Karena kondisi terikat utang itulah, ayahnya nekat melaut meski cuaca mengancam. Ayahnya sudah tiga hari tak melaut membuat utang menumpuk, dapur tak mengepul, tambah lagi biaya kebutuhan sekolahnya dan adik-adiknya mendesak untuk dilunasi yang berpapasan memasuki awal tahun ajaran baru. Adiknya pun berjatuhan sakit di musim tak bersahabat itu.
Sore sebelum berangkat, masih diingat pesan dan tatapan ayah bersamaan kilat, guruh, hujan dan angin kencang. Begitu menggetarkan dan menghujam hati Nasrul.
"Jaga keluarga. Kamu harus sabar dan kuat!"
Itu pesan terakhir ayahnya yang begitu mendalam dan melekat hatinya. Nasrul tak mampu membendung air matanya. Pecah dan mengguncang tubuhnya.Â
Tangisan itu menghentikan badai kata-kata Nasrul terhadap tetua kampung itu. Nasrul berhasil didudukkan. Nasrul terus menangis hingga mengguncang tubuhnya.Â
Ia juga teringat peristiwa siang kala itu sebelum sore ayah berangkat melaut. Ingatan yang membuatnya merasa bersalah. Ia sempat berantam dengan ayahnya karena masalah biaya sekolah yang belum bisa ayahnya lunaskan. Ia marah dan mengeluarkan kata-kata menyakiti ayahnya.
Kedua tetua itu pergi meninggalkan warung. Tanpa kata sepatah pun. Biasa ada pamit atau salam terucap. Beberapa pelanggan warung ada yang berkaca-kaca mata ikut berempati pada Nasrul.
***
Seminggu kemudian, keluarga Nasrul mendapat asuransi kematian ayahnya 200 juta rupiah dari Kementerian Kelautan. Nasrul terguncang tubuh, rubuh, dan pingsan. Saat menerima asuransi itu, Nasrul berkelebat prasangka mengartikan pesan tersembunyi ayahnya dulu bahwa ayah sengaja mengorbankan nyawa pada badai demi asuransi yang kini mereka dapatkan. *** (Bener Meriah, Aceh, 2 November 2018).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H