Fbhis.umsida.ac.id -Â Pemerintah Indonesia telah mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.Â
Kebijakan ini menuai pro dan kontra di berbagai kalangan. Di satu sisi, langkah ini dianggap penting untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi di sisi lain, dampaknya terhadap daya beli masyarakat menjadi perhatian utama.
Alasan Kenaikan PPN
Kenaikan tarif PPN ini dilatarbelakangi oleh rasio pajak Indonesia yang masih rendah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa rasio pajak Indonesia saat ini hanya 10,4 persen, jauh di bawah rata-rata global sebesar 15 persen.Â
Pemerintah memandang bahwa peningkatan tarif PPN dapat menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki kondisi ini.
Sebagai perbandingan, beberapa negara lain memiliki tarif PPN yang lebih tinggi, seperti Brasil dengan 17 persen dan Afrika Selatan dengan 15 persen.Â
Kedua negara ini juga memiliki rasio pajak yang jauh lebih tinggi, masing-masing sebesar 24,67 persen dan 21,4 persen. Dengan demikian, pemerintah ingin membawa Indonesia lebih mendekati standar global dalam pengelolaan pendapatan negara.
Namun, perlu dicatat bahwa rasio pajak bukan hanya soal tarif, tetapi juga mencerminkan efektivitas sistem perpajakan. Masalah seperti tax evasion (penghindaran pajak) dan tax gap (selisih antara potensi pajak dan realisasi) masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Dampak Kenaikan PPN
Kenaikan tarif PPN diperkirakan akan berdampak pada peningkatan harga barang dan jasa sekitar 0,9 persen. Misalnya, untuk barang seharga Rp5 juta, biaya tambahan PPN akan meningkat dari Rp550 ribu menjadi Rp600 ribu.Â