Mohon tunggu...
Fazira Maharani
Fazira Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayangan di Cermin Retak

31 Januari 2025   10:36 Diperbarui: 31 Januari 2025   10:36 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Desir angin pagi yang menerobos jendela kamar tak mampu mengusir rasa lelah yang menyelimuti tubuh Renata. Matanya yang sembab menatap sayu bayangannya di cermin rias. Lagi-lagi masalah datang menghampiri. Baru saja ia merasa hari ini akan berjalan dengan tenang, sebuah pesan singkat dari Bu Ratna, ketua arisan kompleks, menghancurkan ketenangannya. "Renata, kamu tidak bisa mengikuti aturan? Kenapa selalu membuat keributan? Sudah jelas giliranmu membawa kue, tapi kamu malah lalai!" bunyi pesan itu begitu menusuk hati. Renata menghela napas panjang. Ia sudah sering mengalami hal seperti ini. Entah mengapa, ia selalu terjebak dalam konflik, seolah ada kekuatan gaib yang menariknya ke dalam pusaran masalah. Padahal niatnya selalu baik, ia ingin membantu, namun hasilnya selalu bertolak belakang dengan keinginannya.

Renata mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha mengusir perasaan kacau yang menyelimuti hatinya. Ia menatap bayangannya di cermin, sosok yang tampak letih dan kecewa. Tatapan matanya yang sayu seolah berkata bahwa ia selalu merasa bersalah dan tidak pernah cukup baik di mata orang lain. Perasaan itu bagaikan bayangan yang direproduksi berkali-kali, selalu menampilkan gambaran dirinya yang tidak utuh dan penuh kekurangan.

Pagi itu, Renata berusaha mengabaikan pesan dari Bu Ratna. Ia tetap memutuskan untuk berangkat ke kafe tempatnya bekerja paruh waktu. Setibanya di sana, ia disambut dingin oleh Maya, rekan kerjanya. Maya, yang selalu tampil sempurna dan rapi, seringkali berselisih paham dengan Renata. "Renata, kamu sudah tahu jadwal kerjamu pagi ini, bukan? Kenapa bisa terlambat lagi?" tanya Maya dengan nada tinggi, sambil berdiri dengan kedua tangan di pinggang.1"Maaf, Mei. Aku tadi ada sedikit urusan," jawab Renata lirih, berusaha meredam emosinya."Urusan? Memangnya urusan apa yang lebih penting dari tanggung jawab kerja? Kamu selalu saja begitu, nggak pernah serius!" Maya terus menyemprotnya dengan kata-kata pedas.Renata berusaha menjelaskan bahwa ia memang sedang menghadapi sedikit masalah, namun Maya tampak enggan mendengarkan. 

Suara mereka semakin meninggi, sehingga beberapa pengunjung kafe mulai menoleh ke arah mereka. Tiba-tiba, seorang pria yang berpenampilan rapi dengan rambut yang disisir rapi ke belakang, mendekati mereka. Pria itu adalah Bagas, pemilik kafe yang jarang terlihat di tempat ini."Ada apa ini?" tanya Andi dengan suara berat.

Maya langsung mengadu, "Andi, Renata selalu saja telat dan bikin masalah. Dia bahkan tidak peduli sama aturan di sini!"Andi menatap Renata dengan ekspresi kecewa. "Renata, saya sudah sering memperingatkan kamu. Kamu harus lebih disiplin. Aku nggak mau kafe ini jadi berantakan karena ulahmu," ucapnya dengan nada yang lebih tegas dari biasanya.

Hati Renata terasa hancur berkeping-keping. Semua orang seperti bersatu padu menyalahkannya. Ia merasa terisolasi, seakan-akan tidak ada seorang pun yang mau mendengarkannya. Air matanya mulai membendung di pelupuk mata. Ia memilih untuk diam karena merasa perkataannya sia-sia."Tapi, Andi, aku...." Renata mulai bicara, suaranya bergetar."Sudah, Renata, jangan membela diri. Kamu memang salah," potong Maya dengan sinis."Tapi ini tidak sepenuhnya salahku. Aku memang telat, tapi aku punya alasan. Aku juga selalu berusaha untuk yang terbaik," Renata mencoba membela diri, namun katanya terasa hampa."Pembelaanmu itu sudah basi, Ren. Setiap kali kamu salah, selalu ada alasan," sahut Maya lagi.2Andi menghela napas. "Saya tidak mau tahu alasanmu, Renata. Saya hanya ingin kamu bertanggung jawab. Mulai sekarang, kamu saya skors selama tiga hari. Saya harap kamu bisa memproses kesalahanmu," Andi berkata dengan nada dingin.

Dunia seakan runtuh di hadapan Renata. Tatapannya menyapu ruangan, terhenti pada Maya yang berdiri dengan senyum kemenangan. Bagas menatapnya dengan tatapan kecewa, sementara para pengunjung kafe hanya bisa menyaksikan kejadian itu dengan rasa penasaran. Kehilangan terasa begitu mendalam, dan ia merasa sangat sendirian. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya mengapa selalu dirinya yang menjadi pihak yang dirugikan."Sebenarnya...mengapa semua orang selalu menyalahkanku? Aku tidak pernah ingin membuat masalah. Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik. Tapi kenapa hasilnya selalu begini?" tanya Renata, air matanya mulai menetes."Mungkin karena kamu memang selalu salah, Renata. Mungkin kamu hanya pandai mencari alasan," kata Maya, membuat hati Renata semakin sakit.Renata tidak dapat lagi menahan air matanya yang tumpah membasahi pipi. Ia berlari keluar dari kafe, meninggalkan semua orang yang telah menghakiminya dengan kejam. 

Udara dingin di luar terasa menusuk kulitnya, sejalan dengan perasaan hampa yang menyelimuti hatinya. Saat melangkah gontai, tanpa sengaja ia melihat pantulan dirinya di kaca etalase toko. Di sana,terbayang wajahnya yang pucat dan mata yang sembab. Ia merasa seperti pecahan kaca, selalu dianggap salah oleh orang-orang di sekitarnya.

Renata berjalan tanpa arah, air matanya terus mengalir membasahi pipi. Ia berhenti di sebuah taman kecil yang sunyi. Duduk di bangku taman, ia berusaha menenangkan diri. Ia mengeluarkan cermin kecil dari tasnya dan menatap refleksinya. 

Cermin itu sama persis dengan cermin di kamarnya. Di dalam cermin, ia melihat bayangan dirinya yang tampak retak dan rapuh. Namun, kali ini ada sesuatu yang aneh. Di balik bayangannya, samar-samar terlihat bayangan lain. Sosok itu memiliki wajah yang sangat mirip dengannya, namun ekspresi wajahnya begitu jahat dan menyeramkan.3Renata tersentak kaget. Dengan hati-hati, ia mencoba mendorong cermin itu ke depan, dan bayangan samar-samar tersebut semakin jelas terlihat. Ia memutar cermin itu perlahan-lahan, dan seketika menyadari bahwa cermin yang dibawanya bukanlah cermin biasa. Ini adalah cermin dua sisi. 

Selama ini, ia baru sadar bahwa ada sosok lain yang tersembunyi di balik cermin, sosok yang selama ini ia kira adalah dirinya sendiri.Tiba-tiba, semua kejadian aneh yang pernah dialaminya terlintas di benak Renata. Pesan misterius dari Bu Ratna, kemarahan Maya yang tak beralasan, bahkan teguran keras dari Bagas. Semua peristiwa itu terasa janggal dan tidak masuk akal. Seolah-olah ada kekuatan lain yang sedang mengatur segalanya. 

Renata mulai menyadari bahwa selama ini bukan dirinya yang menjadi penyebab semua masalah, melainkan bayangan di cermin itu yang telah memanipulasi dirinya. Bayangan itu telah mencuri identitasnya, menciptakan berbagai masalah atas namanya, dan membuatnya terlihat seperti orang yang selalu bersalah.Renata kembali ke kafe dengan perasaan marah bercampur penasaran. Tatapannya tertuju padaMaya dan Andi yang sedang berbisik serius. Dengan perlahan, ia mengangkat cermin yang dibawanya dan mengarahkannya ke arah mereka berdua. Saat melihat bayangannya sendiri terpantul di cermin dengan ekspresi wajah yang menyeramkan, Maya dan Andi sontak terkejut."Apa...apa ini?" tanya Andi, tergagap."Ini dalang di balik semua masalah," kata Renata dengan nada dingin. "Bayangan di cermin ini yang selama ini membuat terlihat buruk."Maya dan Andi saling memandang dengan bingung. Mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Namun ketika bayangan di cermin itu mulai bergerak, Maya dan Andi dapat merasakan kengerian yang nyata. 

Bayangan itu seperti hidup, dan seolah ingin keluar dari cermin itu."Renata, aku benar-benar minta maaf. Saya tidak tahu ada yang seperti ini," kata Andi, wajahnya pucat pasi."Aku juga minta maaf, Ren," Maya juga merasa bersalah karena telah menyalahkan Renata selama ini.4"Tidak apa-apa," jawab Renata, ia tahu bahwa bukan mereka yang salah, tetapi bayangan di cermin itu harus bertanggung jawab.

Dengan perasaan campur aduk, Renata meletakkan kembali cermin itu. Ia menyadari bahwa perjalanannya masih panjang. Ia masih harus berjuang melawan bayang-bayang yang selama ini menghantui hidupnya. Namun, Renata tidak lagi merasa sendirian. Ia mulai memahami bahwa masalah yang dihadapinya tidak sepenuhnya salah dirinya. Ia juga menyadari bahwa ada beberapa hal dalam hidup yang tidak bisa dijelaskan secara logis.Sejak hari itu, Renata menjadi lebih waspada. Ia selalu memperhatikan setiap detail, setiap bayangan yang menyelimuti sekitarnya. Ia menyadari bahwa dunia ini penuh dengan misteri, dan terkadang hal-hal yang tak kasat mata jauh lebih berbahaya daripada yang terlihat. Ia juga merasa lebih kuat, karena yakin kini ia memiliki kekuatan untuk menghadapi segala rintangan yang datang. Ia tidak lagi membiarkan bayangan itu mengendalikannya. Dialah yang menentukan jalan hidupnya.

Malam itu, sebelum tidur, Renata kembali menatap cerminnya. Bayangan dirinya masih sama, namun kali ini, di balik bayangan dirinya, tidak ada lagi bayangan jahat. Renata tipis tersenyum, ia tahu, pertempuran belum selesai, tapi kini ia punya senjata, yaitu kesadaran. Ia menutup rapat cerminnya dan hendak tidur, siap menghadapi hari esok yang penuh dengan misteri dan tantangan. Namun, ada satu pertanyaan yang tetap mengganjal di pikiran, siapa sebenarnya bayangan jahat itu? Dan dari mana ia berasal?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun