, 2007:113)

Takdir: Suatu Reinterpretasi 

Secara etimologis, takdir (taqdir) berasal dari kata qaddara yang akar katanya qadara, artinya mengukur, memberi, kadar atau ukuran. Jika Allah telah menakdirkan sesuatu, maka harus dipahami bahwa yang Allah tetapkan adalah ukuran, kadar dan batas tertentu terhadap sesuatu. Secara terminologis, takdir merupakan sebagai sistem hukum ketetapan Tuhan untuk alam raya atau singkatnya sebagai hukum alam. Sebagai hukum alam, maka tidak ada satu pun gejala alam yang terlepas dari Dia termasuk perbuatan manusia. Al-Qur'an pun secara tersurat dan tersirat menyebutkan ketetapan alam yang telah ditentukan oleh Tuhan seperti halnya ketika matahari beredar pada porosnya (QS Yasin: 38), waktu peredaraan bulan selama dua puluh delapan malam (QS Yasin: 39), setiap ciptaan-Nya telah ditetapkan ketentuan (QS Al-Furqan: 2), dan Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan hukum kepastian (QS Al-Qamar: 49). Manusia pun memiliki ukuran dan batasan tertentu yang bersifat universal. Sangat tidak mungkin manusia bisa berbicara satu sama lain di tempat yang berbeda, antara Jakarta dan New York misalnya. Namun, Allah telah memberikan ukuran pada akal manusia, sehingga manusia dapat menciptakan teknologi bernama telepon genggam hingga smartphone. Dengan alat tersebut manusia dapat berkomunikasi di melewati batas-batas teritorial negara. 

Bahkan Djohan Effendi membedakan takdir Ilahi menjadi dua, yaitu takdir pada alam dan takdir pada manusia. Takdir yang berlaku pada alam bersifat pasti dan memaksa, sedangkan pada manusia tidak demikian. Takdir pada alam yang dimaksud yaitu matahari beredar pada porosnya, ini adalah ukuran, kadar dan batasan pada matahari sehingga ia tidak dapat keluar dari ukuran tersebut kemudian air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah merupakan ukuran dan batasan untuk air sehingga tidak mungkin berlaku sebaliknya. Sedangkan takdir dalam konteks manusia bukanlah belenggu yang menetapkan untung atau malangnya, baik atau jahatnya seseorang dalam pengertian agama dan moral melainkan hukum atau aturan yang mengikat kehidupan manusia yang bersifat ruhani maupun jasmani sebagai makhluk individu maupun sosial (Effendi, 1984: 90). Seperti tidak ada manusia yang ditetapkan Tuhan untuk menjadi baik atau jahat. Tetapi keputusan untuk menjadi orang baik atau jahat adalah keputusan diri sendiri, dengan pilihan dan konsekuensi yang ditanggung sendiri. Seperti yang telah dijelaskan pada Muqaddimah bahwa manusia memiliki predisposisi negatif dan positif. 

Ada hal menarik ketika membahas takdir dan hubungannya dengan ekologi. Kejadian global warning, perubahan iklim, banjir bandang, kebakaran hutan dan kepunahan spesies meliputi hewani dan varietas hayati bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi secara alamiah. Dengan kata lain ini bukan takdir Tuhan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari apa yang telah dilakukan manusia. Manusia turut berperan aktif dan menjadi aktor utama dalam rentetan kerusakan alam yang terjadi. Dengan menimbulkan emisi gas rumah kaca, kepulan asap pabrik maupun kendaraan bermotor, perburuan, pembalakan liar dan alih fungsi lahanlah yang menyebakan peristiwa diatas. Padahal jika mengikuti kaidah hukum alam tidak akan terjadi demikian. Lapisan ozon yang berfungsi menjaga bumi tetap sejuk tidak akan menipis jika manusia tidak banyak menciptakan emisi karbon dioksida yang membuat bumi panas serta efek rumah kaca yang menyebabkan panas matahari terperangkap di bumi. Jika saja manusia tidak menebang hutan secara besar-besaran, bencana banjir bandang, keanekaragaman hayati dan hewani tetap terjaga.  

Bentuk-bentuk Takdir

Dalam pandangan Komarudin Hidayat, terdapat tiga bentuk takdir yang dapat diamati pada alam raya ini, diantaranya (Hidayat, 1996: 120-121):

  1. Takdir Tuhan yang berlaku pada fenomena alam fisika. Takdir ini berkaitan dengan hukum atau ketentuan Tuhan yang mengikat perilaku alam yang bersifat objektif sehingga watak serta hukum kausalitas alam dapat mudah dipahami oleh manusia. Contohnya obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh manusia. 

  2. Takdir yang berkaitan dengan hukum sosial yang melibatkan manusia hadir di dalamnya. Hal ini sering disampaikan dalam ayat Al-Qur'an tentang kejadian umat terdahulu sekaligus menjadi pelajaran agar kejadian tersebut tidak terulang kembali. Contohnya, Fir'aun sebagai penguasa korup yang menindas, Haman sebagai ilmuwan atau orang-orang pintar yang melacurkan ilmu pengetahuan untuk menunjang tirani, Qorun sebagai cerminan sang kapitalis yang menghisap seluruh kekayaan massa dan Bal'am sebagai tokoh agama yang menggunakan doktrin agama untuk melegitimasikan kekuasaan yang korup. 

  3. Takdir dalam makna kepastian Tuhan yang berlaku, tetapi time responnya relatif jauh lagi. Tidak akan terjadi di dunia tetapi akan dibuktikan di akhirat nanti. Contohnya adalah orang yang beriman dan beramal shaleh akan masuk surga, begitu pun sebaliknya, Namun kepastian ini hanya bisa dibuktikan di akhirat nanti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun