Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah bila itu cahayamu. (Instagram/fazil.abdullah

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pengertian yang Tak Mudah

15 Januari 2023   11:53 Diperbarui: 1 Februari 2023   23:13 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak pernah lagi aku menunggu. Tak jua aku menjemput masa depan. Hidup bagiku kini menerima dan mengalir.

Menunggu Ayah

Pernah aku menunggu Ayah. Setelah ia bilang pergi ke kampung. Kuyakin jika 'pergi', tentu 'pulang' adalah janji. Ayah pasti pulang. Padaku, pada Mama. Namun, belasan musim berlalu, ia ternyata ingkar janji.

Tentu aku kecewa sekali. Berteriak marah. Menggema di rumah kosong mewah ini.
Memecahkan rindu yang sembunyi.

"Kamu tertipu ingatan dan kesalahan pengertianmu sendiri," begitu kira-kira kata Mama. "Papamu tidak pernah mengatakan 'Pergi ke kampung'. Ia bilang 'Pulang kampung'."

Aku mencerna.

"Jernihkan ingatanmu. Kamu tentu bisa membedakan arti. Tak akan tumbuh harapan di hatimu, menagih janji, apalagi menuduhnya ingkar janji. Tak akan juga beranak rindumu. Justru seharusnya hatimu tumbuh benci atau mati. Melupakan."

Kutata ulang apa yang pernah disampaikan Mama. Dalam ketegasannya dan kekacauannya

Aku pun tersadar. Sejak itu rinduku mulai mengering. Mengalir ke tanah tandus. Menguapkan rindu. Menyalakan bara hati.

Membenci Waktu

Pernah semusim masa, aku membenci waktu. Yang mengubah nasib dengan tiba-tiba. Yang menancapkan dan menabalkan luka. Yang suka mempermainkan kenangan lalu mengoyaknya. Bahagia bersama Ayah adalah fatamorgana. Lalu waktu menarikku ke masa kini bersama luka bara.

Waktu juga menghilangkan ketegaran dan semangat Mama. Yang biasa membangunkan aku pagi-pagi, semangat mengantarku sekolah, memarahiku yang lamban dan kurang gairah. "Hidup harus punya ambisi. Kejar semua peluang masa depanmu. Tentukan tujuanmu apa yang hendak kau capai atau wujudkan," begitu kira-kira Mama menegaskan. Akan tetapi, lambat-laun Mama banyak diam. Menatap kekosongan. Tenggelam di sana. Dalam bayang-bayang masa lalu yang tak boleh kumasuki. Hanya dirinya yang tahu.

Aku terbiarkan sendiri dalam bara dan mengurung di kamar. Tanpa dibangunkan. Tanpa diantar ke sekolah. Tanpa makan. Tanpa mandi. Tanpa lecutan semangat. Waktu membekukanku selama tiga hari di kamar. Hidup di ketiadaan.

Makan tak makan aku lupa. Makan jika kuminta. Mama masak apa yang ada di dapur. Apa yang kuminta; sate, pizza, roti bakar, atau ayam goreng, tak pernah dihiraukan. Tanpa peduli apa mauku. Diam saja Mama.

Selesai masak dan disajikan di atas meja, biasa Mama kembali duduk di sofa ruang tengah. Kembali memandang TVRI. Kosong. Jika ia lelah, kembali ke kamarnya. Membiarkan dapur dan pakaian kotor bertumpuk tak dibersihkan.

Pernah sekali kubiarkan makanan yang disajikan Mama, berupa nasi putih dan telur ceplok. Mama marah dan banting piring ke lantai.

"Kamu harus mengerti, waktu tak lagi memanjakan kita. Tak lama lagi, kamu bakal tahu waktu mengoyak segala kenyamananmu. Kamu harus siap dan terima itu!"

Aku terpana. Sejak diam yang panjang, lalu tiba-tiba Mama marah. Tak pernah Mama begitu. Ia selalu bicara lemah-lembut tapi tegas. Penuh kasih dan memberi semua apa yang kuminta.

Apa yang dibilang Mama membuatku mengernyit. Mencoba memahami. Sejak kesalahan pengertianku akan kepergian Papa, aku mula peka pada kata, makna, dan bayang-bayangnya. Aku kemudian paham bahwa Mama mau bilang, kami mulai jatuh miskin. Aku harus siap menjalani hidup dalam kekurangan, tak ada lagi kenyamanan, dan segala kemauanku tak bisa dipenuhi lagi.

Mama tak pernah lagi menanyakan kabarku, atau perihal sekolahku. Malah guru dan teman yang datang ke rumah menanyakan kabar.

Dari mata dan ekspresi mereka, kutangkap bahwa mereka sadar waktu telah mengubah kami. Tak ada lagi keceriaan di rumah dan wajah kami.

"Kamu sakit?" tanya Guru SMP-ku. Aku menggeleng.

"Dia gak sekolah lagi," sahut Mama datar. Semua kaget. Termasuk aku. Diam saja.

"Motor sudah saya jual. Gak ada yang mengantar lagi," lanjut Mama.

Mama tentu tak sekadar mengatakan aku tak sekolah lagi karena tak ada motor. Ada bayang-bayang makna lain yang muncul dari pernyataannya.

Guru tidak mengerti. Tidak mengerti pula, bahwa jika Mama sudah berpendirian, tak ada yang bisa meluluhkannya apa lagi mematahkannya. Maka Guru sebagaimana guru-guru lain, tentu memprotes Mama lalu berceramah klise. Pendidikan itu penting. Sementara Guru lupa, bahwa berjuang mengisi perut jauh lebih penting. Itulah yang dikatakan Mama.

"Bisa makan aja lebih penting sekarang buat kami. Anak saya sekolah di rumah saja," Mama berkata dengan nada tegas dan matanya menancap tanpa keramahan kepada Guruku.

Seandainya protes lagi, Guru itu tentu akan mendapat emosi api dari Mama. Aku sudah pernah merasakan.

Guru itu tidak bicara lagi, bukan karena mengerti. Ia tentu tidak bisa mengerti. Pandangan mata Guru yang menyapu ke seluruh sudut rumah kami mengatakan apa yang tak diungkapkannya; "Rumah semegah ini tak bisa menyekolah anak?" Belakangan, teman-teman sekolah yang kebetulan berjumpa denganku akan menyambung pengertian Guru dengan menimpali, "Helloowww, situ sehat?!"

Butuh beberapa musim untuk tiba pada pengertian, termasuk aku. Aku hanya mengerti waktu layak kubenci karena merenggut segala. Baru tiga belas tahun usiaku kala itu, belum ada bekal menjalani dan menghadapi hidup, tapi waktu telah memaksaku harus menanggung semua.

Pengertian yang Tak Mudah

Mama berkata dan memintaku menuliskan:

Hiduplah kamu di atas jalanmu tanpa hiraukan komentar orang-orang. Mereka yang membenci, akan mudah menghina dan menyakitimu. Mereka yang iri akan mudah menyindirmu.

Pada suatu waktu, kamu akan merasa lebih nyaman dengan orang-orang yang tak mengenalmu dan tak peduli. Mereka yang tak peduli lebih mengutamakan mengurus keperluan dan kebutuhan hidupnya masing-masing. Mereka yang tak peduli dan tak mengenalmu justru kadang lebih menenangkanmu daripada orang-orang yang mengenalmu yang kau harapkan peduli dan mengerti.

Tetap di jalanmu dan kuatkan hatimu ketika menerima komentar yang menyakitimu. Mereka yang menyukaimu, bukan berarti selamanya bisa menyukaimu. Mereka yang mencintaimu, itu karena hanya melihat sisi terangmu. Jika ada yang menyukaimu, jangan terlena dan cepat bahagia.

Mereka yang mengasihimu, hanya peduli semampunya dan bukan memberi seluruh hidupnya padamu. Jika ada yang iba dan peduli padamu, jangan sampai berharap dan bergantung pada mereka.

Jalani hidupmu di atas jalanmu tanpa hiraukan komentar-komentar menyakitimu. Mereka yang cepat berkomentar adalah orang yang mengerti sepotong hidupmu tetapi merasa mengerti seluruh hidupmu.
Mereka yang biasa bertanya tanpa menyudutkan adalah tanda orang-orang yang tepat dan tempatmu bertanya.

Mama berkata demikian sebelum memintaku jualan kue. Aku tidak mengerti apa yang Mama hendak coba katakan. Yang kutangkap Mama memaksaku jualan kue. Tak berat itu, dan tak perlu malu. Hidup Mama dulu lebih berat di kampung tandus. Bertahun-tahun lamanya. Dengan malu dan harga diri terinjak-injak. Sementara kamu jualan kue hanya sementara, biar kamu mengerti apa yang telah dituliskan itu. Begitu alasan Mama.

Aku mengikuti Mama meski berat. Hilang sudah kenyamanan. Aku menjajakan kue ke sekeliling kompleks pakai sepeda. Aku berhadapan dengan para tetangga, ibu-ibu, bapak-bapak, para gadis, teman-teman remaja sebayaku, pemuda tanggung berlagak preman, pendeta, ustadz, guru, dosen, dokter, pengacara, kepala RT,  lurah, orang-orang yang tak kukenal, dan bermacam-macam latar status orang-orang.

Sehari dua hari masih baik-baik saja hati. Tak banyak mengenalku kecuali warga RT lorong rumah kami. Mereka hanya kaget anak penghuni rumah mewah berjualan kue.  Namun, hari-hari selanjutnya, ketika seluruh penghuni kompleks mulai mengenal latarku, mereka tidak hanya membeli, tetapi memberi. Mereka memberi komentar berisi sindiran, cibiran dan iba.

"O, anak yang ditinggal di rumah mewah itu? Kok bisa sekarang anaknya jualan kue?"

"Perusahaan Bapak itu bangkrut. Ibunya juga kena PHK. Satu perusahaan mereka."

"Ibunya istri ketiga Bapaknya. Terus sekarang cerai lalu pergi Bapaknya."

"Ibu itu yang usir Bapaknya. Suaminya dah tua. Gak mampu lagi. Istri mudanya cuma mau harta."

"Lha, sekarang Ibunya ngapain? Enak-enakan aja di rumah? Trus nyuruh anaknya cari duit? Gak sekolah lagi? Betul-betul tak tau diri, tak tau malu. Kasihan ini anak."

"Kenapa rumahnya gak dijual saja? Bisa buat bisnis apa gitu. Malah ini anak disuruh kerja?!"

Bukan pengertian yang datang, justru aku mulai tak suka Mama. Berulang kali aku minta berhenti jualan. Mulut tetangga adalah pisau. Namun ketegasannya, membuatku kalah.

"Kamu tidak boleh berhenti jualan sampai kamu mengerti dan kuat!  Apa yang dulu pernah Mama bilang dan harus kamu tulis itu?! Baca dan pahami itu. Jangan hiraukan orang, tetap fokus di jalanmu!"  Mama tetap memaksaku. Aku membencinya, menuduhnya mengeksploitasi anak.

Butuh jatuh-sejatuhnya untuk tiba akan pengertian. Butuh beberapa musim untuk mengerti semua. Butuh pergantian musim agar komentar-komentar itu surut dan hilang saat satu persatu isi rumah harus kami jual. Rumah tak bisa dijual karena sertifikat atas nama Ayah.

Menerima dan Mengalir


Mereka berubah jadi orang dewasa penuh nasihat; memintaku bersabar, memaafkan masa lalu, tatap ke depan. Saat itu aku telah mengerti, bahwa menjalani hidup harus siap menerima beragam komentar akan sepotong hidupmu. Mereka yang cepat berkomentar adalah yang mengerti sepotong hidupmu. Saat itu Mama tanpa kata, mulai tak bikin kue lagi meskipun aku sudah mau jualan kue tanpa keberatan. Sejak itu aku berhenti jualan kue.

Isi rumah terus kami jual untuk kebutuhan hari-hari. Listrik dan air tak sanggup kami bayar yang akhirnya diputus. Namun, tangan warga mulai tersambung membantu kami. Pak RT pun sudah memasukkan nama kami masuk dalam bansos Pemerintah. Dulu tak bisa karena rumah mewah ini menghalangi. Sungguh ajaib rumah ini, mengalihkan dan menghalangi orang-orang melihat keadaan manusia.

Ketika pengertian itu telah tiba, jiwa Mama sudah pergi ke dunia lain. Mama suka mengurung diri dalam gelap, suka bicara sendiri, dan payah menjumpai orang-orang. Mama tak kuat. Komentar orang-orang, tekanan sosial itu, sebenarnya ditujukan untuknya, melalui aku.

Apa kamu sudah mengerti kini? Mama harap kamu mengerti karena Mama tidak akan selalu membersamai hidupmu. Mama hanya mengantarmu di gerbang kehidupan, selanjutnya kamu sendiri yang jalani sendiri lika-likunya.

Kadang aku malas mendengar nasihat orang dewasa. Begitu mudah memberi nasihat padaku, sementera mereka banyak gagal menjalankan nasihat. Tapi diam-diam hatiku menerima dan menangis tanpa suara. Kuterima dan kujalani. Mengalir saja tanpa ambisi. *** (Aceh, 15 Januari 2023)

----

Tambahan:

Kisah ini merupakan kepingan dari kisah-kisah lain yang saling terkait. Acak dan kepingannya bisa dibaca dari manasuka. Bila tertarik, kepingan lain bisa dibaca di tautan berikut ini:

Para Tamu Rumah Kami

Ely, Ely, Temui Aku.... 

Keluarga Cahaya

Putri Nikah Siri

Ibu Menunggumu di Pantai


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun