Mohon tunggu...
Fadhil Muhammad
Fadhil Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - penulis lepas

Manusia yang kadang suka menulis. Kadang juga berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Di Balik Ilusi Kebangkitan PKI

7 Januari 2021   14:06 Diperbarui: 7 Januari 2021   14:12 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: https://youtu.be/GWc9PHWXmnY)

Dengan banyaknya partai yang dikuasai oleh kalangan pengusaha, muncullah istilah oligarki partai. Oligarki partai adalah seseorang atau kelompok yang menguasai dan mengendalikan partai politik karena faktor materil. Misalnya, sebagai donatur atau yang membiayai operasional partai. Anggota partai pun tersandera oleh kepentingan oligark. Akibatnya, partai-partai politik di Indonesia berkembang menjadi "partai-partai kartel" yaitu partai yang melekat pada negara, teralienasi dari masyarakat, dan didominasi oleh para oligarki.

Oligarki partai menghambat kaderisasi pemimpin partai. Karena untuk menjadi pemimpin partai, dibutuhkan dana yang besar sebagai 'mahar politik'. Hal ini menandakan bahwa faktor materillah yang menentukan seseorang menjadi pemimpin partai. Faktor lain seperti kualitas visi-misi, keberpihakan kepada masyarakat serta gagasan ideologis diabaikan. Partai politik yang dikuasai oleh oligark gagal total dalam melaksanakan kaderisasi untuk melahirkan pemimpin yang mampu menjaga kehidupan demokrasi di Indonesia agar tidak jauh panggang dari api kedaulatan rakyat.

Adanya partai-partai politik menjadi sesuatu yang vital bagi demokrasi sebab warga negara mendelegasikan pada partai-partai politik di parlemen. Partai politik juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik, menyalurkan aspirasi masyarakat, serta menyampaikan kritik atas kinerja pemerintah. Anggota parlemen sebagai wakil rakyat pun dicalonkan melalui partai. Tentu oligark partai tidak akan membiarkan satu pun kadernya lolos ke senayan tanpa menitipkan kepentingannya. Maka dari itu, dominasi oligark dalam partai membawa pengaruh buruk dalam proses pengambilan kebijakan publik. Tidak heran ketika UU KPK, UU Minerba, serta UU Omnibus Lawa disahkan oleh DPR meskipun banyak penolakan dari berbagai pihak.

Media Dalam Cengkeraman Oligarki

Ketika berbicara trias politica, kita akan berbicara tentang bagaimana pemerintahan berjalan. Legislatif sebagai pembuat undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana undang-undang dan yudikatif sebagai pengawasan pelaksanaan undang-undang. Ketiga elemen tersebut merupakan elemen yang menopang negara demokrasi. Namun ada satu hal yang dilupakan, yaitu media (pers). Pers sangat penting dalam kehidupan bernegara, terlebih negara demokrasi. Fungsi dari pers yaitu sebagai kontrol sosial dalam mengawasi kinerja-kinerja pemerintah. Sejarah mencatat bahwa pers sangat vital dalam membentuk opini publik. Sebut saja Soekarno, Hatta, HOS Tjokroaminoto dan tokoh lainnya menuangkan kritik kepada Pemerintah Kolonial Belanda melalui surat kabar. Pun ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945, informasi tentang kemerdekaan Indonesia disiarkan melalui radio RRI serta dimuat di surat kabar nasional. Dari sini kita dapat melihat peran media sebagai penyambung lidah antara pemerintah dengan masyarakat.

Pers pernah mengalami masa kritis ketika zaman orde baru. Dimana pemerintah membatasi kegiatan meliput dan menyiarkan berita-berita yang tidak sejalan dengan pemerintah. Bahkan tidak segan membungkam siapa saja yang mengkritik kebijakan pemerintah. Puncaknya, ketika majalah Tempo dibredel karena terlalu keras mengkritik pemerintah. Sehingga pers pada saat itu mengalami stagnansi. Melalui corong media televisi TVRI, media (pers) hanya dijadikan humas pemerintah. Sedangkan, dalam menjalankan fungsi pengawasan, media memegang prinsip independen. Artinya tidak berafiliasi dengan lembaga manapun, berada diluar ring pemerintah dan bukan menjadi alat kepentingan politik.

Pasca reformasi, media massa memiliki posisi penting dalam mengawal demokratisasi. Berbagai wacana, gagasan dan kritik disebar luaskan melalui media cetak, maupun media televisi. Media menjadi ruang publik uang menghadirkan diskusi kecil tentang penegakan hukum, pendidikan, kebudayaan dan hiburan. Semakin jelas bahwa media dapat mengendalikan opini yang berkembang di masyarakat. Tidak sedikit pula yang melihat ini sebagai peluang bisnis yang menggiurkan.

Industri media bertansformasi menjadi korporasi media. Strategi menggabungkan media cetak, media online dan media televisi dalam satu naungan perusahaan sukses melahirkan oligark media. Hal inilah yang melatar belakangi oligark media media dalam mendirikan partai. Paripurnalah kuasa oligarki atas media massa karena memiliki nilai tawar dari segi ekonomi maupun politik.

Pada akhirnya, oligark dapat memanfaatkan media untuk mengkritik pemerintah atau pun mendukung pemerintah. Tergantung bagaimana pilihan politiknya. Jika berada di barisan pemerintah, maka media miliknya akan mendukung kinerja pemerintah sedangkan jika berada bersebrangan dengan pemerintah, maka media miliknya akan terus mengkritik pemerintah. Persoalan seperti ini bukanlah persoalan ideologis, tetapi lebih ke arah politis. Dalam UU Penyiaran, masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar, layak serta kredibel. Namun oligarki merampasnya begitu saja. Kualitas tontonan di televisi pun bertambah buruk, karena yang dikejar adalah rating bukan konten dari suatu acara.

Hal ini juga berdampak pada pers. Kegiatan meliput, menyiarkan dan berpendapat diatur sesuai kehendak oligark. Salah satu kasusnya yaitu jurnalis yang meliput penggusuran rumah di Tamansari, Bandung, Jawa Barat mendapat kekerasan dari aparat. Kejadian itu seharusnya tidak terjadi. Karena kegiatan jurnalislik dilindungi oleh UU Pers. Banyak, kasus-kasus seperti misteri penyiraman air keras kepada Penyidik KPK, Novel Baswedan. Bahkan program acara Mata Najwa di Metro Tv terpaksa berhenti karena pembawa acaranya, Najwa Shihab mewawancarai Novel Baswedan terkait penyiraman yang dialaminya. Beberapa pihak melihat ini sebagai ancaman, bukan hanya kepada individu tetapi juga kepada proses pemberantasan korupsi di Indonesia.

Generasi Y Dan Z Sebagai Agen Perubahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun