Mohon tunggu...
Fadhil Muhammad
Fadhil Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - penulis lepas

Manusia yang kadang suka menulis. Kadang juga berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Di Balik Ilusi Kebangkitan PKI

7 Januari 2021   14:06 Diperbarui: 7 Januari 2021   14:12 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: https://youtu.be/GWc9PHWXmnY)

Istilah oligarki mulai familiar di publik setelah adanya aksi Reformasi Dikorupsi bulan September 2019 lalu. Aksi tersebut menolak revisi UU KPK yang dinilai melemahkan lembaga anti korupsi. Tuntutan aksi juga menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena banyak pasal kontroversial yang merugikan orang banyak. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah oligarki berserta isunya pun pudar di ranah publik. Karena digembosi oleh isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Biasanya isu ini muncul setiap bulan September. Namun beberapa waktu kemarin, isu ini muncul pada 23 Mei bertepatan dengan hari lahirnya PKI.

Hantu PKI

Isu kebangkitan PKI seperti isu rutinan karena setiap tahun selalu saja muncul. PKI akan mengganti pancasila, PKI telah menguasai pemerintahan, PKI adalah musuh agama, dan masih banyak lagi isu yang dimainkan bersamaan dengan isu kebangkitan PKI. Setidaknya itulah yang diutarakan oleh sayap kanan ultra nasionalis maupun Islamis.

Ketika isu ini mencuat, umat Islam di posisikan sebagai pihak yang paling dirugikan. Karena sejarah kelam antara PKI dan Islam di masa lalu. Sehingga jika PKI bangkit, maka umat Islam akan berada dalam bahaya. Tentu ini menjadi kontradiksi, karena fakta sejarah pun membuktikan bahwa rezim Orde Baru memiliki hubungan buruk dengan Islam. Salah satunya fusi beberapa partai Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal ini dirasa sebagai upaya melemahkan kekuatan Islam secara politik. Maka dari itu saya berpendapat bahwa isu kebangkitan PKI dengan sentimen agamanya merupakan politik identitas yang mencatut identitas Islam untuk mencapai tujuan tertentu. Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia. Ini menjadi alasan utama menggunakan sentimen agama Islam untuk meraih dukungan massa sebagai legitimasi terhadap kebenaran isu kebangkitan PKI.

Oligarki Sebagai Musuh Bersama

Sebagai generasi muda, kita tahu bahwa isu PKI ini hanyalah omong kosong. Banyak sekali diskusi, buku-buku dan opini tokoh yang membahas secara filosofis, ideologis, maupun sosio-historis PKI yang bisa dijangkau oleh generasi muda. Yang jelas isu PKI bukan menjadi prioritas utama pembahasan generasi muda. Justru generasi muda perlu mengcounter isu PKI dengan isu dominasi oligarki. Bahwa sebenarnya musuh kita yang sebenarnya adalah oligarki. Menurut Jeffrey Winters, oligarki adalah politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan materil (oligark). Oligarki juga berupa sekelompok orang yang terlibat dalam mempengaruhi kebijakan publik untuk mempertahankan kekayaannya dari 'gangguan' masyarakat dan negara. Artinya, oligarki adalah sekempok orang dari kalangan pengusaha yang melindungi kepentingan bisnisnya melalui serangkaian kebijakan, peraturan perundang-undangan bahkan militer.

Ongkos politik yang mahal mendorong politisi dan partai politik untuk mencari sokongan dana operasional partai. Beberapa kasus, para oligark bersedia menjadi penyokong dana. Akan tetapi dengan imbalan memudahkan kepentingan oligark di permerintahan. Sehingga oligark hanya berperan dibalik layar. Namun, dalam perkembangannya, oligark mulai terang-terangan menunjukkan dirinya bahkan menjadi nakhoda. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pejabat yang merangkap sebagai pengusaha. Baik itu sebagai jajaran direksi maupun pemilik saham. Sebut saja pengusaha Batu Bara yang menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi.

Sangat mungkin terjadi konflik kepentingan, apalagi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) baru saja disahkan oleh DPR. Padahal UU Minerba dikritik banyak pihak karena dinilai memberikan hak istimewa kepada pengusaha tambang. Bahkan dalam memutuskan izin pertambangan, masyarakat setempat tidak dilibatkan. Masyarakat tidak diberikan ruang untuk menolak pertambangan di wilayahnya. Hal ini semakin melegitimasi bahwa pemerintah sama sekali tidak melindungi kepentingan rakyatnya.

Kuasa Oligarki Partai

Dalam negara demokrasi, partai politik menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Hak politik warga negara direpresentasikan dalam sebuah partai politik. Sehingga setiap aspirasi dapat disuarakan dan diperjuangkan agar menjadi kebijakan publik. Namun, kenyataannya tidak demikian, karena partai politik hari ini adalah partai politik yang tidak akomodatif terhadap kepentingan rakyat. Fungsi partai politik berubah menjadi alat oligark untuk mengukuhkan kekuatan politiknya. Oligark mendirikan partai sebagai upaya untuk melindungi kepentingan bisnisnya. Tidak heran jika beberapa partai politik didirikan oleh pengusaha. Lalu, mengukuhkan dirinya sebagai ketua partai.

Dengan banyaknya partai yang dikuasai oleh kalangan pengusaha, muncullah istilah oligarki partai. Oligarki partai adalah seseorang atau kelompok yang menguasai dan mengendalikan partai politik karena faktor materil. Misalnya, sebagai donatur atau yang membiayai operasional partai. Anggota partai pun tersandera oleh kepentingan oligark. Akibatnya, partai-partai politik di Indonesia berkembang menjadi "partai-partai kartel" yaitu partai yang melekat pada negara, teralienasi dari masyarakat, dan didominasi oleh para oligarki.

Oligarki partai menghambat kaderisasi pemimpin partai. Karena untuk menjadi pemimpin partai, dibutuhkan dana yang besar sebagai 'mahar politik'. Hal ini menandakan bahwa faktor materillah yang menentukan seseorang menjadi pemimpin partai. Faktor lain seperti kualitas visi-misi, keberpihakan kepada masyarakat serta gagasan ideologis diabaikan. Partai politik yang dikuasai oleh oligark gagal total dalam melaksanakan kaderisasi untuk melahirkan pemimpin yang mampu menjaga kehidupan demokrasi di Indonesia agar tidak jauh panggang dari api kedaulatan rakyat.

Adanya partai-partai politik menjadi sesuatu yang vital bagi demokrasi sebab warga negara mendelegasikan pada partai-partai politik di parlemen. Partai politik juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik, menyalurkan aspirasi masyarakat, serta menyampaikan kritik atas kinerja pemerintah. Anggota parlemen sebagai wakil rakyat pun dicalonkan melalui partai. Tentu oligark partai tidak akan membiarkan satu pun kadernya lolos ke senayan tanpa menitipkan kepentingannya. Maka dari itu, dominasi oligark dalam partai membawa pengaruh buruk dalam proses pengambilan kebijakan publik. Tidak heran ketika UU KPK, UU Minerba, serta UU Omnibus Lawa disahkan oleh DPR meskipun banyak penolakan dari berbagai pihak.

Media Dalam Cengkeraman Oligarki

Ketika berbicara trias politica, kita akan berbicara tentang bagaimana pemerintahan berjalan. Legislatif sebagai pembuat undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang dan yudikatif sebagai pengawasan pelaksanaan undang-undang. Ketiga elemen tersebut merupakan elemen yang menopang negara demokrasi. Namun ada satu hal yang dilupakan, yaitu media (pers). Pers sangat penting dalam kehidupan bernegara, terlebih negara demokrasi. Fungsi dari pers yaitu sebagai kontrol sosial dalam mengawasi kinerja-kinerja pemerintah. Sejarah mencatat bahwa pers sangat vital dalam membentuk opini publik. Sebut saja Soekarno, Hatta, HOS Tjokroaminoto dan tokoh lainnya menuangkan kritik kepada Pemerintah Kolonial Belanda melalui surat kabar. Pun ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945, informasi tentang kemerdekaan Indonesia disiarkan melalui radio RRI serta dimuat di surat kabar nasional. Dari sini kita dapat melihat peran media sebagai penyambung lidah antara pemerintah dengan masyarakat.

Pers pernah mengalami masa kritis ketika zaman orde baru. Dimana pemerintah membatasi kegiatan meliput dan menyiarkan berita-berita yang tidak sejalan dengan pemerintah. Bahkan tidak segan membungkam siapa saja yang mengkritik kebijakan pemerintah. Puncaknya, ketika majalah Tempo dibredel karena terlalu keras mengkritik pemerintah. Sehingga pers pada saat itu mengalami stagnansi. Melalui corong media televisi TVRI, media (pers) hanya dijadikan humas pemerintah. Sedangkan, dalam menjalankan fungsi pengawasan, media memegang prinsip independen. Artinya tidak berafiliasi dengan lembaga manapun, berada diluar ring pemerintah dan bukan menjadi alat kepentingan politik.

Pasca reformasi, media massa memiliki posisi penting dalam mengawal demokratisasi. Berbagai wacana, gagasan dan kritik disebar luaskan melalui media cetak, maupun media televisi. Media menjadi ruang publik uang menghadirkan diskusi kecil tentang penegakan hukum, pendidikan, kebudayaan dan hiburan. Semakin jelas bahwa media dapat mengendalikan opini yang berkembang di masyarakat. Tidak sedikit pula yang melihat ini sebagai peluang bisnis yang menggiurkan.

Industri media bertansformasi menjadi korporasi media. Strategi menggabungkan media cetak, media online dan media televisi dalam satu naungan perusahaan sukses melahirkan oligark media. Hal inilah yang melatar belakangi oligark media media dalam mendirikan partai. Paripurnalah kuasa oligarki atas media massa karena memiliki nilai tawar dari segi ekonomi maupun politik.

Pada akhirnya, oligark dapat memanfaatkan media untuk mengkritik pemerintah atau pun mendukung pemerintah. Tergantung bagaimana pilihan politiknya. Jika berada di barisan pemerintah, maka media miliknya akan mendukung kinerja pemerintah sedangkan jika berada bersebrangan dengan pemerintah, maka media miliknya akan terus mengkritik pemerintah. Persoalan seperti ini bukanlah persoalan ideologis, tetapi lebih ke arah politis. Dalam UU Penyiaran, masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar, layak serta kredibel. Namun oligarki merampasnya begitu saja. Kualitas tontonan di televisi pun bertambah buruk, karena yang dikejar adalah rating bukan konten dari suatu acara.

Hal ini juga berdampak pada pers. Kegiatan meliput, menyiarkan dan berpendapat diatur sesuai kehendak oligark. Salah satu kasusnya yaitu jurnalis yang meliput penggusuran rumah di Tamansari, Bandung, Jawa Barat mendapat kekerasan dari aparat. Kejadian itu seharusnya tidak terjadi. Karena kegiatan jurnalislik dilindungi oleh UU Pers. Banyak, kasus-kasus seperti misteri penyiraman air keras kepada Penyidik KPK, Novel Baswedan. Bahkan program acara Mata Najwa di Metro Tv terpaksa berhenti karena pembawa acaranya, Najwa Shihab mewawancarai Novel Baswedan terkait penyiraman yang dialaminya. Beberapa pihak melihat ini sebagai ancaman, bukan hanya kepada individu tetapi juga kepada proses pemberantasan korupsi di Indonesia.

Generasi Y Dan Z Sebagai Agen Perubahan

Dalam istilah demografi, generasi Y adalah orang yang lahir pada rentang tahun 1980-1996 sedangkan generasi Z adalah orang yang lahir pada rentang tahun 1996-2010. Pengelompokkan istilah ini erat kaitannya dengan perkembangan teknologi-informasi. Sudah menjadi rahasia umum, perkembangan teknologi-informasi berpengaruh pada sosial, ekonomi, budaya dan politik. Kita sebut saja era digital. Baik generasi Y maupun Z sudah akrab dengan dunia digital. Meskipun ada beberapa yang tidak. Dunia digital pun tidak terlepas dari realitas sosial-politik-ekonomi. Banyak sekali isu yang menjadi pembahasan di dunia digital.

Ketika tatanan pemerintah berserta instrumen media sudah didominasi oleh kuasa oligarki, maka salah satu cara untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya oligarki yaitu dengan membangun media alternatif. Mengapa ini penting? Karena melalui media alternatif, masyarakat dapat bebas berpendapat tentang keresahan, ketidakadilan atau penyimpangan yang dilakukan oleh negara. Seperti di Twitter, setiap hari selalu saja ada pembahasan. Ini sebenarnya bisa dijadikan kesempatan untuk membahas tentang oligarki. Mulai dari pengertian, sistem, hingga bukti empiris bahwa para oligark sudah mendominasi sistem pemerintahan di Indonesia. Membangun media alternatif sekaligus bentuk perlawanan kita terhadap media mainstream yang sudah dikuasai oleh oligarki.

Inilah yang sebenarnya musuh kita bersama. Ya, OLIGARKI. Bukan isu kebangkitan PKI dan komunisme. Sebenarnya, isu kebangkitan PKI yang diinisiasi oleh kelompok populis sayap kanan cenderung menyesatkan. Perlu diingat bahwa pertarungan bentuk populisme di Indonesia, baik dengan model Islam maupun yang bercorak nasionalis, tidak terlepas dari alat oligarki dalam upaya mendapatkan kekuasaan dan sumber daya (Hadiz & Robinson, 2017). Fatal akibatnya jika pemerintah ini seluruhnya sudah jatuh ke tangan oligarki. Karena nantinya, kepentingan masyarakat umum akan diabaikan demi kepentingan oligarki.

*Tulisan ini pernah dipublikasikan di ruangonline.com dengan judul berbeda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun