Saat di luar minibus, Luqman tegas berkata. "Kamu lihat anakku. Dia sudah takut. Angin malam dan dingin, berefek buruk bagi asmanya. Kamu harus segera cari solusi, kami harus diberangkatkan sebelum malam datang. Tak bisa menunggu sedan itu."
"Iya, Pak. Saya usahakan lagi." Aku mencoba menelpon penjaga pos hutan di pondok.Â
"Kamu apa tidak ada kenalan terdekat sekitar sini?" Luqman bertanya lagi saat aku sedang menelpon penjaga pos.Â
"Iya, Pak. Ini saya coba telpon lagi," kataku.
"Halo, Bos," sapaku di telpon. Penjaga pos menyimpan nomorku. Tanpa perlu lagi kukenalkan diri, kuceritakan masalahku cepat-cepat. Kami butuh mobil terdekat yang bisa jemput dan antar pulang kami sebelum malam datang. Paling tidak bisa membawa tiga penumpang.
Mendengar tanggapannya, sedikit menenangkanku. Ia siap siaga. Ia segera turun dari pos melihat lokasi kami. Sekalian dicari bantuan. Sekitar lima belas menit tiba, katanya.Â
Aku melihat sekeliling. Menghempas nafas. Matahari tiga puluh menit  lagi akan tenggelam. Om Her masih berkutat di mesin minibus. Anggi masih memainkan kamera mirrorlessnya, menyorot ke arahku. Santai saja dia tanpa beban. Lebih baik begitu daripada Kanaya yang panik. Meringkuk di pinggang Anggi bagai anak kecil ketakutan.Â
"Bagaimana?" tanya Luqman. Belum sempat kujawab, samar-samar kudengar bunyi peluit dari arah lembah Fred turun tadi. Bunyi peluit berulang-ulang, panjang pendek. Kuyakin itu Fred.
"Nanti bantuan datang," jawabku sekenanya pada Luqman. "Sebentar, Pak. Di sini aja dulu. Saya mau lihat si kakek bule itu."Â
Tanpa menunggu responnya, aku turuni lembah. Menyibak semak dan reranting pohon. Mengikuti suara peluit. Makin dekat, makin terdengar jelas pula arus sungai. Kutemui Fred berdiri sambil mendongak ke arah pohon sambil ancang-ancang memotret. Tak ada apa-apa yang terjadi. Peluitnya rupanya untuk memanggil burung.Â
"Fred, ayo kembali."