Barang-barang dan jasa yang sebelumnya dikenakan PPN 11 persen, seperti makanan siap saji dan layanan streaming, akan terdampak langsung oleh kebijakan ini.
Namun, beberapa kebutuhan pokok seperti beras, sayuran, layanan kesehatan, pendidikan, dan transportasi umum akan tetap bebas dari PPN atau dikenakan tarif nol persen. Langkah ini menunjukkan upaya pemerintah untuk melindungi kelompok masyarakat yang rentan dari beban tambahan.
Kekhawatiran Publik dan Analisis Ekonomi
Meskipun pemerintah mengklaim bahwa dampak kenaikan tarif ini kecil, sejumlah analis dan lembaga riset memiliki pandangan berbeda.Â
Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan bahwa kenaikan ini dapat membebani daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah dan menengah. Bahkan, untuk kelas menengah, pengeluaran bulanan diproyeksikan meningkat hingga Rp354.293.
Selain itu, kenaikan tarif PPN juga dikhawatirkan memicu inflasi. Proyeksi inflasi pada 2025 diperkirakan mencapai 4,11 persen, lebih tinggi dari target inflasi saat ini.Â
Lonjakan inflasi ini dapat memberikan tekanan tambahan pada rumah tangga dan pelaku usaha kecil yang sudah menghadapi tantangan ekonomi akibat pandemi dan ketidakpastian global.
Langkah Strategis atau Beban Tambahan?
Sebagai kebijakan fiskal, kenaikan tarif PPN tentu memiliki landasan strategis. Pemerintah membutuhkan tambahan pendapatan untuk membiayai berbagai program pembangunan, termasuk infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.Â
Namun, tanpa langkah mitigasi yang tepat, kebijakan ini berisiko menciptakan beban tambahan bagi masyarakat, khususnya kelompok rentan.
Kenaikan PPN harus diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan anggaran negara, memperkuat basis data pajak, dan memperbaiki sistem administrasi perpajakan. Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa dampak inflasi dapat ditekan melalui kebijakan moneter dan subsidi yang tepat sasaran.