Aku mencoba mengerti perasaan orang tuamu, bagaimana mereka merasa terkhianati. Kau, anak satu-satunya. Dilahirkan, diasuh, dibesarkan, dididik dalam agama leluhurmu, tak pernah dimarahi, melimpah kasih sayang tercurah, semua maumu dituruti.Â
Namun, saat gadis dan mengenal cinta, tiba-tiba berpindah agama dan siap meninggalkan keluarga. Memilih ikut bersamaku. Begitulah, kau dianggap mengkhianati kepercayaan, kasih sayang mereka. Telah meracuni darah keluarga; racun yang harus dibuang dari aliran darah keluarga.
Aku pun ikut tersangka mengkhianati kebaikan dan kasih sayang orang tuamu padaku. Aku remaja tanggung kala itu. Anak yatim piatu. Minta pekerjaan di toko usaha orang tuamu.Â
Tanpa memiliki kemampuan apa-apa tapi diterima karena kasihan. Meskipun waktu kerja terpotong dengan sekolah, aku tetap diberi kelonggaran. Diberikan juga keringanan, bekerja semampuku dulu. Bahkan saking baik hati orang tuamu, membolehkan aku tinggal dalam keluargamu. Tak perlu lagi aku pulang pergi ke rumah kakakku. Dari situ, takdir mengenalkanku padamu yang baru tamat SD.
Bahkan setamat SMA, orang tuamu membantu biaya kuliahku hingga wisuda. Usai tamat kuliah pun, orang tuamu memberi kepercayaan modal untuk buka cabang toko baru untuk kukelola sendiri.
Mereka juga mempercayakanmu kujaga. Kuantar kau ke sekolah, ke kegiatanmu di luar sekolah, ke kampus, atau ke mana saja kau pergi. Sejak SMP kau juga selalu belajar bersamaku. Keakraban kita menjalin begitu kuat.
Anggap dia adikmu, begitu pesan orang tuamu. Jaga baik-baik. Aku sepenuh hati mengiyakan. Tak ada keraguan untuk tidak menganggapmu adik.
Namun, waktu menebas rasa yang tumbuh antara adik dan kakak. Mencangkokkan rasa baru. Tumbuh menjadi rasa antara gadis dan pemuda. Kita memahami rasa itu sebagai cinta. Namun, cinta kita, bencana bagi mereka. Begitulah, aku menjadi tersangka telah mengkhianati kepercayaan mereka; dianggap merencanakan dan mempengaruhimu untuk ikut denganku.
Ru Yi, kau 'kan tahu kenyataan sebenarnya. Semua yang terjadi pada kita, tumbuh secara alami. Kondisi telah menumbuhkan rasa manusiawi antara kita. Mekar dan merekah subur cinta tanpa kita buat-buat atau paksakan. Rasa yang tumbuh subur karena telah dipupuki saling mengenal, saling memahami, saling pengertian, dan saling menyayangi antara kita. Rasa yang mampu menghapus perbedaan warna kulit dan agama antar-kita. Rasa yang mampu menyatukan dua budaya antar-kita.
Namun, orang tuamu tak bisa melihat rasa yang tumbuh itu. Rasa kita adalah hama pohon keluarga yang harus dibasmi. Mereka hanya melihat perbedaan yang tak bisa disatukan antar-kita. Perbedaan begitu jauh bagai Timur dan Barat, kata mereka. Dalam hatiku membantah tapi tak kuutarakan; bukankah kita sama-sama manusia belahan bumi Timur, Asia?
Aku tak pernah membantah pada orang tuamu. Semua kuturuti asal tak berkait soal keimananku. Mereka pun tak pernah mempersoalkan keimananku, malah didorong mengamalkan keimananku. Itu akan menjadikanku pribadi yang baik antar-sesama. Hanya satu yang tak bisa kuturuti kemauan mereka; Â meninggalkanmu.