Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Yang Berjuang di Balik Sunyi

19 Agustus 2024   20:54 Diperbarui: 19 Agustus 2024   21:10 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Koridor rumah sakit pemerintah daerah itu jarang sunyi. Ada saja derap langkah tergesa-gesa, bunyi troli beroda tua berkarat yang berderit, dan bisikan-bisikan cemas; bercampur padu menjadi simfoni malam yang tak pernah usai. Di tengah suara-suara itu, Maya, seorang dokter muda PPDS Anestesi, berjalan dengan langkah yang tampak begitu ringan. Rambut pendeknya yang lembut bergoyang mengikuti irama langkahnya, senyum tipis tersungging di bibirnya.

"Maya, kamu yakin gak mau ikut makan malam?" tanya seorang perawat senior, Wulan, sambil menepuk pundak Maya dengan lembut.

Maya menoleh, senyumnya melebar. "Makasih, Bu Wulan. Saya masih ada beberapa catatan yang harus diselesaikan. Lagipula, saya belum lapar."

Wulan mengangguk, namun kerutan khawatir tak bisa disembunyikan dari dahinya. "Jangan terlalu memaksakan diri, ya, Maya. Kamu sudah bekerja keras seharian ini."

Maya hanya mengangguk lagi, lalu berlalu menuju ruangannya. Setelah pintu tertutup, senyum di wajahnya perlahan memudar. Ia menghela napas panjang, lalu menatap tumpukan buku dan catatan di mejanya. Rasa lelah yang teramat sangat tiba-tiba menyergapnya, seolah tulang-tulangnya remuk.

"Sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini?" bisiknya dalam hati, suaranya tercekat.

Maya duduk di mejanya melepas lelah, dikelilingi oleh buku-buku teks dan diagram anatomi. Kata-kata di judul-judul buku itu tampak kabur, seolah menari-nari di depan matanya. Kepala dirasa semakin berat, napas terasa semakin sesak.

"Sakit sekali, Tuhan," bisiknya lagi.

Di luar, hiruk-pikuk rumah sakit terus berlanjut. Namun, di ruang Maya yang tertutup dan sunyi, ada perjuangan yang terus berkecamuk. Memanggil harapan agar tetap kuat.  Namun, yang datang tekanan makin menghimpit, tersudutkan, dan tersembunyi di balik senyumnya yang rapuh. Ia lawan, ia harus kuat.

***

Hari-hari Maya berjalan dalam siklus yang monoton dan melelahkan. Alarmnya berdering sebelum fajar menyingsing, membangunkannya dari tidur yang selalu terasa terlalu singkat. Ia bergegas mandi, sarapan seadanya, lalu melesat ke rumah sakit, seolah berpacu dengan waktu yang tak pernah berpihak padanya.

"Maya, kamu sudah baca jurnal terbaru tentang teknik anestesi regional?" tanya dr. Indra, salah satu dosen pembimbingnya, saat tiba di rumah sakit.

Maya mengangguk cepat, berusaha menyembunyikan kepanikannya. "Sudah, Dok. Saya sudah baca tadi malam."

"Bagus," dr. Indra tersenyum tipis. "Nanti saya tanya beberapa poin pentingnya saat visite."

Maya hanya bisa tersenyum kaku sebagai jawaban. "Tadi malam?" batinnya menjerit. "Tadi malam aku bahkan enggak sempat memejamkan mata!"

Rutinitas Maya yang berputar tanpa henti sangat dirasakan menggerogoti kekuatannya. Kuliah pagi, praktikum siang, jaga malam, pulang dini hari, lalu belajar hingga jelang shubuh. Tidur sejam dua jam tanpa pernah lelap.

Ia selalu menanamkan kesadaran dalam diri untuk tetap kuat.  Menjalani tugas dan mempelajari ilmu yang diberikan. Namun, belakangan otaknya seperti komputer yang bervirus. Kata-kata dan diagram-diagram anatomi saat dicoba serap ke otaknya, bercampur-aduk, melayang-layang, dan membentuk kabut tebal yang menghalangi jalan menuju pemahaman.

"Maya, kamu kenapa akhir-akhir ini sering melamun?" tegur dr. Anita, seorang senior yang Maya kagumi.

Maya tersentak, pipinya merona merah padam. "Maaf, Dok. Saya hanya sedikit lelah."

Dr. Anita menatapnya dengan tajam, seolah bisa membaca isi hatinya. "Kamu harus kuat.
Gak mudah menjadi dokter spesialis. Kuat-kuatin dirimu."

Maya mengangguk, namun kata-kata dr. Anita hanya lewat begitu saja di telinganya. Ia merasakan diri terus melemah. Semua wejangan tidak bisa menguatkannya. Malah yang datang menyelusup kesadarannya adalah kelemahan; rasa takut akan kegagalan yang merong-rong batinnya. Ia selalu melawan itu. Ia  tidak ingin mengecewakan orang-orang yang percaya padanya, terutama orang tuanya.

***
Maya duduk di kamar kosnya yang sempit, ditemani oleh cahaya lampu belajar yang redup. Buku-buku teks berserakan di sekitarnya, membentuk benteng yang mengurungnya. Menjadi penjara bagi jiwanya yang semakin kecil dan terhimpit.

"Aku seperti ketarik dalam lautan," batinnya, menatap kosong ke buku yang terbuka. "Aku sesak sekali. Lelah sekali."

Maya mulai menarik diri dari teman-temannya. Ia menolak ajakan makan malam, nonton film, atau sekadar mengobrol santai. Ia mudah lelah. Tatapan dan obrolan teman-teman, baginya terasa menguras energinya. Ia lebih memilih menyendiri, menenangkan diri. Interaksi dengan teman-teman dirasa semakin menenggalamkannya.

Lalu kelelahan jiwa itu mengakibatkan Maya melakukan kesalahan fatal saat memberikan anestesi pada seorang pasien. Untungnya, kesalahan itu segera terdeteksi dan pasien selamat. Namun, bagi Maya, kejadian itu menjadi pukulan telak. Ia merasa sangat malu dan bersalah. Ia merasa tidak mampu.

"Aku enggak pantas menjadi dokter," isaknya menghakimi diri dalam kesendirian kamarnya. Air mata membasahi dasternya. "Aku hanya akan membahayakan pasien-pasienku."

Rasa putus asa semakin menghimpit Maya. Maya merasakan sekali dirinya seperti pelampung yang terus tenggelam tapi berusaha naik ke permukaan.

***

Maya berjalan menyusuri koridor rumah sakit, namun langkahnya terasa berat. Ia tidak berani menatap teman-temannya akibat kesalahan memberikan anestesi. Kesalahan adalah penghakiman. Kakinya terus ketarik ke dalam lautan yang terus ia lawan agar kuat.  Wajahnya pucat pasi, senyum yang dulu selalu menghiasi bibirnya kini lenyap sudah, digantikan oleh ekspresi getir yang memilukan.

"Maya, kamu baik-baik saja?" suara dr. Indra menghentikan langkahnya.

Maya mendongak, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya untuk memberikan jawaban yang meyakinkan. "Saya baik-baik saja, Dok," ucapnya lirih, suaranya bergetar.

Dr. Indra menatapnya dengan tatapan penuh, namun Maya buru-buru mengalihkan pandangannya. Ia tidak ingin siapa pun melihat kelemahannya, tidak ingin siapa pun tahu betapa lemahnya ia kini. Ia harus kuat.

***
Maya harus menghadapi ujian praktikum yang menentukan kelulusannya. Ia telah belajar mati-matian, namun rasa takut dan cemas menguasai dirinya. Jari-jarinya gemetar saat ia memegang jarum suntik, keringat dingin membasahi telapak tangannya.

"Tenang, Maya, kamu pasti bisa," bisiknya dalam hati, berusaha menenangkan diri.

Namun, saat ia mulai melakukan prosedur, tangannya tiba-tiba bergerak tak terkendali. Jarum suntik meleset, cairan anestesi tumpah, dan pasien mengerang kesakitan. Maya merasa dunia meledak di sekelilingnya. Ia telah gagal, gagal total.

"Cukup, Maya!" suara dr. Indra terdengar tegas. "Kamu boleh keluar."

Maya melangkah keluar dari ruang praktikum, air mata mengalir deras di pipinya. Ia merasa malu, kecewa, dan putus asa. Semua mimpinya, semua harapannya, hancur berkeping-keping.

Maya berlari ke ruangannya. Menguncinya. Ia menatap kosong ke arah dinding. Ruangan tenang yang meredam bunyi dari hiruk-pikuk di luar, kini tak lagi bersahabat. Ruangan ini menghimpitnya.

"Aku tidak bisa lagi," bisiknya, suaranya tercekat oleh isak tangis. "Aku tidak mampu."

Di atas mejanya, terdapat selembar kertas dan pena. Dengan tangan gemetar, Maya mulai menulis surat perpisahan.

Di ruangan lengang yang menghimpit dan meledakkan jiwaku ini, aku menulis surat ini dengan hati yang berat dan air mata yang terus mengalir.

Bila mengingat mimpi-mimpiku ingin menjadi dokter, ingin menyembuhkan orang, ingin membawa senyum di wajah mereka yang sakit, makin menjadi ingatan yang mencabit-cabitku. Jalan menggapai mimpi begitu berat. Seperti harus menyelam begitu dalam kelautan sementara jiwaku tak mampu lagi. Aku hancur berkeping-keping meskipun sekuat apapun aku berusaha kuat.

Aku telah berusaha, sungguh, aku berusaha sekuat tenaga. Tapi semakin aku berusaha, semakin aku merasa terhimpit. Tekanan, ekspektasi, dan rasa takut akan kegagalan bersatu-padu menghimpit jiwaku. Aku tak bisa bernapas, sesak,   meledak sudah.

Bahkan, berpura-pura tersenyum, berpura-pura terlihat baik-baik saja, aku pun tak bisa lagi. Aku benar-benar hancur.

Aku seharusnya berbicara, berbagi beban ini, meminta bantuan dengan seseorang. Tapi aku takut, takut dianggap lemah, takut mengecewakan orang-orang yang percaya padaku. Mereka tak bisa membantuku. Mereka cuma bilang, kuat-kuatin diri. Di situ, aku merasa makin sakit. Kata-kata tak semudah saat dilakukan.  

Akhirnya, aku mencapai titik hancur. Aku tak sanggup menahan lagi. Aku ingin tekanan ini keluar dari kesadaranku.  

Maafkan aku, Ibu, Ayah. Maafkan aku, teman-teman. Aku tidak bermaksud menyakiti kalian.

Maafkan Aku Tuhan. Ampunilah aku. Aku tidak sanggup. Sungguh. Jagalah Ibu dan Ayah agar tetap kuat dan penuh cinta serta bahagia selalu.

Maya

Setelah selesai menulis, Maya menatap surat itu dengan nanar. Air matanya jatuh membasahi kertas, meninggalkan noda-noda kelabu. Ia lalu mengambil sebotol obat tidur dari laci meja, menuangkan ke genggaman telapak tangannya.

Dengan satu gerakan cepat, Maya menelan pil-pil obat-obat tidur, lalu merebahkan diri di lantai. Ia memejamkan mata, berharap bisa tertidur selamanya, terbebas dari semua rasa yang menghimpit. Di luar, hiruk-pikuk rumah sakit terus berlanjut, tak peduli pada perjuangan sunyi yang terus memanggil tanpa terdengar.

Beberapa saat kemudian, Dr. Indra, yang merasa ada yang tidak beres pada Maya, berjalan menuju ruang Maya. Ia mengetuk pintu beberapa kali, namun tak ada jawaban. Khawatir, ia mengintip melalui kaca pintu dan melihat Maya tergeletak di lantai, botol obat berserakan di dekatnya.

"Maya!" teriaknya, panik. Ia menggedor pintu dengan keras, namun tetap tak ada respons. Tanpa pikir panjang, ia mengambil kursi terdekat dan menghantamkannya ke kaca pintu hingga pecah. Koridor itu gaduh.

Dr. Indra bergegas masuk, jantungnya berdegup kencang. Ia berlutut di samping Maya, memeriksa denyut nadinya yang melemah. "Maya, bangun!" serunya, suaranya bergetar.

Naluri dokternya segera mengambil alih. Dr. Indra bertindak cepat, memeriksa jalan napas Maya, memastikan tidak ada sumbatan. Ia memiringkan kepala Maya ke samping untuk mencegah lidah jatuh ke belakang yang menghalangi pernapasan.

Dengan cekatan, Dr. Indra membaca label botol obat yang diminum Maya.  Setelah mengidentifikasi itu adalah obat tidur, ia segera menyuruh Bu Wulan yang sedari tadi berdiri terpaku, untuk mengambil arang aktif di lemari obat.

"Siap, Dokter!" Bu Wulan sadar dan segera sigap.

"Maya, jangan pergi. Ayo, bertahanlah," bisiknya sambil mencampurkan arang aktif dengan air. Ia dengan hati-hati menuangkan campuran itu ke dalam mulut Maya, berharap arang aktif dapat menyerap sebagian obat sebelum diserap tubuh.

Dr. Indra memastikan pernapasan Maya tetap stabil. Ia terus memberikan semangat pada Maya, berharap bertahan hingga tandu itu tiba dan membawa Maya ke UGD. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun