Matahari hendak tenggelam di balik pepohonan hutan ketika minibus kami mogok. Air radiatornya bocor. Mesin kepanasan. Begitu lapor Om Her, sopir kami, dengan mimik susah padaku.Â
"Bisa diperbaiki 'kan, Om?" tanyaku, ikut susah. Â Baru empat kilometer kami berangkat pulang dari pondok pos hutan. Perjalanan pulang masih sekitar 31 km ke Tahuna, tempat penginapan. Bisa-bisa sampai gelap datang, kami masih berada di hutan pegunungan Sahendaruman, pulau Sangihe ini. Hutan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi dan binatang malam liarnya.Â
Aku banyak diam melihat kelakuannya. Sesekali menenangkan dengan menunjukkan hal-hal menyenangkan bagi pancaindera dan jiwa saat hiking. Air terjun, hutan hijau yang alami, matahari hangat yang dicadar dedaunan. Hawa sejuk dan udaranya yang segar sampai ke palung dada. Kesunyian hutan yang dialun oleh suara-suara alami; angin yang bercanda dengan dedaunan, gemericik air di sungai nan segar luar biasa, dan terutama kicau bahagia burung-burung. Menyegarkan pancaindera dan jiwa.
Saat menyusuri jalan setapak hutan Sahendaruman dari pondok pos hutan tadi, Â beberapa kali berhenti untuk kutunjukkan beberapa jenis burung yang lewat atau hinggap di pohon. Sangat beruntung kami bertemu dengan burung seriwang sangihe. Â Manu' niu (burung niu), penduduk sini menyebutnya begitu kata Om Her. Salah satu burung endemik dari delapan jenis hewan endemik di pulau Sangihe. Aku nyaris berteriak kesenangan.Â
Habitat burung ini kini hanya dapat ditemui di wilayah pegunungan selatan pulau Sangihe ini. Tak bisa ditemui di belahan bumi mana pun. Â Namun, sekalipun orang segala penjuru dunia sengaja datang ke Sahendaruman melihat burung ini, belum tentu mereka beruntung melihatnya seperti kami.Â
Fred dan aku saling menjelaskan kepada wisatawan yang kupandu. Seringnya kutekankan informasi kepada Kanaya. Burung ini ditemukan pertama kali oleh Adolf B. Meyer pada tahun 1873 di Pulau Sangihe. Setelah itu, tidak sekalipun burung ini terlihat kembali. Dianggap sudah punah. Tiba-tiba, pada Oktober 1998, 125 tahun kemudian, ditemukan 19 ekor burung seriwang sangihe di sekitar pegunungan Sahendaruman ini.
"Bodo ah. Gak suka burung. Itu mah hobinya cowok," tanggapnya bikin kesalku.Â
Anggi yang membalas Kanaya. "Serius lu gak suka burung?" Mata Anggi menatap nakal ke Kanaya.Â
"Iiih, burung apaan sih maksudmu, Kak Anggi?" Kanaya memukul Anggi dengan topinya. Menimbulkan gelak tawa wisatawan lain. Termasuk diriku. Tapi segera kuingatkan jangan ribut di hutan.
Anggi, juga sempat membuat kami tersenyum geli saat di perjalanan. Anggi saat itu bermaksud hendak mematahkan keluhan Kanaya. "Kanaya, lo tuh ke sini belajar buat jadi cewek survive. Cowok suka cewek survive. Kalo lu suka ngeluh terus, bisa-bisa lo jadi perawan tua!"Â
Aku dan semua dalam minibus tersenyum geli bahkan Kevin si bocah yang mengidap asma, tertawa tergelak. Luqman dan Prita, orang tua Kevin ikut tersenyum dan senang melihat anaknya menikmati hiking. Om Her juga tersenyum. Cuma Fred yang celingak-celinguk ingin mengerti yang  terjadi.