Kala itu kau masih SMA. Sudah didatangi sesak dan jiwa berontak akan nasib, orang-orang, dan bahkan keluargamu sendiri. Â Semua di matamu seakan lawan yang membuat hatimu tak bisa damai.
Kau ingat sekali suatu hari saat pulang sekolah, jalan kaki, di bawah matahari yang masih miring di atas kepala, dan kau baru sampai di jalan depan rumahmu, dump truck lagi-lagi lewat menerbangkan debu-debu.Â
Debu itu lengket ke wajahmu yang berpeluh juga ke seragam SMA-mu. Kau maki dan lempar dump truck itu dengan kerikil penuh emosi.
Ibu menegurmu. Tak elok anak gadis begitu.
"Ya, mereka yang baik. Mengambil dan mengangkut tanah, pasir, kerikil, batu gamping, marmer dan entah apa lagi. Kita hanya kebagian debu. Baik sekali mereka. Pantesan mereka enggak pernah Ibu protes atau tegur. Akulah yang buruk itu!" sindirmu.
Ibu tidak mendengar apa yang kau ungkapkan. Ibu hanya melihat tingkah dan gaya tuturmu yang tak sopan. Lagi-lagi kau ditegur. "Bakal jauh laki sama kamu. Laki enggak mau sama bini keras kepala dan enggak bisa diatur!"
Kau begitu marah. Bukan karena persoalan ancaman jauh jodoh. Kau tak peduli itu. Lebih baik jauh jodoh daripada seperti kakak kandungmu, Suhesti yang langsung dinikahkan usai tamat SMP lalu berubah menjadi ibu-ibu kusut padahal masih remaja.Â
Sementara kau masih ingin mengalami berbagai mimpi yang dijanjikan kehidupan. Kau mau jadi wanita karir, kaya, dihargai, dan jalan-jalan ke mana ingin.
Kau marah karena tak ada yang mendukungmu, mendamaikanmu, malah menyudutkanmu. Di rumah, yang mana penghuni di dalamnya disebut keluarga; yang mana orang-orang bilang keluarga adalah tempat perlindungan dan kenyamanan jiwa-jiwa anak manusia dari getirnya dunia; hanya kau dapati adalah gurun. Kau panas dan dahaga akan kasih dan damai.
Kakak kandung tertua, Supriyatin juga sering menganggumu, menyindir, dan mencemooh akan mimpi, pikiran, dan sikapmu. Sementara Ayahmu tidak begitu. Tapi Ayahmu telah meninggal ketika kau masih kelas satu SMP.