"Kamu sakit?" tanya Guru SMP-ku. Aku menggeleng.
"Dia gak sekolah lagi," sahut Mama datar. Semua kaget. Termasuk aku. Diam saja.
"Motor sudah saya jual. Gak ada yang mengantar lagi," lanjut Mama.
Mama tentu tak sekadar mengatakan aku tak sekolah lagi karena tak ada motor. Ada bayang-bayang makna lain yang muncul dari pernyataannya.
Guru tidak mengerti. Tidak mengerti pula, bahwa jika Mama sudah berpendirian, tak ada yang bisa meluluhkannya apa lagi mematahkannya. Maka Guru sebagaimana guru-guru lain, tentu memprotes Mama lalu berceramah klise. Pendidikan itu penting. Sementara Guru lupa, bahwa berjuang mengisi perut jauh lebih penting. Itulah yang dikatakan Mama.
"Bisa makan aja lebih penting sekarang buat kami. Anak saya sekolah di rumah saja," Mama berkata dengan nada tegas dan matanya menancap tanpa keramahan kepada Guruku.
Seandainya protes lagi, Guru itu tentu akan mendapat emosi api dari Mama. Aku sudah pernah merasakan.
Guru itu tidak bicara lagi, bukan karena mengerti. Ia tentu tidak bisa mengerti. Pandangan mata Guru yang menyapu ke seluruh sudut rumah kami mengatakan apa yang tak diungkapkannya; "Rumah semegah ini tak bisa menyekolah anak?" Belakangan, teman-teman sekolah yang kebetulan berjumpa denganku akan menyambung pengertian Guru dengan menimpali, "Helloowww, situ sehat?!"
Butuh beberapa musim untuk tiba pada pengertian, termasuk aku. Aku hanya mengerti waktu layak kubenci karena merenggut segala. Baru tiga belas tahun usiaku kala itu, belum ada bekal menjalani dan menghadapi hidup, tapi waktu telah memaksaku harus menanggung semua.
Pengertian yang Tak Mudah
Mama berkata dan memintaku menuliskan: