Mohon tunggu...
F Daus AR
F Daus AR Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Penggerutu

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tentang Cerpen yang Melangkahi Waktu (Bagian 3)

17 Januari 2020   09:07 Diperbarui: 17 Januari 2020   09:27 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi (2020)

"Orang yang ingin menjadi orang lain sesungguhnya menzalimi dirinya yang khas," Tukas Pidi Baiq. Namun, tak dimungkiri jika jejak awal kepenulisan seseorang sedikit banyaknya meniru gaya penulis idola masing-masing.

Memang tidak ada yang bisa lepas dari pengaruh. Layaknya dalam sebuah band. Slank, melalui pentolannya, Bimbim, yang mengidolakan The Rolling Stones, di sejumlah lagu Slank aroma musik asal Inggris itu nampak tercium.

Hal yang lumrah juga terjadi dalam penciptaan cerpen. Peraih nobel kesusastraan tahun 1982, Gabriel Garcia Marquez dalam pengakuannya terperanjak kala membaca novela Metamorfosis gubahan Kafka. Di kumcer Selamat Jalan, Tuan Presiden (Bentang:1999). Nafas Kafka bisa dijumpai di cerpen Si Cantik yang Tidur di Pesawat Terbang.

Empat cerpen yang terangkum diterjemahkan oleh Ruslani dari Bon Voyage Mr. President and Other Stories (Penguin Books: 1995). Gambar sampul merupakan karya instalasi Teddy D, oleh Buldanul Khuri dipermak menjadi sampul menarik.

Gabo, sapaan Marquez yang dikenal sebagai salah satu pegusung realisme magis yang menjadi corak para pengarang dari Amerika Latin tentu melakukan reparasi konsep dari yang sudah dilakukan Kafka. Tidak benar-benar membebek. Dan, itu bisa dinikmati di sejumlah karyanya yang lain, utamanya di novel Seratus Tahun Kesunyian.

Di sepanjang tahun 2002 hingga 2004 saya melewatkan buku bersampul absurd. Judulnya tidak mengesankan berupa karya sastra: Metamorfosis. Di tahun selanjutnya justru melahirkan penyesalan. Mengapa buku itu saya lewatkan.

Di tahun 2016 buku itu kembali hadir di depan mata. Tak ingin melewatkan, buku yang dulu waktu pertama melihatnya di tahun 2002 diterbitkan Pustaka Promothea dan kini bekerja sama dengan Narasi (2015).

Kumcer yang memakai novela Metamormofosis sebagai judul antologi itu, disebut demikian karena cerita tersebut pernah terbit mandiri. Kini terangkum bersama puluhan cerpen yang lain. Struktur cerita Metamormofosis memang panjang ketimbang cerpen yang lain.

Kumcer ini lumayan gemuk: 419 halaman. Diterjemahkan dari The Transformation (Metamorphosis) and Other Stories (Penguin Books: 1992) oleh Ribut Wahyudi, Saut Pasaribu, Yudi S, dan T Widiyantoro. Gambar sampul diambil dari lukisan Picasso dan didesain Buldanul Khuri kemudian Sugeng mendesain ulang. Jika membandingkan dengan terbitan awalnya, perubahan sampul hanya pada komposisi warna.

Di luar Metamormofosis, cerpen Anjing-anjing Liar dan Orang-orang Arab menampilkan kecanggihan Kafka bercerita jika dikembalikan pada masanya. Kita hanya bisa mengukur itu sebagai pemberontakan Kafka dari posisi kita saat ini bahwa, Kafka telah mengutak-atik dongeng dan cerita yang dialami masyarakat di zaman dia hidup. Cerpen ini juga menunjukkan betapa pengaruh Kafka mengilhami penulis selanjutnya dalam mengembangkan struktur dan narasi.

_

Bila mengingat kembali, di kisaran tahun 2002 atau 2003 cerpen Putu Wijaya mengentak pikiran. Setidaknya itu yang saya alami bila membandingkan cerita yang lumrah dibaca di pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.

Bom (Balai Pustaka: 1992). Demikian judul kumcer mungil itu yang berukuran 11,5 cm x 17,5 cm. Sayang, kumcer ini raib. Kemudian saya menemukannya kembali di salad satu toko buku di Makassar di tahun 2013. Saya bahagia sekali menjumpainya tergeletak di atas meja bersama sejumlah buku yang lain. Tanpa pikir panjang saat itu, buku itu saya raih dan menciuminya.

Terdapat 17 cerpen. 13 judul di antaranya hanya berjudul satu suku kata. Sampai di tahun 2012, saya menempatkan cerpen Merdeka yang saya baca di buku sisipan program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) 2003. Di tahun itu program SBSB yang dipelopori majalah Horison ini singgah di Makassar dan menyaksikan langsung Putu Wijaya membacakan cerpen Merdeka. Seru sekali.

Namun, setelah berjumpa kembali dengan kumcer Bom, bukan judul salah satu cerpen yang terangkum. Entah mengapa kumcer tersebut dijuduli demikian. Penjelasan di lembaran pengantar dijelaskan kalau Bom diterbitkan untuk melengkapi kumcer Putu yang telah diterbitkan sebelumnya oleh Balai Pustaka yakni: Lho, Gres, Geer, dan Dor.

Cerpen berjudul Protes melampaui imaji protes sosial Putu Wijaya di cerpen Merdeka. Di cerpen itu Putu meneror ketenangan berpikir kita bagaimana membaca situasi sosial yang bisa jadi kita menjumpainya juga di sekitaran kita hidup.

_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun