Ru Yi, aku tak berkuasa mengendalikan hati yang menggelegak padamu. Tak bisa kulihat kau terus menangis dan sakit saat kita tak boleh lagi bertemu. Tak bisa kucabut cinta yang telah tumbuh sempurna.
Aku bersimpuh pada Bunda, pada Ayah, --begitu aku memanggil orang tuamu, restuilah kita. Akan kubahagiakan kau sepenuh hati. Akan kubentengi kau dari derita dan kesusahan seperti yang telah kutunjukkan selama hidup bersama kalian. Tak buruk dan rusak dirimu ikut denganku. Sumpahku pun terucap pada mereka untuk menguatkan janjiku. Namun, orang tuamu bergeming.
Ru Yi, aku tak menyerah. Kuyakinkan keluarga besarku, lalu kubawa mereka datang ke rumah untuk mendampingiku melamarmu baik-baik. Kutunjukkan pada orang tuamu, bahwa keluarga besarku mendukungku. Keluarga besarku menerimamu, menerima akan perbedaan antar-kita. Namun, orang tuamu tetap dalam pendiriannya.
***
Ru Yi, batu kenangan pecah seketika, saat sang pemilik perahu menghentak tali perahu. Menarikku kembali ke tepian. Waktu sewa telah habis. Matahari segera tenggelam. Aku harus pulang pada kekinian, pada kenyataan. Mengingatkanku untuk melanjutkan hari-hari menuju masa depan.
Sekali lagi kusempatkan singgah dan masuk ke Gua Putri Pukes. Padanya aku hayati dan belajar memaknai kembali pesan dari masa lalu. Ada yang salah terbaca dan terartikan dari masa lalu.
Ru Yi, aku yakin cintamu yang melimpah padaku, tak mungkin mengutuk kekasihmu ini. Tak mungkin pula ibunda Putri Pukes, orang tuamu, mengutuk putrinya mengingat luasnya samudera kasih sayang mereka pada anak satu-satunya. Tak mungkin, Ru Yi. Tak mungkin. Seluka apa pun mereka, kasih sayang tak mungkin mati seketika berubah benci hingga mengutuk.
Aku hela nafas dalam-dalam. Pesan itu kuyakin bukan kutukan dari yang tercinta. Jangan kau melihat Putri Pukes dikutuk orang tua. Jangan kau merasa dikutuk orang tuamu. Aku pun tak merasa kau kutuk. Ayah ibunda Putri Pukes, ayah ibumu, dan kau punya cinta begitu besar, namun tak bisa  memilikimu lagi yang dicinta. Karena itu, ditinggalkan pesan peringatan yang mengandung kasih sayang untuk kita.
Segala kenangan paling hayat yang kita alami lalu tiada lalu berharap membawa masa lalu hadir kembali di kekinian padahal tak bisa lagi, bisa membuat kita terpaku saat melihat kembali ke belakang; bisa memberatkan langkah kita mengisi hari-hari masa depan; bisa mengalihkan kesadaran kita dari melihat masa depan; bisa membatu kenangan dalam darah; bisa  membuat berat kerja jantung; bahkan mampu membuat jantung tak lagi berdetak dan diri pun merasa terkutuk.Â
Ru Yi, kini aku telah menikahi perempuan yang berbeda rupa denganmu. Ia selalu ceria dan ceriwis, beda denganmu yang tenang dan kalem. Ceria dan ceriwisnya menghidupkan nyala diriku. Kulitnya sawo matang, tak seputih kulitmu. Matanya pun bulat dan lebar, tak sipit seperti matamu. Mata yang bisa melihat, berempati, dan menerima masa laluku. Ia tak cemburu ketika nama putri kami kuberi nama Rusyda Ru Yi, yang berarti 'kecerdasan yang penuh kebaikan dan kekuatan'.
Melalui Ru Yi kecil, terus kucoba meluruhkan yang membatukan hati Ayah dan Bunda. Tak kulupakan jasa dan kebaikan mereka. Tak kuputus yang masih ada.
Sering kukirim pesan dan foto-foto Ru Yi kecil pada mereka. Tak henti kukunjungi Ayah dan Bunda dengan Ru Yi kecil meskipun belum ada penerimaan mereka. Aku tak menyerah untuk masa depan yang cerah. Kehadiran Ru Yi kecil, cucunya, semoga memecah segala batu kenangan.
Berat memang melepaskan kenangan paling hayat seperti yang kau dan aku alami. Namun, seperti pesanmu, dengan melihat masa depan, kenangan bisa sebagai cermin untuk menjadi pelajaran arah mengisi lembaran hari-hari yang masih terbuka, masih bersih suci seperti bayi. ***